Menghargai sejarah adalah suatu perilaku
yang sangat dituntut manakala suatu daerah atau wilayah memiliki kemauan untuk
menjadi daerah atau wilayah yang besar. Namun kesulitan demi kesulitan tidak
dapat terelakkan untuk memastikan validitas suatu sejarah, akan tetapi dengan
keterbatasan data dan fakta baik tertulis maupun lisan merupakan nilai yang
sangat berharga ketika ditemukan dalam rangka menarik akar sejarah suatu daerah
(seperti monografi nagari Sungai Pua yang ditulis oleh Anurlis Abbas pada tahun
1982 dan monografi desa yang ada di Sungai Pua), apalagi sejarah Sungai Pua
yang konon sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang silam.
Suatu hal yang perlu digaris bawahi bahwa
tekat serta keinginan yang kuat dari anak Nagari Sungai Pua untuk menampilkan sejarah
Sungai Pua yang dilengkapi dengan suatu data, tanggal atau tahun bagi
pengenalan sejarah serta asal-usul Minangkabau, Luhak nan Tigo, terutama
tentang Nagari Sungai Pua.
Menurut
cerita dari mulut kemulut, turun temurun di Mingkabau, kerajaan itu ditemukan
oleh Iskandar Agung. Sesungguhnya kerajaan
Melayu yang kemudian muncul dan sampai kini masih terdapat di bahagian
Minangkabau, didirikan oleh pendatang Hindu pada abad ke 7 Masehi.
Nama Minangkabau
pertama kali ditemukan pada sebuah catatan bertarich 1365 Masehi, diberikan
sebagai nama daerah dan nagari yang pernah bertarung dengan kerajaan Majapahit.
Secara
etimologi mengenai nama Minangkabau tercatat pada waktu dimana terjadinya
kerajaan sedang mempertahankan kemerdekaannya. Sebagai peringatan atas kejadian
ini-aduan anak kerbau yang sedang erat menyusu dengan kerbau jantan Majapahit,
dimana matinya kerbau Majapahit itu – orang Melayu sebagai pemenang menamakan
negerinya Minangkabau. Riwayat ini masih saja diterima secara bulat diantara
rakyat, sedangkan kerbau adalah lambang bagi kesatuan bangsa.
Kata asal
ini lebih disukai oleh orang Melayu, yang juga mengadakan pemindahan secara
besar-besaran kesemenanjung tanah Malayo/Malaka, tetapi kemudian ada yang
memasukkan bentuk patrilinial dalam system kekeluargaannya.
Nama Sungai
Pua sendiri agaknya berasal
dari Batang dan Pua, yakni kali yang kedua belah pinggirnya ditumbuhi sebangsa
pohon, membelah kampung Lidah Api sampai ke Cingkaring. Kini kali tersebut
dapat dilihat sebagai sungai mati. Sesungguhpun demikian curam dan lebarnya
memberi bekas bagaimana derasnya arus air yang pernah mengaliri batang pua
tersebut selagi masih berfungsi.
Inyiak Segeh
juga mensinyalir dalam tulisannya bahwa lahar dari puncak gunung Marapi
mengalir ke sebelah Utara menuju Barat membentuk sungai (Limo Kampuang, Ampuah
dan terus ke Limo Suku). Di pinggir kiri kanan sepanjang lahar yang mengalir
itu tumbuh batang pua yang tidak lebih dari 50 s/d 70 cm berwarna putih
keungu-ungguan sehingga membentuk suatu pemandangan yang indah. Maka terbentuklah
Sungai Pua.
Apabila
nama, letak nagari Sungai Pua disenafaskan dengan Gunung MERAPI (2891 SM), maka
sejarah, kaba, legenda, cerita mulut kemulut mencatat, bahwa asal-usul nenek
moyang orang Minangkabau pada hakekatnya turun dari puncak Gunung Merapi ini.
Bahkan orang-orang tua di Sungai Pua adalah yang dengan penuh kesungguhan hati
lebih jauh mengaitkan asal-usul tersebut dengan Kapal Nabi Nuh as.
Menurut
Ilyas Dt. Bandaro Rajo (90 tahun Piliang), di puncak gunung
Merapi – dekat Talago – masih terdapat kuburan, yang dikenal sebagai Kuburan
Panjang. Kecuali itu, senantiasa puncak gunung merapi dianggap keramat,
terbukti puncak gunung tersebut menjadi sasaran akhir bagi mereka yang pergi
“Batarak” (bertama-bersemedi), setelah melakukan hal yang sama di gunung Bunsu
dan gunung Kerinci. Puncak tersebut sampai kini menjadi sebutan, ada puncak
yang disebut dengan gunung Parpati, karena di puncak tersebut banyak didapati
tulang-tulang dari burung merpati.
