Rabu, 22 Agustus 2012

Demokratis Berpolitik dan Berkawan


Cita-cita persatuan dan kemerdekaan bangsa membulatkan tekadnya untuk mati-matian melawan kolonialisme dan membela kawan seperjuangan. Menolak jabatan boneka demi rakyat dan hati nurani.
Lelaki berperawakan tegap itu maju ke depan dengan langkah mantap dan teratur. Berhenti sejenak memberi hormat kepada majelis hakim di depannya, ia lalu membacakan dengan lantang pembelaan yang telah disusun jauh-jauh hari untuk kawan karibnya. Semua hadirin seperti tersihir dan hanya terdiam membisu.
“Tiada suatu fasal dalam kitab hoekoeman menjatakan bahwa daja oepaja hendak bersatoe atau mentjapai kemerdekaan itoe dapat dihoekoem. Lagi poela tiap-tiap perkoempoelan Indonesia jang berdasarkan politik dapat dikatakan, bahwa toejoeannja ialah mentjapai kemerdekaan Indonesia. Oentoek mentjapai atau menjampaikan toejoean jang diidjinkan ini maka soeatoe sjarat daripada beberapa sjarat jang teroetama: Persatoean Bangsa Indonesia,” ujarnya.
Itulah sosok dan penampilan Meester in de Rechten (MR, gelar sarjana hukum Belanda) Sartono. Berbeda dengan Bung Karno yang menjadi sahabat karibnya semasa perjuangan, ia terkesan lebih pendiam dan cenderung bersikap berhati-hati. Gaya bicaranya juga tidak meledak-ledak alias lebih terstruktur, kalem, dan analitis.
Saat itu, ia tampil sebagai pembela Bung Karno yang diadili pihak kolonial Belanda di Bandung. Pleidoi yang disusun dan disuarakannya menyempurnakan pleidoi politik Bung Karno sendiri yang bertajuk “Indonesia Menggugat”. Sekalipun terlihat fokus pada segi yuridis, namun pada beberapa bagian, pembelaannya memuat unsur politis. Dalam mukadimah, ia menguraikan kronologi penangkapan para tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) itu. Dengannya, ia ingin membuktikan, Bung Karno dan kawankawan justru menjadi korban rezim kolonial.
Dasar penangkapan mereka, menurut Sartono, hanyalah rasa takut tak berdasar yang mulai menghantui para pejabat kolonial sejak 1929. Merebak desas desus ke seantero Nusantara, pemberontakkan melawan rezim Belanda bakal segera meletup. Semangat kebanyakan penduduk di tanah jajahan Hindia-Belanda pun terbakar. Kondisi ini tentu membuat penguasa kolonial merasa tidak nyaman. Nah, rasa takut dan tidak nyaman inilah yang menjadi alasan Bung Karno dan kawan-kawan ditangkap dengan selubung tuntutan hukum.
Akhirnya, setelah empat bulan bersidang, pengadilan kolonial menjatuhkan vonis pada 22 Desember 1930: Bung Karno dikurung 4 tahun, Gatot Mangkupraja 2 tahun, Maskun 1,8 tahun, dan Supriadinata 1,3 tahun. Bung Karno sendiri dipenjara di Sukamiskin Bandung (dan dibebaskan lewat keputusan Gubernur Jenderal). Sartono lalu membubarkan PNI yang dianggap rezim sudah melanggar hukum sehingga membuat anggota PNI lainnya rawan ditangkap. Menurut pengamat kehidupan pribadi Sartono, RM Daradjadi, pada 1925, MR Sartono bersama Bung Hatta, menyusun “Manifesto Perhimpunan Indonesia”. Konsep ini memuat garis perjuangan pemuda dalam menggapai kemerdekaan—yang mengilhami Sumpah Pemuda. Sebelumnya, ia bertemu Bung Karno saat bermukim di Bandung. Bersama Ir Anwari, MR Sunaryo, Dr Cipto Mangunkusumo, ia lalu mendirikan pergerakan nasional yang menjadi cikal bakal PNI.
MR Sartono (kanan) dan Soekarno (kedua kiri) di gedung Indonesia Menggugat, Bandung.
Andil Sartono juga cukup besar bagi terselenggaranya Kongres Pemuda pada 1928 di Kramat Raya 106, Jakarta. Khususnya, saat pihak kolonial mengancam akan membubarkan kongres tersebut karena dianggap secara sepihak menyalahi aturan hukum yang berlaku. Dengan berani dan cerdik, Sartono berhasil mematahkan dalih aparat Belanda yang berniat menggagalkan kongres.
Pada 1933, Sartono bersama sejumlah koleganya mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Namun lantaran Belanda menganggapnya ilegal, partai itu hanya mampu bertahan hingga 1938. Tak patah arang, Sartono dan kawan-kawan kembali mendirikan perkumpulan yang dinamai Gerakan Indonesia (Gerindo)—yang akhirnya juga dibubarkan menyusul masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942.
“Saat Jepang bercokol di Tanah Air,” ungkap Daradjadi, “Sartono mempertemukan Hatta yang baru tiba dari pembuangannya di Banda bersama Sutan Syahrir dengan Bung Karno yang berada di Bengkulu.” Mereka lalu bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan yang, berkat dukungan rakyat, berujung pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tak lama darinya, Sartono dilantik menjadi Menteri Negara.
Pada 1950 (hingga 1959), saat demokrasi sedang mekarmekarnya di Indonesia, Sartono dipercaya sebagai ketua parlemen. Namun, seperti sekarang, pada 1952, menyeruak kecurigaan adanya praktik korupsi di tubuh parlemen. Eskalasi politik pun memuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952.
Sebelumnya, pembelian Kapal Motor Tasikmalaya oleh Kementerian Pertahanan ditengarai beraroma korupsi. Lalu muncul gerakan massa membawa mortar dan meriam ke Istana Merdeka. Menyikapi itu, Sartono mengusulkan pemilihan umum dipercepat.
MR Sartono menjadi wali pernikahan putrinya, Sri Sartono (kedua kanan) disaksikan M. Hatta (kiri).
Kejadian menarik berikutnya berlangsung pada 1955. Saat itu Sartono dianggap melakukan kesalahan fatal lantaran mengizinkan Komisi J melanggar tatatertib dengan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Lalu, ia dengan legowo mundur dari jabatan ketua parlemen menyusul diperkarakannya kasus tersebut. “Tidak pantas orang yang sedang menjadi terdakwa duduk di kursi pimpinan,” ujar Daradjadi mengutip kata-kata Sartono.
Pada 1956, Hatta mengajukan dirinya mundur dari jabatan wakil presiden. Alasannya, ia ingin lebih dulu melihat sejauh mana kemampuan konstituante menyusun undang-undang. Terpaksa pihak parlemen yang dipimpin Sartono menyetujuinya. Namun, muncul persoalan baru: Siapa yang harus mengisi kekosongan jabatan wakil presiden yang ditinggalkan Hatta? Masalah ini lalu dibicarakan dalam sidang parlemen dan sempat memicu perdebatan sengit.
Akhirnya, semua pihak sepakat menjadikan ketua parlemen sebagai pejabat presiden yang akan membantu presiden menjalankan tugasnya bila berhalangan, baik secara tetap maupun sementara. Sartono menjalankan fungsi pejabat presiden sejak 1957 hingga 1959.
Perjalanan demokrasi parlementer mencapai klimaksnya pada 1959. Diawali saat Bung Karno mengajukan rancangan dekrit politilknya ke parlemen. Dikarenakan gambaran dalam dekrit itu dipandang tidak relevan dengan kenyataan yang ada, parlemen pun menolaknya. Merasa gusar, Bung Karno langsung membubarkan parlemen hasil pemilu itu.
Sebagai gantinya, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), yang anggotanya diangkat sendiri oleh Bung Karno. Tapi, sebelum “parlemen boneka” itu bekerja, Bung Karno berencana merekerut Sartono untuk dijadikan anggota sekaligus ketua. Mendengar itu, Sartono segera menyurati Presiden untuk menolak jabatan itu lantaran bukan berasal dari pilihan rakyat sehingga bertentangan dengan hati nuraninya.
Ya, kendati dekat, membela, dan sangat loyal pada Bung Karno, Sartono tetap bersikap objektif dan berlapang dada. Sejak itulah karier politiknya mulai redup. Ia bahkan sempat absen beberapa waktu dari kancah politik. Namanya kembali muncul di pentas politik nasional setelah Bung Karno mengangkatnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Penyandang gelar MR dari Universitas Leiden, Belanda yang dijuluki Daradji “nasionalis, demokratis, dan pluralis” ini akhirnya wafat di Jakarta pada 15 Oktober 1968.
Kiri-kanan: P.I Darmawan Mangkusumo, M. Hatta, Iwa, Sastromulyono, dan MR Sartono
Pejabat Presiden Tak Punya Uang
Sebagai keturunan arsitokrat Jawa, Bapak Parlemen kelahiran Slogohimo, Wonogiri, 5 Agustus 1900, ini sangat menjaga etika dan tatakrama. Ini tercermin dari hubungan dan komunikasi sehari-hari Sartono dengan sang putri. “Kalau saya mau bicara dengan Bapak, muncul rasa takut, tunduk, canggung, lalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar halus, sopan. Padahal dengan Ibu, saya selalu berbahasa Jawa. Kalau dengan Bapak tidak boleh seperti itu,” kenang Sri Mulyati Muso, putri kedua Sartono.
Selain itu, Sartono lebih memilih hidup sederhana. Ia pernah menolak tawaran untuk membeli rumah mewah di jalan Imam Bonjol dengan harga jauh di bawah rata-rata—malah terlalu murah untuk ukuran saat itu. Pasalnya, ia memang tak punya uang untuk membelinya. Padahal, saat itu ia menduduki jabatan sebagai pejabat presiden.
Menurut Sri, selama menjadi pengangguran politik (pasca dibubarkannya Parlemen), Sartono lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan berolah raga, membaca buku, dan menerima tetamu (dalam dan luar negeri) yang rata-rata berpofesi penulis. “Bapak berolahrga setiap pagi, jalan kaki ringan di sekitar rumah. Setelah itu, beliau membaca buku,” imbuhnya.
Winda Destiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar