Jumat, 29 Juni 2012

Republik Indonesia Dekolonisasi, tindakan polisi dan kemerdekaan (1942-1962)


Setelah Jepang menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, pemerintah Belanda menyadari bahwa Indonesia akan segera menjadi sasaran Jepang. Dalam beberapa bulan apa yang terjadi. 
Jepang lakukan dalam waktu yang singkat untuk merebut kerajaan pulau. Pada tanggal 8 Maret 1942 Hindia Belanda menyerah, setelah sebagian besar Belanda oleh Jepang yang diinternir di kamp. 

Cepat kekalahan

Nederlanders worden door de Japanners in kampen geïnterneerd
Banyak orang Indonesia tercengang dengan kekalahan yang cepat dari Belanda. Selain bagian dari populasi yang tidak yang penting, ada bagian bahwa Jepang dibawa dengan banyak bersorak. Untuk yang kaya sumber alam Indonesia pada pihak mereka, Jepang berjanji kemerdekaan Indonesia di bawah perlindungan Jepang. 

Kemerdekaan

Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, sebagian sebagai akibat dari bom atom pertama di Hiroshima dan Nagasaki. 2 Hari setelah kapitulasi Jepang disebut Hatta dan Soekarno, di bawah tekanan gerakan pemuda fanatik Republik Indonesia yang merdeka.

"Kami, rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia Kasus tentang pengalihan kekuasaan, dll., Akan secara tertib dan sesegera mungkin." Jakarta, 08/17/45 Atas nama Bahasa Indonesia orang,
Soekarno, Hatta.

Heran

Soekarno roept onafhankelijkheid uit
Soekarno
Belanda tidak menduga ini. Mereka tidak melihat bahwa nasionalisme selama pendudukan Jepang telah tumbuh begitu kuat. Papan di Belanda, mereka juga menganggap bahwa kekuasaan kolonial akan dipulihkan segera dan bahwa ada dapat dilanjutkan setelah proses kemerdekaan.Belanda menginginkan Indonesia sementara tentu tidak hilang, karena pendapatan dari kepulauan itu sangat dibutuhkan dalam rekonstruksi Belanda Hindia hilang, bencana lahir. 

Pertama chord

Pada November 15, 1946 datang ke perjanjian dengan kaum nasionalis: persetujuan Linggarjati. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan Republik Indonesia Serikat. Ini akan tetap menjadi bagian dari Kerajaan dengan ratu di kepala. Kedua belah pihak mengeluarkan perjanjian berbeda dari yang diproduksi secara alami dan masalah. Pada tanggal 29 Juli 1947 pemerintah Belanda memutuskan untuk campur tangan militer di Indonesia, tindakan polisi pertama, atau Produk Operasi. Belanda tahu ini bagian belakang besar Jawa dan Sumatra pada tangan. Tentara Republik Indonesia yang mulai ini perang gerilya.

JAA van Doorn adalah tentara wajib militer pada tahun 1947 dan pergi ke Indonesia. Dia mengatakan hal berikut mengenai saat itu:

"Saya '47 pertengahan tiba untuk tindakan besar pertama Ada dua, seperti yang Anda tahu.. Dan aku tetap di sana sampai setelah penyerahan kedaulatan (...) 
Ketika saya sampai di sana dan bertemu cukup banyak orang Belanda, karena waktu terpanjang aku duduk di kota, saya memiliki beberapa waktu merasa bahwa kita dibenarkan. Dan itulah masalah sebenarnya hanya bisa diselesaikan dengan campur tangan Belanda dan, jika perlu intervensi kekerasan. (...) 
Dengan berjalannya waktu dan kritik yang Anda bisa, kita masih memiliki jalan buntu untuk penghancuran terkena. Secara khusus, tindakan kedua juga ide-ide konservatif oleh orang-orang yang telah melihat sebagai upaya putus asa untuk menyelamatkan sesuatu dari kebijakan yang gagal itu. Dan tindakan kedua, terutama juga korban yang paling biaya, juga disebut perlawanan yang paling. "

Kedua akord

Soldaten tijdens de politionele acties
Karena oposisi dari tentara Indonesia dan kecaman internasional - Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat - Belanda memutuskan untuk kembali ke meja perundingan. Kali ini kapal kapal perang Renville Amerika. Pada tanggal 18 Januari, 1948 perjanjian kedua antara Belanda dan Indonesia.Hanya jauh masih belum jelas lagi. Belanda terus berusaha untuk memastikan hubungan yang paling dekat mungkin dengan komitmen federal untuk Indonesia dan Indonesia tetap menjadi republik merdeka. Menyusul tindakan polisi kedua.