Konon ada 8 orang nenek moyang dulunya
turun temurun pertama kali:
- Sultan Marajo Dirajo, beserta isterinya: Putih Indah Jeliah
- Suri (contoh teladan, penasehat) Dirajo Nan Banego-nego.
- Cateri Reno Sudah.
- Jati Bilang Pandai.
Beserta pembantu-pembantunya:
- Harimau Campo
- Kambiang Hitam
- Kuciang Siam
- Anjiang Mualim
Penduduk Sunga Pua hanyalah mendengar kisah-kisah
ini, bahwa tempat penampungan adalah TANAH PADANG RANG KOTO.
Kemudian diaturlah pembagian sebagai berikut:
Tanah padang pembagian rang koto
Air pembagian rang pili
Tanjung pembagian rang pisang
Banda pembagian rang sikumbang
Guguak pembagian rang melayu.
Galodo,
lava, lahar yang sampai sekarang masih banyak bekasnya, berakhir di Lidah Api.
Berkat keramat Inyiak Nan Balinduang yang menanamkan bareco, sebangsa
pohon kayu besar, sampai sekarang masih hidup terpencil satu-satunya di tempat
tersebut. Terhindarlah anak kemenakan beliau – orang Sungai Pua – dari bencana
lava tersebut.
Turunnya
Inyiak Nan Balindung adalah Tuangku Laras Sungai Pua, dikenal sebagai Sulaiman
Dt. Tumanggung, meninggal tahun 1914,
dikuburkan dipandam pekuburan asal: Tampaik, Sungai Pua. Beliau terkenal
bijaksana, pandai berbicara dan sukar tandingannya diantara lareh-lareh di
Luhak Nan Tigo, dan Luhak Agam sehingga menyebabkan sebuah pabrik korek api
Swedia mempergunakan kemasyhuran tersebut sebagai cap/trade mark produksinya,
yaitu dengan memasang foto Tuangku Laras Sungai Pua. Tentu saja barang dagangan
tersebut menjadi laras lakunya.
Abdul Moeis,
pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia, meninggal di Bandung, dr Ariffin,
adalah anak dari Tuangku Laras ini. Perang Paderi, Perang Kamang, Perang
Mangopoh, Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1950) tidak pernah absent
diikuti oleh segenap rakyat Sungai Pua.
Suatu hal
yang sangat perlu diketahui, bahwa di Kota Bandung (salah satu daerah
parantauan bagi orang Sungai Pua) ada jalan dan terminal yang diberi nama Abdul
Moeis dan Soedirman (Saudara Abdul Moeis, yang terkenal dengan piala Badminton Soedirman)
yang dianggap sebagai pahlawan dan pejuang yang cukup banyak berjasa terhadap
Negara Republik Indonesia di bidangnya masing-masing. Berliau berdua adalah anak pusako urang
Sungai Pua (anak Tuanku Larch) Soelaiman Dt. Tumangguang. Demikian yang ditulis
oleh Inyiak Segeh dalam tulisannya.
“Adat adalah
pakaian rang Sungai Pua”, begitu ungkapan dan kesimpulan masyarakat bukan
Sungai Pua, apabila diperlukan sesuatu makna dalam pertikaian pengertian
mengenai applied/penjabaran adat itu sendiri.
Pada tahun
1946 – bulan Juli – atas kehendak rakyatnya, dalam suatu rapat umum di lapangan
Balai Panjang Sungai Pua, dinyatakan 2 (dua) kenagarian yaitu Kapalo Koto dan
Tangah Koto, disatukan menjadi satu nagari: Sungai Pua seperti sekarang dengan
jorong jorongnya: Limo Kampung, Kapalo Koto, Tangah Koto, Limo Suku dan
Galuang.
Pada tahun
1909 mulailah pemuda Sungai Pua pergi belajar agama Islam di Padang Japang (50
Kota) yang dipimpin Oleh Sech Abbas Abdullah.
Kaum adat,
agama dan cendikiawan Sungai Pua senantiasa memberi warna terhadap dinamik,
kritik dan bersikap logis anak negerinya.
Buku Sungai Pua, Karangan D. P. Murad (89 halaman) ditulis oleh pemuda
Sungai Pua sendiri, demikian juga buku Alam Minangkabau karangan Angku Ajunct
(1951) dan buku perjuangan rakyat Sumatera Barat 1945-1950 mengaris bawahi,
bahwa nagari Sungai Pua beserta putera-puterannya adalah peserta aktif dalam
peranan mula, masa kritis dan penyelesaian perang kemerdekaan melenyapkan
penjajah Belanda dari bumi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar