Sabtu, 04 Agustus 2012

Bima Arya Sugiarto, Dari Anti Partai Sampai Masuk Partai

Rofans Manao
Bima Arya Sugiarto semakin lama semakin naik daun. Terakhir beliau dengan hebat menghakimi PKS lantaran partai tersebut membangkang keputusan Satgab dalam paripurna BBM. Dengan lantangnya beliau menyebut PKS telah melanggar kontrak koalisi selama 4 kali. Beliau sendiri masuk PAN tahun 2010. Sumber di sini. Sumber tersebut menyatakan bahwa Mas Bima sudah lama bekerja sama dengan PAN dengan kapasitas konsultan profesional sebelum resmi masuk partai.
Latar belakang Mas Bima sendiri sangatlah mumpuni. Beliau Doktor Ilmu Politik lulusan Australia. Sewaktu masih S1 di Bandung sampain S3 di Australia, tetap aktif dalam kegiatan mahasiswa. Bukan itu saja setelah jadi Doktor, beliau dipercaya memimpin dua lembaga Think Tank ngetop. Lead Institute di Universitas Paramadina dan Charta Politika, salah satu konsultan politik SBY-Boediono 2009.
Dengan latar belakang demikianlah, tanggal 10 Februari 2010 beliau resmi jadi anggota PAN.
Tentu tidak masalah kalau orang mau masuk partai. Itu hak asasi yang bersangkutan.
Tapi dalam kasus Mas Bima ini ada sedikit yang spesial. Beliau sendiri punya pemikiran yang unik terhadap dunia politik di Indonesia. Sebagian pemikiran beliau tertuang di blog beliau http://bimaaryasugiarto.blogspot.com/.
Sebagian ini pemikiran beliau (saya kutip langsung tanpa editan):
  • Pilkada langsung awalnya diyakini akan mengikis habis praktik oligarki elit partai yang sangat kuat di sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

  • Namun pada kenyataannya, pilkada langsung ternyata malahan memunculkan sejumlah persoalan-persoalan yang sangat problematik.

  • Fenomena ini terjadi karena pada pilkada langsung, faktor popularitas individu menjadi lebih penting ketimbang faktor partai pendukung.

  • Hal lain yang sangat mencolok adalah adanya praktik ”jual beli” tiket partai kepada kandidat. Pengurus partai yang memiliki posisi struktural yang strategis kemudian menjadi ’bandar politik’ dan bermain mata dengan para pemodal.

  • Dengan demikian, harapan bahwa pilkada langsung akan mengikis praktik oligarki partai menjadi pupus.

  • Secara realitas, kandidat tidak mungkin untuk mencukupi pembiayaan pencalonannya seorang diri. Biasanya ia akan mengumpulkan dana dari berbagai pihak sponsor dengan konsesi-konsesi politik-ekonomi yang akan disepakati kemudian.

  • Besar kemungkinan pihak pemodal kemudian akan menjadi pemerintah bayangan dengan ikut menentukan secara informal kebijakan dari kepala daerah terpilih.
Intinya ialah Mas Bima mengkritik metode rekrutment partai yang sepertinya sudah dikomersialisasi/dibiniskan.
Sebagian pemikiran beliau yang lain (juga tanpa editan):
  • Politisi dengan latarbelakang pengusaha kini memenuhi struktur kepengurusan partai.

  • Jumlah prosentasi penguasaha pada PAN dan PDI-P relatif sama dengan prosentasi peningkatan yang terbesar ada pada PAN.

  • Meningkatnya jumlah politisi-pengusaha ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi liberal yang kini diadopsi di Indonesia.

  • Ketua umum PAN Soetrisno Bachir secara gamblang bahkan menyatakan bahwa jika saja 10% dari anggota DPP partai berasal dari pengusaha, maka biaya pengelolaan partai otomatis akan tertutup (Sugiarto 2005).
Nah yang di atas ini sepertinya hasil penelitian beliau sehingga mampu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang pertama tadi.
Bukan cuma di blog, Mas Bima rupanya juga sudah menerbitkan sebuah buku yang mengkaji hal ini.
1333765374706662978
Judul yang cukup jelas menunjukkan apa isi bukunya.
Dengan pemikiran-pemikiran seperti ini, tentu Mas Bima punya alasan yang kuat untuk akhirnya memutuskan masuk partai. Tentu menarik ditunggu seperti apa kelanjutan karir politik beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar