Rabu, 22 Agustus 2012

Demokratis Berpolitik dan Berkawan


Cita-cita persatuan dan kemerdekaan bangsa membulatkan tekadnya untuk mati-matian melawan kolonialisme dan membela kawan seperjuangan. Menolak jabatan boneka demi rakyat dan hati nurani.
Lelaki berperawakan tegap itu maju ke depan dengan langkah mantap dan teratur. Berhenti sejenak memberi hormat kepada majelis hakim di depannya, ia lalu membacakan dengan lantang pembelaan yang telah disusun jauh-jauh hari untuk kawan karibnya. Semua hadirin seperti tersihir dan hanya terdiam membisu.
“Tiada suatu fasal dalam kitab hoekoeman menjatakan bahwa daja oepaja hendak bersatoe atau mentjapai kemerdekaan itoe dapat dihoekoem. Lagi poela tiap-tiap perkoempoelan Indonesia jang berdasarkan politik dapat dikatakan, bahwa toejoeannja ialah mentjapai kemerdekaan Indonesia. Oentoek mentjapai atau menjampaikan toejoean jang diidjinkan ini maka soeatoe sjarat daripada beberapa sjarat jang teroetama: Persatoean Bangsa Indonesia,” ujarnya.
Itulah sosok dan penampilan Meester in de Rechten (MR, gelar sarjana hukum Belanda) Sartono. Berbeda dengan Bung Karno yang menjadi sahabat karibnya semasa perjuangan, ia terkesan lebih pendiam dan cenderung bersikap berhati-hati. Gaya bicaranya juga tidak meledak-ledak alias lebih terstruktur, kalem, dan analitis.
Saat itu, ia tampil sebagai pembela Bung Karno yang diadili pihak kolonial Belanda di Bandung. Pleidoi yang disusun dan disuarakannya menyempurnakan pleidoi politik Bung Karno sendiri yang bertajuk “Indonesia Menggugat”. Sekalipun terlihat fokus pada segi yuridis, namun pada beberapa bagian, pembelaannya memuat unsur politis. Dalam mukadimah, ia menguraikan kronologi penangkapan para tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) itu. Dengannya, ia ingin membuktikan, Bung Karno dan kawankawan justru menjadi korban rezim kolonial.
Dasar penangkapan mereka, menurut Sartono, hanyalah rasa takut tak berdasar yang mulai menghantui para pejabat kolonial sejak 1929. Merebak desas desus ke seantero Nusantara, pemberontakkan melawan rezim Belanda bakal segera meletup. Semangat kebanyakan penduduk di tanah jajahan Hindia-Belanda pun terbakar. Kondisi ini tentu membuat penguasa kolonial merasa tidak nyaman. Nah, rasa takut dan tidak nyaman inilah yang menjadi alasan Bung Karno dan kawan-kawan ditangkap dengan selubung tuntutan hukum.
Akhirnya, setelah empat bulan bersidang, pengadilan kolonial menjatuhkan vonis pada 22 Desember 1930: Bung Karno dikurung 4 tahun, Gatot Mangkupraja 2 tahun, Maskun 1,8 tahun, dan Supriadinata 1,3 tahun. Bung Karno sendiri dipenjara di Sukamiskin Bandung (dan dibebaskan lewat keputusan Gubernur Jenderal). Sartono lalu membubarkan PNI yang dianggap rezim sudah melanggar hukum sehingga membuat anggota PNI lainnya rawan ditangkap. Menurut pengamat kehidupan pribadi Sartono, RM Daradjadi, pada 1925, MR Sartono bersama Bung Hatta, menyusun “Manifesto Perhimpunan Indonesia”. Konsep ini memuat garis perjuangan pemuda dalam menggapai kemerdekaan—yang mengilhami Sumpah Pemuda. Sebelumnya, ia bertemu Bung Karno saat bermukim di Bandung. Bersama Ir Anwari, MR Sunaryo, Dr Cipto Mangunkusumo, ia lalu mendirikan pergerakan nasional yang menjadi cikal bakal PNI.
MR Sartono (kanan) dan Soekarno (kedua kiri) di gedung Indonesia Menggugat, Bandung.
Andil Sartono juga cukup besar bagi terselenggaranya Kongres Pemuda pada 1928 di Kramat Raya 106, Jakarta. Khususnya, saat pihak kolonial mengancam akan membubarkan kongres tersebut karena dianggap secara sepihak menyalahi aturan hukum yang berlaku. Dengan berani dan cerdik, Sartono berhasil mematahkan dalih aparat Belanda yang berniat menggagalkan kongres.
Pada 1933, Sartono bersama sejumlah koleganya mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Namun lantaran Belanda menganggapnya ilegal, partai itu hanya mampu bertahan hingga 1938. Tak patah arang, Sartono dan kawan-kawan kembali mendirikan perkumpulan yang dinamai Gerakan Indonesia (Gerindo)—yang akhirnya juga dibubarkan menyusul masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942.
“Saat Jepang bercokol di Tanah Air,” ungkap Daradjadi, “Sartono mempertemukan Hatta yang baru tiba dari pembuangannya di Banda bersama Sutan Syahrir dengan Bung Karno yang berada di Bengkulu.” Mereka lalu bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan yang, berkat dukungan rakyat, berujung pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tak lama darinya, Sartono dilantik menjadi Menteri Negara.
Pada 1950 (hingga 1959), saat demokrasi sedang mekarmekarnya di Indonesia, Sartono dipercaya sebagai ketua parlemen. Namun, seperti sekarang, pada 1952, menyeruak kecurigaan adanya praktik korupsi di tubuh parlemen. Eskalasi politik pun memuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952.
Sebelumnya, pembelian Kapal Motor Tasikmalaya oleh Kementerian Pertahanan ditengarai beraroma korupsi. Lalu muncul gerakan massa membawa mortar dan meriam ke Istana Merdeka. Menyikapi itu, Sartono mengusulkan pemilihan umum dipercepat.
MR Sartono menjadi wali pernikahan putrinya, Sri Sartono (kedua kanan) disaksikan M. Hatta (kiri).
Kejadian menarik berikutnya berlangsung pada 1955. Saat itu Sartono dianggap melakukan kesalahan fatal lantaran mengizinkan Komisi J melanggar tatatertib dengan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Lalu, ia dengan legowo mundur dari jabatan ketua parlemen menyusul diperkarakannya kasus tersebut. “Tidak pantas orang yang sedang menjadi terdakwa duduk di kursi pimpinan,” ujar Daradjadi mengutip kata-kata Sartono.
Pada 1956, Hatta mengajukan dirinya mundur dari jabatan wakil presiden. Alasannya, ia ingin lebih dulu melihat sejauh mana kemampuan konstituante menyusun undang-undang. Terpaksa pihak parlemen yang dipimpin Sartono menyetujuinya. Namun, muncul persoalan baru: Siapa yang harus mengisi kekosongan jabatan wakil presiden yang ditinggalkan Hatta? Masalah ini lalu dibicarakan dalam sidang parlemen dan sempat memicu perdebatan sengit.
Akhirnya, semua pihak sepakat menjadikan ketua parlemen sebagai pejabat presiden yang akan membantu presiden menjalankan tugasnya bila berhalangan, baik secara tetap maupun sementara. Sartono menjalankan fungsi pejabat presiden sejak 1957 hingga 1959.
Perjalanan demokrasi parlementer mencapai klimaksnya pada 1959. Diawali saat Bung Karno mengajukan rancangan dekrit politilknya ke parlemen. Dikarenakan gambaran dalam dekrit itu dipandang tidak relevan dengan kenyataan yang ada, parlemen pun menolaknya. Merasa gusar, Bung Karno langsung membubarkan parlemen hasil pemilu itu.
Sebagai gantinya, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), yang anggotanya diangkat sendiri oleh Bung Karno. Tapi, sebelum “parlemen boneka” itu bekerja, Bung Karno berencana merekerut Sartono untuk dijadikan anggota sekaligus ketua. Mendengar itu, Sartono segera menyurati Presiden untuk menolak jabatan itu lantaran bukan berasal dari pilihan rakyat sehingga bertentangan dengan hati nuraninya.
Ya, kendati dekat, membela, dan sangat loyal pada Bung Karno, Sartono tetap bersikap objektif dan berlapang dada. Sejak itulah karier politiknya mulai redup. Ia bahkan sempat absen beberapa waktu dari kancah politik. Namanya kembali muncul di pentas politik nasional setelah Bung Karno mengangkatnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Penyandang gelar MR dari Universitas Leiden, Belanda yang dijuluki Daradji “nasionalis, demokratis, dan pluralis” ini akhirnya wafat di Jakarta pada 15 Oktober 1968.
Kiri-kanan: P.I Darmawan Mangkusumo, M. Hatta, Iwa, Sastromulyono, dan MR Sartono
Pejabat Presiden Tak Punya Uang
Sebagai keturunan arsitokrat Jawa, Bapak Parlemen kelahiran Slogohimo, Wonogiri, 5 Agustus 1900, ini sangat menjaga etika dan tatakrama. Ini tercermin dari hubungan dan komunikasi sehari-hari Sartono dengan sang putri. “Kalau saya mau bicara dengan Bapak, muncul rasa takut, tunduk, canggung, lalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar halus, sopan. Padahal dengan Ibu, saya selalu berbahasa Jawa. Kalau dengan Bapak tidak boleh seperti itu,” kenang Sri Mulyati Muso, putri kedua Sartono.
Selain itu, Sartono lebih memilih hidup sederhana. Ia pernah menolak tawaran untuk membeli rumah mewah di jalan Imam Bonjol dengan harga jauh di bawah rata-rata—malah terlalu murah untuk ukuran saat itu. Pasalnya, ia memang tak punya uang untuk membelinya. Padahal, saat itu ia menduduki jabatan sebagai pejabat presiden.
Menurut Sri, selama menjadi pengangguran politik (pasca dibubarkannya Parlemen), Sartono lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan berolah raga, membaca buku, dan menerima tetamu (dalam dan luar negeri) yang rata-rata berpofesi penulis. “Bapak berolahrga setiap pagi, jalan kaki ringan di sekitar rumah. Setelah itu, beliau membaca buku,” imbuhnya.
Winda Destiana

Jumat, 10 Agustus 2012

Kawan Lama - Limbad & Miss Indonesia Kawal NasDem Daftar Pemilu 2014

Mustholih - Okezone
Kamis, 9 Agustus 2012 17:30 wib
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi
JAKARTA- Partai Nasional Demokrat (NasDem) berencana memacetkan sejumlah titik Jakarta di hari pendaftaran menjadi peserta Pemilihan Umum 2014 di Komisi Pemilihan Umum, pada Jumat, 10 Agustus 2012.

Sebelum pendaftaran, Partai NasDem terlebih dulu menampilkan parade massa pendukung Nasdem dari pukul 08.00 WIB.
"Seluruh komponen masyarakat yang diiringi dengan gambaran bagaimana Nasdem melebur ke segala lini masyarakat Indonesia," kata Ketua Umum Partai NasDem, Patrice Rio Capella, di rapat koordinasi wilayah Partai Nasdem Provinsi DKI Jakarta, Hotel Sahid, Jakarta Pusat, Kamis (9/8/2012).

Menurut Patrice, parade massa itu bertuduan mengantar berkas DPP dan DPW DKI Jakarta Partai NasDem. Parade itu, kata Patrice, terdiri antara lain 25 penari pendet, 20 penari dayak, 100 penabuh genderang, 50 orang muda-mudi berpakaian adat, 12 ondel-ondel, 10 pemain tanjidor, juga barongsai. Selain itu, parade itu diklaim akan dimeriahkan oleh tujuh miss Indonesia, Magician Limbad, dan sejumlah artis nasional.

"Tentu saja pasukan baret diluncurkan untuk menunjang keamanan kelangsungan acara ini," terang Patrice.

Rute yang diambil parade massa itu dimulai dari Gondangdia. Sebelum berangkat, terlebih dulu Partai NasDem menggelar upacara dikantornya selama 30 menit. Usai upacara, parade akan berjalan menuju Masjid Cut Mutia. "Di sana kita akan Salat Jumat," kata Patrice.

Usai salat Jumat, kata Patrice, parade massa Partai Nasdem baru bergerak menuju Jalan Imam Bondjol dan berakhir di Kantor KPU. "Partai Nasdem memohon kawal untuk agenda besok ada titik-titik tertentu menghadapi hambatan lalu lintas," katanya.

Rabu, 08 Agustus 2012

Kawan lama - Pragmatisme Partai Politik

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

***

Partai politik terlihat kian pragmatis. Konstelasi politik terkini menunjukkan, terjadi inkonsistensi dalam sikap partai di parlemen. Adanya dana aspirasi atau parliamentary threshold yang sarat kepentingan partai memberikan sebuah potret pada kita, betapa gejala pragmatisme saat ini sangat terasa di partai politik Indonesia.

Di sisi lain, secara internal partai cenderung menginklusifkan diri dan mencoba untuk merangkul semua kalangan sebagai konstituen. Ideologi politik tidak lagi menjadi basis sikap. Sehingga, jika dulu berpolitik untuk mengekspresikan komitmen ideologis, sekarang justru sebaliknya: berpolitik untuk kepentingan-kepentingan pragmatis,.

Fenomena ini disebut oleh Giovanni Sartori, seorang ilmuwan politik Italia, sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Menurut Sartori, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi, ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin blur.

Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terjadi dalam politik Indonesia pasca-reformasi? Penulis memiliki beberapa argumen.

Pertama, Terjadi proses institusionalisasi demokrasi dengan menggunakan logika perwakilan secara baku. Sistem kepartaian dan pemilu pasca-1998 telah diatur dan dilembagakan dalam sebuah mekanisme yang baku. Adanya proses institusionalisasi tersebut, di satu sisi, telah membei mekanisme baku yang memungkinkan kekuasaan dapat dikelola secara demokratis.

Akan tetapi, di sisi lain, institusionalisasi tersebut juga berdampak pada kaburnya garis batas ideologi pada masing-masing partai karena tujuan parta dalam meraih kekuasaan telah terfokus pada upaya memenangkan suara publik. Sehingga, spektrum ideologi partai pun menjadi bergeser ke “tengah”.

Kedua, proses demokrasi berjalan dengan logika transfer legitimasi dari rakyat ke elit. Demokrasi dimaknai hanya sekader persoalan transfer legitimasi rakyat kepada elit-elit politik (perwakilan) melalui proses Pemilu. Implikasinya, masing-masing partai cenderung terkena fenomena yang “hukum besi oligarki”. Ada kecenderungan segelintir elit untuk menguasai struktur pengambilan keputusan di internal partai akibat proses demokrasi yang kian elitis tersebut. Sehingga, ideologi secara perlahan-lahan tergantikan oleh proses negosiasi kepentingan para elit.

Ketiga, ketika partai masuk sebagai pembuat keputusan melalui jatah menteri, terjadi proses kompromi dengan presiden. Kompromi ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Kecenderungan tersebut membuat ideologi partai menjadi lebih “cair”, basis sikap menjadi pragmatis, dan orientasi partai menjadi lebih negosiasif.

Lantas, bagaimana menjaga agar pragmatisme tersebut tidak kontraproduktif dengan alam demokrasi Indonesia? Ada beberapa hal yang penulis tawarkan sebagai alternatif kebijakan.

Pertama, fenomena institusionalisasi demokrasi perlu diperluas tidak hanya dalam soal memilih perwakilan politik, tetapi juga pada ruang-ruang publik yang tidak bersentuhan langsung dengan politik formal. Sehingga, logika demokrasi tidak hanya berada pada level politik, tetapi juga dapat ditransformasikan pada level lain seperti sosial atau ekonomi.

Kedua, hukum besi oligarki dapat diminimalisasi eksesnya dengan melakukan peremajaan dan rotasi kepemimpinan partai. Logikanya, oligarki terjadi ketika struktur partai dihuni oleh wajah-wajah yang lama berada di struktur partai, sehingga perlu ada dinamisasi pada struktur partai secara berkala. Peremajaan yang dilakukan dengan mengedepankan kaum muda di struktur partai serta proses regenerasi dan rotasi kepemimpinan yang dilakukan secara periodik akan memberikan penyegaran dan variasi pada tubuh internal partai.

Ketiga, persoalan menghadapi politik transaksional dan kompromi antara partai dengan presiden -meminjam tawaran Hanta Yuda, pengamat politik The Indonesian Institute- dapat dilakukan dengan pengaturan kelembagaan dan penguatan kapasitas presiden. Pengaturan kelembagaan ini memungkinkan aktor politik dapat dikurangi secara bertahap. Sementara itu, presiden yang kuat akan mereduksi potensi negosiasi yang terlalu intervensif pada posisi eksekutif. Hal ini akan membuat partai lebih strict dalam menegosiasikan kepentingannya.

Terpenting, fenomena ini harus diantisipasi agar tidak berimplikasi pada politik transaksional yang menjadi-jadi. Saya yakin, partai politik masih menjadi aktor yang diperlukan dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia. Akan tetapi, sikap yang konsisten dan berani dari partai politik juga sangat dinantikan. Maka, mari menjadi pemilih yang kritis atas sikap dan kebijakan partai yang kita pilih.


*) Mahasiswa Fisipol UGM, Alumnus SMAN 1 BanjarmasinRata Penuh

Kawan Lama - 2014, Suara Demokrat Akan Beralih ke NasDem

Tegar Arief Fadly - Okezone
Selasa, 7 Agustus 2012 17:31 wib
Ilustrasi (foto: Okezone)
Ilustrasi (foto: Okezone)
JAKARTA- Suara pemilih partai Demokrat diprediksi akan beralih ke partai NasDem pada pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Hal itu didasarkan pada survei  yang dilakukan Trust Indonesia.

Survei ini dilaksanakan pada tanggal 8-22 Juli 2012 di 33 provinsi di seluruh Indonesia, dengan 200 sampel desa. Sampel desa ini dipilih secara acak dengan menggunakan metode multistage random sampling, dan margin of error sebesar 2,5 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan responden yang harus diambil adalah 1996 responden.

Hasil survei menunjukkan, Golkar berada di posisi pertama dengan perolehan 13,5 persen, Partai Demokrat 11,6 persen, PDIP 9,7 persen, PKB 6,2 persen, Gerindra 5,2 persen, PKS 4,1 persen, Partai NasDem 4,9 persen, PPP 3,4 persen, PAN, 3,2 persen, Hanura 1,7 persen, PKNU 1,5 persen, partai lain 2,2 persen.

Menurut  peneliti Trust Indonesia, Afthonul Afif, sebagian besar suara yang diperoleh oleh Partai NasDem berasal dari Partai Demokrat. Sebab, sebagian besar pemilih Partai Demokrat akan mengalihkan pilihannya lantaran partai tersebut terjerat kasus korupsi. "NasDem ini fenomena menarik. Dalam hal ini Demokrat menjadi contoh terpenting yang kami asumsikan suaranya akan banyak beralih ke NasDem," jelasnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (7/8/2012).

Afthonul mengungkapkan masyarakat Indonesia saat ini cenderung tidak kapok untuk menerima partai baru. “Meskipun tidak semua barang baru itu teruji," sambungnya.

Dikatakan Afthonul, besarnya dukungan untuk Partai NasDem disebabkan lantaran seringnya partai tersebut muncul di berbagai media, terutama di televisi. "NasDem hadir di tengah kekecewaan publik terhadap parpol yang berhaluan nasionalis. Seringnya NasDem diberitakan di media itu juga berpengaruh," ungkapnya.
(ugo)

Kawan Lama - Partai NasDem Siap Tampung JK


Laporan Wartawan Tribun Jakarta Mochamad Faizal Rizki
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai NasDem mengaku siap menampung mantan wakil presiden Jusuf Kalla(JK) apabila nanti partai Golkar benar-benar mendepaknya.
"Kalau Pak JK disia-siakan, kami NasDem siap menampungnya," kata Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan NasDem, Ferry Mursyidan Baldan saat acara buka puasa bersama JK di Pondok Indah, Jakarta, Minggu(5/8/2012).
Ferry mengatakan partai NasDem selalu membuka pintu lebar bagi para politisi yang hendak berkarya bersama NasDem.
"Kita bukan meracuni kader partai lain untuk pindah ke NasDem saya tegaskan, sepanjang partai anda baik, maka teruskanlah berkarya, tapi jika partai anda sudah keluar dari nilai-nilai ideal saudara, maka kami siap mewadahinya, karena para politisi sesungguhnya telah memiliki modal sosial yang cukup," jelas Ferry.
Ferry juga mengklaim telah ada 37 orang kader partai lain yang mengajukan diri untuk bergabung dengan Nasdem melalui ketua umumnya, bahkan melalui dirinya ia mengatakan sudah ada 62 orang politisi, sedangkan melalui pendiri NasDem Surya Paloh telah ada 120 orang.
"Di sini juga ada politisi yang sudah menjadi bagian internal kami,"beber Ferry sambil mengucapkan nama Akbar Faisal yang merupakan politisi dari partai Hanura.

Kawan Lama - Elektabilitas Partai Nasdem Terus Meningkat


Metrotvnews.com, Jakarta: Partai Nasional Demokrat dan tokoh-tokoh yang di dalamnya, ternyata dapat melampui beberapa partai politik besar di indonesia.

Tingginya tingkat elektabilitas dan popularitas Partai Nasdem dari survei yang dilakukan lembaga survei trust Indonesia. Berdasarkan hasil survey lembaga survey trust indonesia,

Partai Nasdem yang masih baru dalam kancah politik di Indonesia, kini menduduki posisi nomor 7 di bawah Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI Perjuangan, PBB, dan Gerindtra dan PDI, PKB dan Gerindra.

Sementara itu, Partai PAN, PPP, Hanura dan PKNU.dua-duanya berada di bawah Partai Nasdem.

Lembaga survey mengambil sample responden berusia 20 hingga 49 tahun di beberapa wilayah Indonesia. Haslnya, dari data yang diperoleh dapat di pertanggungjawabkan. Lembaga ini memperkirakan tingkat elektabilitas dan kepopuleran Partai Nasdem akan meningkat lagi menjelang pemilu 2014.

Yang lebih mengejutkan, suara Partai Demokrat akan berpindah ke Partai Dasdem karena partai nasdem memiliki visi dan misi serupa dengan partai demokrat, yang tingkat elektabilitas dan kepopulerannya semakin menurun karena maraknya korupsi yang dilakukan kadernya.(RZY)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Bima Arya Sugiarto, Dari Anti Partai Sampai Masuk Partai

Rofans Manao
Bima Arya Sugiarto semakin lama semakin naik daun. Terakhir beliau dengan hebat menghakimi PKS lantaran partai tersebut membangkang keputusan Satgab dalam paripurna BBM. Dengan lantangnya beliau menyebut PKS telah melanggar kontrak koalisi selama 4 kali. Beliau sendiri masuk PAN tahun 2010. Sumber di sini. Sumber tersebut menyatakan bahwa Mas Bima sudah lama bekerja sama dengan PAN dengan kapasitas konsultan profesional sebelum resmi masuk partai.
Latar belakang Mas Bima sendiri sangatlah mumpuni. Beliau Doktor Ilmu Politik lulusan Australia. Sewaktu masih S1 di Bandung sampain S3 di Australia, tetap aktif dalam kegiatan mahasiswa. Bukan itu saja setelah jadi Doktor, beliau dipercaya memimpin dua lembaga Think Tank ngetop. Lead Institute di Universitas Paramadina dan Charta Politika, salah satu konsultan politik SBY-Boediono 2009.
Dengan latar belakang demikianlah, tanggal 10 Februari 2010 beliau resmi jadi anggota PAN.
Tentu tidak masalah kalau orang mau masuk partai. Itu hak asasi yang bersangkutan.
Tapi dalam kasus Mas Bima ini ada sedikit yang spesial. Beliau sendiri punya pemikiran yang unik terhadap dunia politik di Indonesia. Sebagian pemikiran beliau tertuang di blog beliau http://bimaaryasugiarto.blogspot.com/.
Sebagian ini pemikiran beliau (saya kutip langsung tanpa editan):
  • Pilkada langsung awalnya diyakini akan mengikis habis praktik oligarki elit partai yang sangat kuat di sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

  • Namun pada kenyataannya, pilkada langsung ternyata malahan memunculkan sejumlah persoalan-persoalan yang sangat problematik.

  • Fenomena ini terjadi karena pada pilkada langsung, faktor popularitas individu menjadi lebih penting ketimbang faktor partai pendukung.

  • Hal lain yang sangat mencolok adalah adanya praktik ”jual beli” tiket partai kepada kandidat. Pengurus partai yang memiliki posisi struktural yang strategis kemudian menjadi ’bandar politik’ dan bermain mata dengan para pemodal.

  • Dengan demikian, harapan bahwa pilkada langsung akan mengikis praktik oligarki partai menjadi pupus.

  • Secara realitas, kandidat tidak mungkin untuk mencukupi pembiayaan pencalonannya seorang diri. Biasanya ia akan mengumpulkan dana dari berbagai pihak sponsor dengan konsesi-konsesi politik-ekonomi yang akan disepakati kemudian.

  • Besar kemungkinan pihak pemodal kemudian akan menjadi pemerintah bayangan dengan ikut menentukan secara informal kebijakan dari kepala daerah terpilih.
Intinya ialah Mas Bima mengkritik metode rekrutment partai yang sepertinya sudah dikomersialisasi/dibiniskan.
Sebagian pemikiran beliau yang lain (juga tanpa editan):
  • Politisi dengan latarbelakang pengusaha kini memenuhi struktur kepengurusan partai.

  • Jumlah prosentasi penguasaha pada PAN dan PDI-P relatif sama dengan prosentasi peningkatan yang terbesar ada pada PAN.

  • Meningkatnya jumlah politisi-pengusaha ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi liberal yang kini diadopsi di Indonesia.

  • Ketua umum PAN Soetrisno Bachir secara gamblang bahkan menyatakan bahwa jika saja 10% dari anggota DPP partai berasal dari pengusaha, maka biaya pengelolaan partai otomatis akan tertutup (Sugiarto 2005).
Nah yang di atas ini sepertinya hasil penelitian beliau sehingga mampu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang pertama tadi.
Bukan cuma di blog, Mas Bima rupanya juga sudah menerbitkan sebuah buku yang mengkaji hal ini.
1333765374706662978
Judul yang cukup jelas menunjukkan apa isi bukunya.
Dengan pemikiran-pemikiran seperti ini, tentu Mas Bima punya alasan yang kuat untuk akhirnya memutuskan masuk partai. Tentu menarik ditunggu seperti apa kelanjutan karir politik beliau.

Kawan Lama - Bergabung dengan Intrepid, Surya Paloh Hadapi Lawan Tangguh (1)

Helena Tan
Surya Paloh
Surya Paloh
Kehadiran Surya Paloh sebagai salah satu pemegang saham Intrepid kemungkinan  akan membawanya berhadapan dengan lawan tangguh: Edwin Soeryadjaya.
JAKARTA, Jaringnews.com - Keputusan Surya Paloh menjadi salah satu pemegang saham perusahaan pertambangan Australia, Intrepid Mining Limited, telah menjadi pemberitaan luas dua hari ini. Dalam siaran pers yang dilansir beberapa hari lalu, Intrepid mengatakan telah menyepakati pengalokasian 27,68 juta lembar saham biasa atau sekitar lima persen dari total saham perusahaan itu kepada taipan pemilik kelompok bisnis media terkemuka di Tanah Air itu.

Para pengamat bisnis menengarai masuknya Surya Paloh ke perusahaan itu tidak semata karena pertimbangan bisnis biasa. Intrepid diketahui tengah menghadapi masalah dengan mitra lokalnya, PT Indo Multi Niaga (IMN), perusahaan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan IUP Operasi atas proyek pertambangan Tujuh Bukit di Banyuwangi, Jawa Timur. IUP itu dikeluarkan bupati setempat untuk lahan seluas 11.621,45 hektar. Tambang Tujuh Bukit disebut-sebut merupakan sebuah pertambangan emas kelas dunia, mempunyai kandungan emas dua kali tambang emas Newmont di Nusa Tengara Timur.

Dua pekan lalu mitra lokalnya itu menyita proyek pertambangan itu tanpa pejelasan. Penyitaan ini  terjadi menyusul adanya perubahan kepemilikan perusahaan lokal itu yang disebut-sebut berlangsung secara misterius. Menurut Radio Australia, pemilik saham baru PT IMN mengambil-alih mayoritas saham IMN dan tiba-tiba datang ke Tujuh Bukit dengan helicopter beberapa pekan lalu. Menurut keterangan CEO Intrepid, para pemegang saham baru itu datang ke lokasi dan menutup operasi, memulangkan 660 orang yang bekerja di sana.

Para pengamat berpendapat, diundangnya Surya Paloh ke jajaran pemegang saham Intrepid, didorong oleh tujuan untuk  memanfaatkan pengaruh mantan Ketua Dewan Penasihat Golkar itu terutama untuk menyelesaikan masalah yang kini mereka hadapi. Dan, kehadiran Surya Paloh di Intrepid tampaknya bukan muncul secara tiba-tiba. Sebelumnya, seorang kepercayaan Surya, yakni Adrianto Machribie yang juga mantan CEO Freeport Indonesia, telah bergabung dalam dewan direksi Intrepid pada November 2011. Machribie sebelumnya pernah menjadi CEO Metro TV.

Pertanyaannya, siapa lawan tangguh yang harus dihadapi oleh Intrepid, sehingga harus mengundang kehadiran Surya Paloh? Siapa tokoh di belakang PT IMN, mitra lokal Intrepid yang kini jadi seterunya?

Menurut penelusuran Intrepid, salah satu pemegang saham baru PT IMN mempunyai keterkaitan dengan perusahaan yang masih berhubungan dengan kelompok bisnis keluarga Soeryadjaya. Sebagaimana diketahui, keluarga Soeryadjaya yang dimotori oleh Edwin Soeryadjaya adalah pemegang saham mayoritas pada Adaro Energy, salah satu perusahaan tambang batubara terbesar di Tanah Air.

Nah, bila ini benar, kehadiran Surya Paloh di Intrepid akan membawanya berhadapan dengan lawan tangguh: Edwin Soeryadjaya.
(Hal / Nky)

Rabu, 01 Agustus 2012

Kawan Lama - Nasdem Mulai Pecati Kader


  Rabu, 1 Agustus                         Arfi Bambani Amri, Bobby Andalan (Bali)
VIVAnews - Dewan Pimpinan Daerah Partai Nasdem Bali bergolak. Kader potensial yang juga Ketua Garda Wanita (Garnita) Malahayati NasDem Bali, Putu Suprapti Santy Sastra, dipecat dari keanggotaan. Sebelumnya, aktivis perempuan itu didepak dari kursi Ketua DPD Partai NasDem Kota Denpasar.

Pemberhentian Santy dibenarkan Sekretaris DPW Partai NasDem Bali, Ida Bagus Adi Saputra. Menurut Adi Saputra, pemberhentian Santy Sastra berdasarkan hasil evaluasi serta melalui rapat dan diskusi yang matang.

Evaluasi yang dilakukan DPW Partai NasDem Bali tersebut, kata dia, telah dikonsultasikan dengan Dewan Pembina Partai NasDem Bali. "Jadi dengan demikian, pemberhentian Ibu Santy dari Ketua Garnita Malahayati Nasdem Bali sudah sah. Itu sudah melalui mekanisme yang benar," ujar Adi Saputra, Selasa 31 Juli 2012 malam.

Ia menjelaskan, setelah menonaktifkan Santy Sastra, telah ditunjuk Luciana Ayu Sukmawati sebagai Ketua DPW Garnita Malahayati NasDem Bali. "Ibu Luci bersama kepengurusannya telah dilantik oleh Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capella, pada 27 Juli 2012," ujar Adi Saputra.

Ia membantah keras sinyalemen yang menyebutkan bahwa penonaktifan Santy Sastra dilakukan tanpa melalui mekanisme, apalagi disebut penuh rekayasa serta intrik politik. "Tidak ada rekayasa, apalagi ada intrik politik untuk mendepak Ibu Santy. Semua sudah dilakukan sesuai mekanisme yang benar dalam organisasi," katanya. (sj)

Kemahiran menulis

Buka Bersama