Jumat, 27 April 2012

MESTIKA ZED, GURU BESAR UNP : PRRI Itu Pemberontak yang Pemberani

 
February 13, 2011
PEMERINTAH pusat menetapkan PRRI sebagai pemberontak. Apa alasannya?
Sudah pasti demikian, dan saya pun sebagai pemerintah pusat akan mengatakan hal yang sama karena pendekatannya pendekatan formal. Ini sebuah negara sah Republik, tahu-tahu ada yang melawan di daerah. Wah. Ini pemberontakan. Ini tidak benar. Ya, karena itu dipandang dengan pendekatan formal. Ini negara legalistik berdasarkan UUD 1945. Itu alasan pertama.
Yang kedua, rezim itu sedang bulan madu otoriter. Apapun yang berbeda, mengusik, dan berbahaya harus dicarikan cap paten untuk memukulnya menjadi formal. Perbedaaan itu haram. Dan jelas dilarang. Artinya, Soekarno mulai ayun bambunya ke kiri, dan mulai berteman dengan PKI. Ini sudah sekian kali diperingatkan Hatta yang akhirnya mereka berseberangan. Hatta mengundurkan diri Desember 1956 karena tidak sejalan lagi dengan Soekarno. Meski begitu, secara personal mereka tetap dekat. Soekarno mengakatakan: “Tidak adalagi orang yang mau meluangkan waktunya untuk berbincang dengannya selain Hatta. Hanya Hatta yang melakukan dengan kenegarawanannya. Dua pendekatan yang bisa dipergunakan untuk menjawab itu.

Anda setuju dengan sebutan pemberontak itu?
Itu kan soal istilah. Kalau saya sendiri, PRRI itu tetap pemberontak. Pemberontak yang pemberani. Kalau berpikir formal, dia memang melakukan perlawanan kok. Tapi ingat, ini yang penting, tujuannya tidak untuk saparatisme. Dia tidak memberontak dalam pengertian ingin menjadikan negeri sendiri, seperti yang dicap jakarta. Tidak. Dia hanya ingin mengoreksi, mengoreksi apa yang menyimpang dari konstitusi. Banyak poinnya itu. Kalau kita paralelkan, tokoh lintas agama itu mirip sewaktu PRRI dengan menguraikan kesalahankesalahan pemerintah.
Dalam banyak hal, justru perjuangan PRRI menemukan bentuknya kembali di zaman sekarang. Muncul narasi-narasi kecil di daerah?
Ini karena mental kolonial masih melekat hingga kini dan tidak berubah-rubah. Kenapa begitu? Salah satunya, dan ini yang sedang saya tulis sekarang, pemegang negara ini narsisitik, selalu memuji diri. Coba Anda tanya ke pejabat dinas dan pejabat pemerintahan, pasti akan dikatakan, “Saya sudah berbuat begini, begitu, tapi ngerti g orang dengan apa yang diperbuat? Nol besar.” Ternyata polanya sama secara teoritis. Apabila negara atau pemimpin sudah mengabaikan rakyat, akan muncul narasi-narasi kecil. Muncul gerakan-gerakan yang mencoba menyelesaikannya masalahnya sendiri. Tidak bisa dihambat. Ini hukum sejarah. Apa yang terjadi dengan uni soviet, kan juga seperti itu. Ketika negara sudah diambil oleh tampuk kekuasaan otoriter dan mengabaikan tangung jawab atau melalaikan kepeduliannya terhadap rakyat. Dia sudah menyediakan bibitbibit protes atau ketidakadilan terhadap rakyat. Di saat itu, akan timbul semacam ketidakpuasaan dan berharap ada soluisi. Solusi tidak muncul, muncul narasi kecil. Narasi kecil ini saling bertalian nanti. Muncul di Padang, Jakarta, Medan, dan semuanya. Negeri ini menjadi terbakar. Kalau tidak ada jawaban yang tuntas, ini yang namanya gerakan rakyat.
Kepercayaan saya sekarang adalah terhadap masyarakat madani, yaitu masyarakat sipil. Mereka berkesempatan untuk mengubahnya. Ada contoh, ketika kasus Prita, gerakan rakyat tumbuh dengan mengumpulkan Koin.
Ada kesulitan membedakan PDRI dan PRRI?
Satu, perbedaannya, PDRI berhadapan dengan Belanda. Sementara PRRI berlawanan dengan Jakarta, rezim yang dinilai sama kolonialnya dengan rezim dulu. Kedua, PDRI memang sebuah gerakan nasional yang meluas di manamana, tidak hanya di Sumatera, tapi di Jawa, menjadi bagian dari PDRI. Ketika PRRI, gerakan yang dipelopori Sumbar, memang hanya bagian dari Sumatera didukung Permesta.
Tapi persamaannya banyak sekali, mulai dari medannya, rute yang ditempuh, juga pemimpinnya. Yang penting, spiritnya sama dalam arti melawan rezim kolonial. Kolonial itu memiliki pengertian sendiri. Pengertiannya, satu, mempertahankan ketergantungan (dependen). Orang dibikin tergantung terus. Antara yang dijajah dan terjajah. Dipimpin dengan yang dipimpin. Kedua, eksploitif.
Menguras. Walau sudah lama merdeka, kolonial itu masih utuh. Faktanya, UU kita sangat pro-elit, menindas yang di bawah.
Ketakutannya adalah pemberontakan terjadi di banyak daerah. Rakyat tidak percaya lagi kepada pemimpin. Apa yang terjadi?
Pemimpin tidak belajar pada masa lalu. Tidak ada proses pembelajaran dalam pemimpin kita. Pemimpin dalam pengertian rezim yang berkuasa itu, sudah kehilangan sejarah. Ibarat sumur tanpa dasar. Demi masa depan, tapi sebetulnya sudah kehilangan roh. Roh kita sebenarnya sederhana, kenapa kita merdeka untuk apa kita merdeka? Itu kan pertanyaan sederhana, tapi mana ada orang yang peduli sejarah? Menurut saya ini keliru besar.
Apa yang bisa kita pelajari dari PRRI ini?
Saya kira menyuarakan dan untuk mengingatkan. Paling tidak kita generasi sekarang, di saat tidak banyak harapan tumbuh dari penyelenggara negara, khususnya penegakan hukum, masyarakat madani atau potensi-potensi sosial harus bersuara mencari penyelesaian. Kemandirian masyarakat akan semakin kuat.􀂄
(Pewawancara Andika Destika Khagen)
Susunan Kabinet PRRI
1. Perdana Menteri/ merangkap Menteri Keuangan: Mr. Sjafruddin Prawiranegara
2. Wakil Perda Menteri: Moh. Natsir
3. Menteri Dalam Negeri: Kolonel M. Dahlan Djambek (Kemudian digantikan oleh Mr. Assaat Dt. Mudo)
4. Menteri Luar Negeri : Kolonel Maluddin Simbolon
5. Menteri Pertahanan/merangkap Menteri Kehakiman: Mr. Burhanuddin Harahap
6. Menteri Perdagangan/merangkap Menteri Perhubungan: Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo
7. Menteri PP dan K: Engku Moh. Sjafe’i
8. Menteri Kesehatan/merangkap Menteri Pembangunan: Kolonel J.F. Warrow
9. Menteri Agama: Mochtar Lintang
10. Menteri Pertanian: Saladin Sarumpaet
11. Menteri Sosial: Ayah Gani Usman
12. Menteri Perhubungan Pos, Telegraf dan Telepon: Kolonel M. Dahlan Djambek
13. Menteri Penerangan: Mayor Saleh Lahade
14. Kepala Staf Angkatan Perang PRRI: Kolonel A.E. Kawilarang (Atase Militer di Washington yang meniggalkan posnya bergabung dengan PRRI)
15. Kepala Staf Angkatang Darat: Letkol Ventje Sumual
Diambil dari e-Paper Harian Haluan, 13 February 2011

Menguak Tabir PDRI “Sejarah PDRI Masih Terlupakan”


Oleh Redaksi Sabtu, 08-Januari-2005
Joni Syahputra—Bidar Alam
Sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) masih dilupakan banyak kalangan khususnya penguasa. Malahan tidak dianggap sebagai sebuah sejarah. Buktinya, posisi Sjarifuddin Prawiranegara yang menjadi pimpinan PDRI tidak pernah diakui.
Harus disadari, tanpa PDRI bangsa Indonesia tidak akan ada lagi. Sebab setelah Jogjakarta direbut dalam agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948, presiden dan wakil presiden beserta beberapa menteri ditawan. Persis kekuasaan jadi fakum.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, keynote speaker dalam Peringatan Hari Ulang Tahun PDRI ke 56 di Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan Kamis (6/1), selama tenggang waktu enam bulan 21 hari (22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949), pusat pemerintahan Indonesia dialihkan ke tangan PDRI, pimpinan Sjafruddin Prawiranegara, yang semula sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta.
Sjafruddin sejak November 1948 diajak Hatta ke Bukittinggi dan diminta tinggal di sana sebagai antisipasi terhadap segala kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hubungan Indonesia-Belanda. Sementara Hatta pun berangkat ke Tapanuli untuk menyelesaikan perang saudara antara kelompok Bedjo dan Malau yang sangat meresahkan rakyat.
Dalam waktu singkat Hatta berhasil menyelesaikan pertikaian itu. Kemudian lewat Bukittinggi kembali ke Yogyakarta dengan pesawat kepunyaan KTN (Komisi Tiga Negara). Namun sebelum berangkat ke Bukittinggi, Hatta sudah memperkirakan kemungkinan aksi militer Belanda II akan terjadi dengan menggempur Jogjakarta dan Sjafruddin sudah dipersiapkan untuk menjadi Perdana Menteri sementara.
Pembicaraan Hatta dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Mr Stikker di Jogjakarta telah berakir dengan jalan buntu. Situasi inilah yang menyebabkan memanasnya hubungan Indonesia dan Belanda yang masih belum mau melepaskan daerah bekas jajahannya. Kesulitan Pemerintahan Hatta memang bertumpuk-tumpuk. Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948 baru saja dapat ditanggulangi dengan mengerahkan pasukan Siliwangi. Situasi rentan inilah yang digunakan Belanda untuk menghabisi riwayat Indonesia yang baru berusia setahun jagung.
Dugaan bahwa Belanda akan menggempur Jogja jadi kenyataan. Pukul 06.00 WIB pagi tanggal 19 Desember 1948, Lapangan Terbang Maguo mulai dihujani bom pesawat tempur Belanda. PM Hatta yang sudah berada di istana presiden dari Kaliurang, tempat peristirahatannya segera bertindak. Sidang kabinet diadakan untuk memberi mandat kepada Sjafruddin agar membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.
Mandat serupa juga dikirimkan kepada LN Palar, Dr Sudarsono dan AA Maramis yang sedang berada di India, sekiranya Sjafruddin gagal dalam usahanya membentuk pemerintahan darurat. Ternyata Sjafruddin mampu melakukannya. Namun sayangnya dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1949 yang bertalian dengan peristiwa 19 Desember 1948, presiden tidak menyebut satu kata pun tentang PDRI, sebuah pemerintah sementara yang mendapat mandat penuh dari presiden dan wakil presiden. Apalagi PDRI telah turut menyelamatkan kedaulatan republik dalam situasi yang gawat.
”Saya tidak tahu mengapa presiden berat lidah untuk menyinggung peran PDRI ini. Apalagi mengucapkan rasa terima kasih kepada peran yang telah dimainkannya. Saya juga gagal memahami mengapa peristiwa 13 Juli 1949 pada saat Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya tidak pula disinggung dalam pidato presiden saat itu,”ujar Syafii lagi.
Kemudian menurut Syafii, setelah Soekarno dan Hatta ditawan, Kabinet Hatta masih sempat bersidang dan diantara keputusannya, presiden dan wakil presiden mengirim kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi yang isinya bahwa ia diangkat sementara membentuk pemerintahan darurat, dan membentuk suatu kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat.
Ungkapan mengambil alih pemerintah pusat secara konstitional menjadi penting karena setelah PDRI dibentuk tanggal 22 Desember 1949, di Halaban di wilayah Lima Puluh Koto, tidak ada kekuasaan pemerintahan lain yang sah di wilayah Lima Puluh Koto, kecuali PDRI. Sekalipun selama tiga hari (19-22 Desember 1948) ada semacam kevakuman pemerintahan. Namun secara de jure sejak itu 19 Desember 1949 kekuasaan sementara tidak lagi berada di tangan Soekarno Hatta atau sebutlah Kelompok Bangka, tetapi di tangan Syafruddin dengan PDRI nya.
Adapun terlambatnya kawat diterima Sjafruddin lantaran persoakan teknik komunikasi yang terputus-putus saat itu. Desa kecil yaitu Bidar Alam di pedalaman Solok Selatan merupakan tempat bersejarah yang terlama menjadi pusat PDRI yaitu tiga sampai empat bulan.
Intuisi Hatta yang menyuruh Sjafruddin untuk tinggal di Bukittinggi sejak Nopember 1948 tampaknya berdasarkan pengalaman bahwa Belanda tidak dapat dipercaya. Begitupun pembentukan PDRI di Halaban pada 22 Desember 1948 bukanlah berangkat dari sebuah keinginan untuk berkuasa, menggantikan pemerintahan tawanan. Tindakan itu semata-mata kaerena sikap yang snagat mendasar yaitu kemerdekaan harus dipertahankan.
Menurut Syafii lagi, dalam perspektif ini penolakan PDRI terhadap pernyataan Roem-Royen harus ditafsirkan sebagai sikap politik dari mereka yang mengerti hukum konstitusi. Tetapi juga sikap Bangka yang menugaskan Roem untuk berunding tentu harus dilihat dari sudut kepentingan negara yang ingin secepatnya bebas dari penajajahan. Kelemahannya hanya terletak pada kenyataan mengapa sebelum berunding, tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan PDRI, sebagai pemerintah yang sah. Itulah sebabnya barangkali Moh Natsir, Menteri Penerangan Kabinet Hatta tidak mendukung langkah Bangka.
Ringkasnya menurut putra Sumpur Kudus ini, setelah Hatta kemudian berusaha keras mencari Sjafruddin dan anggota kabinetnya untuk dibujuk agar kembali ke Jogkakarta dan bersedia mengembalikan mandatnya kepada pemimpin Bangka yang sudah berada di Jogja. Maka tanggal 13 juli 1949 PDRI mengakiri sejarahnya yang sangat heroik.
”Dari semua itu dapat disimpulkan, PDRI adalah bagian menyatu dengan seluruh nafas dan gerak perjuangan republik Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang hendak direnggut kembali oleh Belanda. Nafsu itu dimentahkan PDRI yang telah bergerilya yang didukung sepenuhnya rakyat Indonesia, Semenrtara PDRI jarang disebut adalah sebuah malapetaka sejarah yang disebabkan jiwa kerdil yang tidak jarang dapat membutakan mata batin seseorang. Karena itu kita harus mengakui sejarah,” tutur Syafii lagi.
Sejarawan, Dr Mestika Zed, pembicara seminar, menambahkan selama lebih kurang delapan bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949) PDRI berhasil menjalankan tugasnya sebagai pemerintahan alternatif dalam suasana pengungsian. Sesuai dengan sifatnya, darurat, PDRI memimpin pemerintahan secara mobil, berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain sambil meneruskan perjuangan dengan bergerilya.
”Meskipun dalam keadaan darurat dan serba kekurangan, PDRI pada giliran memainkan peran sentral dalam mengintegrasikan pelbagai kekuatan perjuangan yang bercerai berai di Jawa dan Sumatera dan pada saat yang sama mendorong pemulihan perjuangan diplomasi dengan masyarakat internasional termasuk dengan Dewan Keamanan PBB,” ujarnya.
Jadi menurut Mestika, sejarah PDRI dalam satu dan dua hal adalah batu ujian pertama bagi integrasi nasional karena perjuangan kemerdekaan pada masa itu akhirnya berhasil melewati ujian terberat setelah mengalami ancaman disintegrasi bangsa.
Setelah itu menurut Mestika, meminjam kata-kata sejarawan terkemuka Prof Sartono Kartodirjo, PDRI adalah soal to be or not to be Republik. Tanpa PDRI, Republik yang diproklamasikan beberapa tahun sebelumnya itu nyaris tenggelam buat selama-lamanya. Namun berkat PDRI, Republik bisa kembali ke Jogja. Dengan kata lain, PDRI mengembaliklan gagang ke tampuknya. Kemudian menurutnya yaitu menyangkut soal the ethics of power (etika kekuasaan).
Meskipun PDRI dibentuk dan didukung sepenuhnya oleh pemimpin Sumatera Barat, hanya sedikit saja tokoh Sumbar yang duduk dalam kepemimpinan puncak tanpa merasa perlu mengklaim diri sebagai “Putra asli PDRI”.
Lebih penting lagi, berapa Sjafruddin dan pemimpin Sumatera Barat dengan kerelaan dan penuh patriotisme bersedia menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemimpin di Jogja, meskipun mereka pada taraf tertentu telah dilangkahi oleh pemimpin Bangka yang ditawan Belanda dalam mengambil keputusan-keputusan penting mengenai negara dan bangsa lewat perundingan tanpa membawa PDRI.
Kesimpulannya menurut Mestika, mengingat pentingnya peran sejarah PDRI dalam perjalanan sejarah bangsa, aka sudah selayaknyalah sejarah perjuangan era PDRI dijadikan sebagai hari bersejarah nasional. Pengukuhkan yang sekaligus sebagai simbol pengikat integrasi bangsa di tingkat nasional sekaligus menghidupkan kembali tali persaudaraan solidaritas di tingkat lokal belakangan ini cenderung makin kabur dalam memori kolektif generasi bangsa. ***
http://padangekspres.com

53 TAHUN GERAKAN PRRI : Harga Mati sebagai Pemberontak



Pustaka Marola
CAP sebagai pemberontak bagi PRRI oleh Pemerintah Pusat masih terus disematkan hingga kini. Padahal, gerakan PRRI sebagai perjuangan koreksi bagi jalannya pemerintah. Lalu sampai kapan cap pemberontak melekat bagi yang terlibat dalam gerakan PRRI?

The twilight in Jakarta. Suatu senja kala di Jakarta. Hari itu 15 Februari 1958. Lima puluh tiga tahun silam. Sejumlah wartawan asing memasuki halaman rumah kediaman Menteri Luar Negeri RI Dr Subandrio, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Ternyata rumah itu kosong. Dari paviliun kanan muncul seorang diplomat muda, Ganis Harsono, Mantan Atase Pers Kedutaan Besar RI di Washington.
Di depan Ganis, wartawan New York Times, Bernie Kalb berteriak keras. “Apa macam kalian semua ini, hah? Di mana Perdana Menteri Djuanda sekarang? Dimana Menteri Luar Negerimu Subandrio? Semua tak ada di tempat. Tak ada seorang pun yang bisa dimintai keterangan. Apa macam, nih?”

Lalu Ganis Warsono menyuruh para wartawan asing itu pergi ke Menteng, Pusat Perwakilan Negara-Negara Asing. “Di sana beliau-beliau itu akan bertemu. Ada Prime Minister Djuanda dan ada Menlu Subandrio,” kata Ganis.
Tapi Hans Martinot, wartawan ANP (Algeemeen Nederlands Persbureu) dari Belanda berteriak lagi: “Hei, Ganis! Kau jangan berlagak pintar. Kau pasti sudah mendengar satu jam yang lalu RRI Bukittinggi dan Padang telah menyiarkan Proklamasi PRRI (Pemerintah Revolusioner Repunblik Indonesia di Padang).”
Demikian ditulis almarhum Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie, dalam bukunya Mesin Ketik Tua terbitan Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) tahun 2005.
Saat itu 15 Februari 1958. Genderang perang ditalu. Pemicunya, ketidakpuasan daerah kepada Pemerintah Pusat: banyak senjang, tak sedikit yang timpang dalam roda pemerintahan. Komunis berkembang subur.
RRI Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, Tanjung Pinang, dan Jambi pada waktu itu memang menunda siaran yang telah diagendakan lalu digantikan oleh pengumuman penting dari Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein tentang terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Mr Sjafruddin Prawiranegara, yang sebelumnya merupakan pemimpin PDRI—dipilih Perdana Menteri.
Ahmad Husein membacakan tuntutannya untuk Pemerintah Pusat yang dikenal dengan “Piagam Perjuangan”. Isinya tuntutan itu:
1). Bubarkan Kabinet Djuanda dan kembalikan mandatnya ke Presiden,
2). Bentuk zaken kabinet nasional di bawah suatu panitia pimpinan M Hatta dan Hamengkubuwono IX,
3). Beri kabinet baru mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu mendatang,
4). Presiden Soekarno/Pj. Presiden agar membatasi diri menurut konstitusi.
5). Bila tuntutannya tak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijaksanaan sendiri.
Setelah membacakan “Piagam Perjuangan” itu, Ahmad Husein pun melantik Kabinet PRRI di Gubernuran Padang.
Pecah di Tubuh Militer
Menurut Rusli Marzuki Saria —akrab dipanggil Papa— salah seorang yang ikut bergabung dengan PRRI, terlepas dari sebutan apakah PRRI sebagai pemberontakan atau tidak, PRRI muncul merupakan akumulasi dari geliat militer yang banyak muncul sebelum kemerdekaan dan sesudahnya.
“Ini dipicu karena faktor kekuasaan, militerisme, dan belum solidnya militer Indonesia,” kata Rusli Marzuki Saria yang bergabung PRRI saat berusia 22 tahun. Ia bergabung dengan Mobbri (kini Brimob) 106 Sumatera Tengah kepada Haluan, Sabtu (12/1).
Dijelaskannya, sekitar tahun 1945-1950, puluhan para para militer yang bergabung di antaranya Masyumi (tentaranya Hizbullah), PKI (tentaranya Tentara Merah Indonesia), Ninik Mamak (tentara adat), Perti (tentara Allah), dan sebagainya. “Sebagian besar tentara itu tak bergaji.”
Pada tahun 50-an pemerintah memberlakukan sistem gaji terhadap tentara dan mengatur secara benar organisasi militer ini, sehingga banyak tentara yang tersingkir. “Tentara-tentara yang sebelumnya ikut berjuang meraih kemerdekaan ini, banyak yang tersingkir karena berbagai persyarakat yang diterapkan pemerintah. Mereka inilah kemudian berkumpul dan melakukan perlawanan dari daerah-daerah,” jelas Papa.
Rusli Marzuki Saria saat itu bergabung dengan Kompi Mawar FK Unand. Di Kompi itu, ada banyak senjata pemberian Dewan Benteng, yaitu 12 buah basoka, 12 LMS, brengan, british LE, dan JS Karaben.
Diserang Kiri-Kanan
Pemerintah Pusat tak senang diultimatum. Lima hari setelah ancaman itu, Pusat kirim tentara ke Padang sebanyak 7.500-10.000 personil terdiri dari Kodam Diponegoro, Siliwangi, Brawijaya dan elit Banteng Raiders juga KKO khusus Marinir AL ke Sumatra Tengah (Minangkabau). Tidak cukup? Pusat memperkuat lagi dengan mengirim 5-7 kapal perang dan ditambah dengan pesawat tempur.
Kolonel Ahmad Yani memimpin penyerangan. Namanya Sandi Operasi 17 Agustus. Maka, berdarah-darahlah negeri ini. Dentuman dan raungan senjata perang sahut-menyahut. Perang sesama saudara sendiri. Saling mengunus senjata dengan saudara yang pernah sama-sama berjuang memerdekakan negeri yang bernama Indonesia ini.
Bagindo Fachmi, 70 tahun, salah seorang yang terlibat langsung dalam gerakan PRRI mengisahkan, gerakan PRRI sebagai perjuangan koreksi terhadap jalannya pemerintahan.
“Pemerintah pusat saat itu tidak merasa ada yang perlu dikoreksi. Perlawan itu dinilai pusat sebagai pembangkangan terhadap pusat. Senjata adalah jawaban yang tepat pagi pusat. Pembangkangan para militer yang sakit hati. Di dalam teori militer, mereka disebut desersi. Maka, kebijakannya adalah tumpas,” kata Bagindo Fachmi.
Dewan Perjuangan yang diketuai oleh Letkol Ahmad Husein adalah gabungan dari dewan-dewan daerah seperti Dewan Benteng (Sumatera Tengah), Dewan Gajah (Sumatera Utara), Dewan Garuda (Sumatera Selatan), Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan Selatan), dan Permesta (Sulawesi Utara). Sekretaris Jenderal Dewan Perjuangan adalah Kolonel Dahlan Djambek, Deputy III KSAD yang bergabung dengan Dewan Banteng.
Rapat Rahasia
Dalam buku “Mesin Ketik Tua” disebutkan, lebih kurang sebulan sebelumnya yakni pada 8 Januari 1958 telah berlangsung rapat rahasia di Sungai Dareh, Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Tempat rapat di sebuah gedung yang amat sederhana di tepi Sungai Batanghari yang dikenal dengan “Pasanggrahan”.
Dari pihak militer yang hadir, Letkol Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng), Kolonel Maludin Simbolon (Ketua Dewan Gajah), Letkol Barlian (Ketua Dewan Garuda), Letkol Venje Sumual (Permesta), Kolonel M. Dahlan Djambek (Deputi II KSAD yang bergabung dengan Dewan Banteng), Kolonel Zulkifli Lubis (Wakil KSAD yang menghilang).
Tokoh dari sipil adalah Moh Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Syarif Usman, Almez, Taher Samad, Duski Samad, H. Darwis Taram, Moh. Sjafe’i Kayutanam, Sulaiman, dan Sjarif Said. Rapat itu berlangsung dua hari dan berakhir tanggal 9 Januari 1958. Pertemuan hari pertama khusus militer dan hari kedua gabungan militer dengan politisi.
Dalam pertemuan rahasia tersebut disepakati bahwa sebulan setelah rapat Sungai Dareh yakni pada tanggal 10 Februari 1958 disampaikan tuntutan kepada pemerintah pusat melalui ultimatum 5×24 jam. (h/naz/adk)
e-Paper Harian Haluan, 13 February 2011

Rabu, 25 April 2012

LAGU IWAK PEYEK



TAN MALAKA short movie 01



Peristiwa Madiun


Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun,baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).

Tawaran bantuan dari Belanda

Konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Inngun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada Amerika Serikat (dan bukannya kepada Uni Soviet).

Latar belakang

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk sayap kiri|golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief (kolonel)|Abdul Latief dan Kapten oentoeng Samsoeri
Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, Muso, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir Syarifuddin|Amir Sjarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan kelompok diskusi Patuk.
Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Suryo|RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi yang sering menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Sebelumnya pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, Plaosan, Magetan|sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.
Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso, tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari pemerintah pusat.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.

Akhir konflik

Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di otel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Biografi Presiden Soekarno


Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.


Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi".

Detik Detik Kematian Sang Presiden

Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
-
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
-
Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno


 tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
-
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
-
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu
-
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
-
“Pak, Pak, ini Ega…”
-
Senyap.
-
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
-
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
-
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
-
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
-
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
-
“Hatta.., kau di sini..?”
-
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
-
“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”
-
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
-
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
-
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
-
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
-
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
-
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
-
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
-
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
-
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
-
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
-
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.
-
Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
-
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
-
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
-
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.
Sumber :
- http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6776934
- http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6776934

Biographi Presiden Syafruddin Prawiranegara

       
         Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang, 28 Februari 1911 dan wafat di Jakarta, 15 Februari 1989. Dia adalah pejuang kemerdekaan RI yang menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan serta Menteri Penerangan dan Urusan Luar Negeri ketika pemerintahan RI di Yogyakarta dikuasai Belanda setelah agresi militer yang kedua, 19 Desember 1948.


Saat itu, Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta diasingkan ke Pulau Bangka.



Dalam tubuh Sjafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, dibuang ke Banten karena terlibat Perang Paderi.



Sutan menikahi puteri bangsawan Banten, yang melahirkan kakek Syafruddin, yang kelak memiliki anak bernama R Arsyad Prawiraatmadja. Arsyad, ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa tetapi dekat dengan rakyat. Ia dibuang Belanda ke Jawa Timur.



Sjafruddin menempuh pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) setara Sekolah Dasar (SD) tahun 1925, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setara sekolah menengah pertama (SMP) di Madiun tahun 1928 dan AMS (Algemeene Middelbare School) setara sekolah menengah atas (SMA) di Bandung tahun 1931.



Ia lulusan Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum, sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia) dan bergelar Meester in de Rechten. Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan dan Menteri Kemakmuran.



Ia juga menjadi Wakil Perdana Menteri tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran tahun 1947. Saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran terjadi agresi militer kedua Belada yang menyebabkan pembentukan PDRI di Sumatera.



Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri tahun 1949, kemudian Menteri Keuangan tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, bulan Maret 1950, ia memotong uang bernilai Rp5 lebih hingga separuh.



Kebijakan moneternya dikritik dan dikenal dengan julukan "Gunting Sjafruddin". Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, tahun 1951. Sebelumnya, ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, kelak namanya menjadi Bank Sentral Indonesia.



Ia menulis buku "Sejarah Moneter" dibantu Oei Beng To, Direktur Utama Lembaga Keuangan Indonesia. Awal tahun 1958, PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan sosial yang terjadi.



Ia diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah. Dalam kabinet PRRI, Sjafruddin adalah Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI.



Keputusan Presiden Nomor 449 Tahun 1961 menetapkan pemberian amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan, termasuk PRRI.



Sjafruddin beristri Tengku Halimah Syehabuddin, seorang wanita kelahiran Aceh. Memasuki masa tuanya, ia menjadi seorang mubaligh. Dalam aktivitas keagamaannya, ia menjadi Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI).



Dia adalah tokoh Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang pada Juni 1985, berkhotba Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A'raf, Tanjungpriok, Jakarta.  

Sumber



Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.

Di masa kecilnya akrab dengan panggilan “Kuding”, dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi — “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra
Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.
Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “penyelamat Republik”. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.
Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
PRRI
Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.
Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Biodata
Syafruddin Prawiranegara
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Masa jabatan : 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
Pendidikan:
ELS (1925)
MULO,Madiun (1928)
AMS, Bandung (1931)
Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
Karir:
Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
Pegawai Departemen Keuangan Jepang
Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
Wakil Menteri Keuangan (1946)
Menteri Keuangan (1946)
Menteri Kemakmuran (1947)
Perdana Menteri RI (1948)
Presiden Pemerintah Darurat RI (1948)
Wakil Perdana Menteri RI (1949)
Menteri Keuangan (1949-1950)
Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM) (1958)
Pimpinan Masyumi (1960)
Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984 – 1989 )



Selasa, 24 April 2012

Negeri Budak Belian






Kembali untuk kesekian kalinya peristiwa tragis menimpa  anak negeri  ini di negeri  jiran
Hati terasa teriris pedih marah  dan sedih mendengar peristiwa  yang tak berperikemanusiaan
Ditembak dijalanan seperti hewan , yang tak bertuan
Dituduh  merampok oleh polisi negeri jiran

Oh sebegitu rendahkah derajat anak  bangsa ini Tuhan ?
 Dosa  dan kutukkan apakah  yang menimpa bangsa dan negeri ini Tuhan ?
Dimanakah martabat  harga diri derajat  negeri ini dimata  kelompok  sesama Asean ?
Apakah bangsa  dan negeri ini   tak ada harga dan derajatnya  dimata  petugas negeri jiran ?.

Ini sunguh penghinaan  perlakuan  yang tak bisa didiamkan.                                                              Pemerintah Indonesia harus  bertindak  tidak bisa  diam.
Peristiwa ini  sudah mencampakkan dan mengangkangi harga diri  bangsa ini oleh sesama  Asean
Setelah menembak mati mereka memporoti  organ2 tubuh si korban

Ginjal jantung hati dan bola mata  dicopot unuk diperjual belikan
Mereka sindikat   negeri jiran yang menjijikkan dan tak bertuhan
 Mayat  korban penuh dengan   sayatan dan jahitan
Keluarga korban terpaksa diam mengantar ke kuburan

Kenapakah  anak bangsa ini diperlakukan sama dengan hewan ?
Pada hal kita tetangga sesama anggota Asean
Oh Para Pahlawan ,inikah Negara yang kau perjuangkan dengan darah dan keringat kawan ?
Inikah Negara yang kau merdekakan ,terlepas dari penjajahan ,duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa lain  kawan ?
                                              
                                                                                          Jakarta  24 April 2012
                                                                                          By : S.Koto


Pojok Spy: Kajian Menafsirkan Arti dalam kartun Politik

Pojok Spy: Kajian Menafsirkan Arti dalam kartun Politik: ABSTRAK Kartun editorial (politik) lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan. ...

Senin, 23 April 2012

Masa Perpeloncoan


Sebagaima kebiasaan yang ada di Unpad Bandung pada masa itu , tiap2 fakultas mengadakan masa perpeloncoan mahasiswa baru  yang dilaksanakan oleh senat mahasiswa masing2 fakultas . Saya sebagai orang seberang yang belum tahu apa2 mengenai perpeloncoan dan kebiasaan daerah ini  ,  mengikuti saja perintah para senior,dengan harapan tidak  dipersulit mengikuti acara2 yang ada .Tapi sungguh mati,aku sebagai orang Padang , pantang untuk diperintah oleh wanita .Tapi disini demi bisa kuliah dan  tidak dipersulit ,aku membuang pantangan itu. Aku dibentak-bentak , disuruh merangkak , push up untuk meminta tanda tangan senior itu. Senior aku wanita 2 mojang Priangan yang cantik2 itu , malah meledek ledek ,mentertawakan aku . Juga suka mensepelekan aku . Aku dikasi nama "bagus" oleh dia dengan nama "Kingkong Dekil". Aku ingat yang kasi nama ini seniorku wanita cantik yang telah duduk ditingkat tiga .Apakah karena badanku besar maka aku dinamakan Kingkong aku tidak tahu .Papan namaku  itu harus kupakai terus  selama acara .Satu kali karena aku sudah capek , aku berdiri dengan bertolak pinggang dalam suatu barisan yang sedang diistirahatkan . He kata salah seorang senior priaku "Tolak cangkeng kau mau jadi jagoan ya?". Aku  ketakutan segera menurunkan tanganku dari pinggangku. Masa perpeloncoan cukup lama selama 15 hari .Tiap pagi sudah harus apel , menjelang jam 9 malam baru boleh pulang .Pada waktu itu situasi perpolitikan nasional juga sedang memanas . Tiap2 partai berusaha mencari dan menggaet masa sebanyak mungkin .Karena itu arena kampus suasananya juga bergelora  .Saling berebut mencari pengaruh . Mahasiswa pun diperebutkan oleh organisasi mahasiswa yang ada .Seperti HMI  yang beraffiliasi dengan Partai Islam. GMNI yang merupakan sayap organisasi PNI , serta GMKI yang merupakan  onderbow Partai Katholik . Sedang CGMI. merupakan organisasi mahasiswa dari Partai Komunis . Aku didekati oleh berbagai macam organisasi. Baik HMI maupun CGMI dan juga GMNI .Kebetulan karena yang  mendekatiku itu orang Padang dari GMNI , maka  jadilah aku anggota GMNI komasariat Fakultas hukum Unpad . Aku ingat pula assiten dosen perdataku waktu itu adalah pak Bagir Manan, yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung .Sedangkan dekanku pak Usep Ranawidjaya seorang tokoh PNI dari  Jawa Barat .





Minggu, 22 April 2012

Tinggalah Kampuang


Dengan menompang kapal Koan Maru , aku berangkat ke Jakarta ditemani seorang sahabat dari Sungai Puar.Aku anak daerah yang tidak pernah bermimpi ingin menginjakkkan kaki di ibukota ini . Pada waku itu aku merasa terpukul. Aku sendiri tidak ingin pergi ke Pulau Jawa . Itu hanya karena orangtuaku yang ingin aku berangkat." Hai chun , anak den sen padusi lai barangkek ka Jawa.".kata papaku. Kakakku yang sulung perempuan telah terlebih dahulu berangkat ke Jawa . Dia selepas SGA Padang Panjang kemudian melanjutkan pendidikannya di IKIP Bandung . Jadi karena "provokasi" orang tuaku itulah aku memberanikan diri berangkat ke P. Jawa.Setibanya di ibukota ,aku dibawa dulu oleh sahabatku itu ke Blok M ,kerumah seorang tokoh Sungai Puar yang jadi anggota MPR di Jakarta .Setelah beristirahat sebentar baru aku diantar ke Matraman ke tempat ibu kecilku .Disana sudah menunggu kakakku yang sulung. Dan besoknya dengan menompang bus jurusan Bandung  dari Bungur kami berangkat ke Kota Parahiyangan ini .Sesampai di Bandung waktu akan naik becak aku mendengar dialog dan bahasa yang belum pernah aku ketahui . Kakakku berkata kepada Abang Becak : Bang sabaraha ka wira-angun2 .?Si Abang nya menjawab : tilu ribu neng ?. Aku bingung mereka ngomong apa .Aku kira ngomong di Bandung sama saja dengan di Jakarta , yang hanya ditukar huruf a  dengan e .Kita jadi  kite .Ana jadi ane .Eh rupanya tidak . Aku kagum juga pada kakakku karena bisa  berbahasa sunda .Jadilah aku sekarang warga Bandung ,kota indah penuh kenangan Kota "Paris van Java" .Kota seribu gadis cantik .Kota Mojang Priangan .Aku mendaftar di Fakultas Hukum Unpad . Sedangkan kakakku yang nomor dua sudah kuliah pula di Fakultas ekonomi Unpad .Dia dua tahun diatasku. Aku mengikuti test dengan enteng saja ,karena aku dari dulu bukan seorang kutu buku. Eh tidak dikira waktu ada pengumuman Penerimaan Mahasiswa  di Fakultas Hukum Unpad nama ku tercantum sebagai calon mahasiswa yang diterima . Aku senang juga .Waktu aku kembali kerumah di wira angun2 aku segera dibrondong pertanyaan oleh kakakku . Bagaimana diterima ngak ?. ada ngak namanya di Pengumuman ? Dengan enteng seperti orang yang sudah bisa berbahasa Sunda aku jawab :Aya .Uni yang punya rumahpun tersenyum , ketawa melihat lagakku berbahasa Sunda .Semua nya bersorak gembira . Tapi aku sendiri biasa2 saja .Aku menderita home sick. Rindu kampuang halaman , dan belum bisa menerima lingkungan baru . Pada waktu perpeloncoan mahasiswa , aku disodori oleh seniorku , orang Padang juga untuk masuk GMNI .Jadilah aku mahasiswa Fakultas Hukum Unpad dan anggota GMNI Bandung .

Masuk sekolah


Ketika itu keadaan keamanan Negara Indonesia yang baru beumur setahun jagung ini sangat labil. Pemerintahan jatuh bangunan . Kabinet silih berganti. Stabilitas politik tidak terjamin .Sistem pemerintahan juga berganti. Dari sistem presidentil sesuai UU'45 , berubah jadi sistem parlementer.UUDS1950.Berbagai macam partai tumbuh menjamur.Rakyat bingung memilih mau ikut partai yang mana .Sedangkan diberbagai daerah terjadi pemberontakan .Kartosuwiryo yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia, pemberontakkan DI/TII di Aceh .Maupun pemberontakan RMS di Maluku yang hendak memisahkan diri dari NKRI.Terlihat pemimpin republik ini kewalahan mengatasi keadaan . Aku melangkahkan kaki kesekolah yang merupakan sekolah terbaik dikotaku Bukittinggi ,yaitu SD Franciscus  diantar oleh orang tuaku .Di sekolah ini yang merupakan sekolah peninggalan Belanda , memang mempunyai sistem pendidikan yang bagus. Baik guru2-nya maupun mata pelajaran yang diberikan sangat memuaskan .Aku kelas 3 SD , telah diajari bahasa Belanda.  Suatu hari aku lari2 dari tangga ruko tempatku tinggal terjatuh berguling guling kebawah .Waktu itu tanteku , aku panggilnya tante Ros , memberi aku uang jajan. Saking senangnya aku lari2 kebawah ingin membelanjakan uang tersebut .Tapi aku terpeleset jatuh  terpaksa diurut , tidak jadi membelanjakan uang yang dikasi tante ku itu. Tanteku itu juga bangga kepadaku karena dia kalau datang sering mengetesku . Apa kursi bahasa Belanda ? katanya .Aku jawab de stoel. Apa guru bahasa Belandanya ? aku jawab meneer. Nah aku menjalani masa sekolah di SD Fransciscus ini dengan mulus .Tiap tahun naik kelas. Suster yang mengajar mata pelajaran bahasa yaitu suster Fedelis aku paling takuti. Dia galak dan kalau tidak mau memberi uang bes, tiap jumat dia akan membelalakkan matanya .Selepas SD aku tetap menyambungnya disitu juga yaitu SMP Xaverius. Aku tetap bisa mengikuti pelajaran dengan baik.aku naik kelas dua.Tapi kemudian terjadi pemberontakkan PRRI. Sekolahku jadi tidak menentu . Aku tidak naik kelas tiga , aku harus mengulang .Aku kesal sekali. teman2ku akan ujian penghabisan , sedangkan aku tidak bisa ikut ujian .Aku putar akal, aku mendaftar ikut ujian extranai. Aku tidak bilang 2 sama orang tua. Dengan teman2ku aku ikut mendaftar ,karena aku telah mempelajari semua pelajaran itu di kelas 2 .Pelajaran di SMP Xaverius ini jauh lebih tinggi dari sekolah lainnya.Tahun kedua itu semua mata pelajaran telah habis dipelajari. Kelas tiga cuma pengulangan dan pemantapan saja. Kepercayaan terhadap kemampuanku itu terbukti dengan berhasilnya aku lulus ujian negara mendapat ijazah SMP tanpa pernah duduk dikelas 3 . Dan kemudian aku menyambung sekolah ku pada SMA II C Negeri Bukittinggi. Di SMA ini tahun kedua aku menjadi Ketua Umum atau sekarang disebut ketua OSIS .Tahun 1964 aku lulus SMA dan melanjutkan pelajaran ke Fakultas Hukum Unpad Bandung .

" Awang kaba subang ?" kata kakekku

Kantor Wali Nagari Sungai Puar

 





Setelah Belanda mendapat protes Internasional dari berbagai negara di dunia seperti ;India , Amerika Serikat, maka Belanda menghentikan agressinya terhadap Negara Republik Indonesia. Belanda secara berangsur angsur menarik  pasukannya dari tanah air,tetapi tetap melakukan politik adu domba ,Mereka mendirikan negara2 boneka .Pihak Belanda membentuk pemerintahan Federal dengan Van Mook sebagai kepala pemerintahannya. Dalam Konferensi Federal di Bandung pada tanggal 27 Mei 1948 lahirlah Badan Permusyawaratan Federal (BFO: Bijeenkomst voor Federal Overleg) didalam BFO terhimpun Negara-negara boneka ciptaan Belanda:








NEGARA
TAHUN BERDIRI
WILAYAH
WALI NEGARA
Negara Indonesia Timur
Desember 1946
Sebelah timur selat Makassar dan Selat Bali
Cokorda Gde Raka Sukarwati
Negara Sumatera Timur
Disetujui: 25 Des 1945
Diresmikan: 16 Peb 1947
Medan dan sekitarnya
Dr. Mansyur
Negara Sumatera Selatan
30 Agustus 1948
Palembang dan sekitarnya
Abdul Malik
Negara Jawa Timur
26 Nopember 1948
Surabaya, Malang, dan daerah-daerah sebelah timur sampai Banyuangi
RT. Kusumonegoro
Negara Pasundan
26 Pebruari 1948
Priangan, Jawa barat dan sekitarnya
RAA. Wiranatakusumah
Negara Madura
16 januari 1948
Pulau Madura dan sekitarnya
Cakraningrat
Daerah-daerah Otonom:
-    Kalimantan Barat

Oktober 1946

Kalimantan barat


Sultan hamid II
-    Dayak Besar
Desember 1946
Kalimantan Tengah
-    Banjar
Januari 1948
Banjar dan sekitarnya
-    Kalimantan Tenggara
Maret 1947
Pulau Laut, Pagetan, cantung dan Sampangan
-    Jawa tengah
Maret 1949
Banyumas. Pekalongan dan Semarang
-    Bangka, Belitung dan Riau
Januari 1947
Kepri dan Babel







 Bung Karno dan Bung Hatta kembali memimpin negara baru ini, setelah lepas dari tawanan Belanda di Bangka Belitung.Tapi masa agressi Belanda itu sangat membekas dihatiku. Karena Kakekku Rasul Dt Madjoen tewas tertembak oleh Belanda .Kakekku ini didaerah sekitar Gunung Merapi Sungai Puar itu dikenal sebagai Ketua Perbekalan buat tentara Republik. Kakekku itu bersama kawan2nya dan juga papaku, sering melakukan penyelundupan karet dari Djambi ke Singapura. Lalu karet itu ditukar dengan senjata dan perbekalan lainnya  buat tentara Republik.Karena itu Belanda berupaya untuk bisa menangkap atau menembak mati kakekku itu.Belanda menyiapkan spionase unuk memata-matai keberadaan kakekku. Berdasarkan petunjuk spionase atau tukang tunjuak itu kakekku dipancing oleh spionase itu dengan memanggil namanya pada suatu pagi .Pada waktu kakekku membuka pintu jendela rumahnya Belanda yang telah siap dengan senjatanya segera memuntahkan pelurunya. Kakekku terjatuh tewas seketika . Semua kerabat segera datang menyatakan duka cita. Aku cucunya hanya  bisa menangis .Kakekku itu seorang yang penyayang dan juga humoris. Aku ingat ketika suatu hari  aku diajak oleh papaku menemui beliau yang lagi berdagang perhiasan emas di Toko Belakang Pasar Bukittinggi .

 .Dengan memegang tanganku aku dibawa kehadapan kakekku itu ." Abah ini si Chun dianta si Nian ka pasa ?. kata papaku. Kakekku melihat dalam padaku dan kemudian berkata : Kamarilah ang , awang ka basubang ? ( Kesinilah , kamu akan memakai anting ?) Aku hanya diam saja lalu beliau memeluk  dan membelaiku lalu menyuruh naik keatas sambil mengatakan : Maktuo ado diatas pergilah minta makanan padanya .Maktuo ku itu bernama maktuo Atun. Beliau istri kedua kakekku. Dan mempunyai anak 6 orang . Pertanyaan : siapakah aku ? kenapa kakekku menawari anting padaku ?  pembaca yang bisa menebak akan dapat hadiah .