Kedaulatan transfer

Koningin Wilhelmina leest onafhankelijkheidsverklaring voor
Tekanan dari PBB di Belanda meningkat lebih dan lebih. Ini tidak cocok waktu untuk hubungan kolonial dalam posisi untuk ingin menyimpan.Belanda sebenarnya terpaksa menerima kemerdekaan Indonesia. Pada Agustus 1949 ditemukan Konferensi Meja Bundar di Den Haag di mana kesepakatan tentang kemerdekaan itu tercapai. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Kerajaan di Dam penyerahan kedaulatan kepada Indonesia Serikat ditandatangani. 

Nugini

Tapi Belanda dan Indonesia belum dipisahkan.Penyebaran itu Nugini, yang tidak termasuk dalam penyerahan kedaulatan. Pada tahun 1962, hanya Guinea Baru untuk Republik Indonesia ditambahkan. Sejak saat itu adalah hubungan antara Indonesia dan Belanda terus berkembang sebagai antara dua negara independen.
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, memiliki visi berikut dari kekuasaan Belanda di Indonesia:
"Harus kita selalu di bawah kekuasaan Belanda terus (menangis keras! Tidak)?. Sekarang, bahwa akuisisi kebebasan ada di tangan kita Di seluruh dunia selalu mencari kebebasan dicari: Prancis, Inggris, Amerika, dan akan terus mencoba untuk memenangkan kebebasan Juga di Asia,. termasuk Mesir dan India, jadi kita juga! (Tepuk tangan) (...). Ketika ditanya mengapa negara-negara Eropa ada koloni di pertahanan, menyatakan dirinya tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan, kecuali mereka untuk mengakui bahwa hanya untuk mengisi perut mereka keroncongan. "
  • 7 Desember 1941 Jepang menyerang Pearl Harbor AS pelabuhan
  • 1942 Jepang serangan di Indonesia
  • Mar 8, 1942 kapitulasi Belanda di Indonesia
  • 6 & 9 Agustus 1945 AS atom bom di kota-kota Jepang Hiroshima dan Nagasaki
  • 15 Agustus 1945 kapitulasi Jepang
  • 17 Agustus 1945 Proklamasi Republik Indonesia oleh Soekarno dan Hatta
  • 15 November 1946 Perjanjian Linggarjati
  • 20 Juli 1947 polisi operasi Pertama, Produk Operasi
  • Perjanjian Renville 18 Januari 1948
  • Desember 1948 Aksi Kedua Polisi
  • Agustus 1949 Konferensi Meja Bundar di Den Haag
  • 27 Desember 1949 Kedaulatan transfer di Istana Kerajaan di Dam Square di Amsterdam
  • 17 Agustus 1956 Deklarasi Kemerdekaan Indonesia
  • 1960 Indonesia istirahat hubungan diplomatik dengan Belanda
  • Akhir 1962 di bawah tekanan internasional, Belanda Nugini longgar
  • 1963 Hubungan diplomatik antara Belanda dan Indonesia dengan hati-hati dipulihkan

Sabtu, 23 Juni 2012

Adhi's World: Malaysia VS Indonesia, Mari Merenung

Adhi's World: Malaysia VS Indonesia, Mari Merenung: Heran aku baca-baca berita tentang hubungan Indonesia dengan Malaysia . Aku sendiri gak tahu ada kepentingan apa di balik semua ini dan ba...

Kamis, 21 Juni 2012

Penyebaran Islam di Betawi

oleh alwishahab
Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken SJ, dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta, menulis tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid Al-Anshor di Jl Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai kini masih berdiri. Masjid ini dibangun oleh orang Moor artinya pedagang Islam dari Koja (India).
Sejarah juga mencatat pada Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk sebuah masjid di kawasannya. Letak masjid ini beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia, di antara Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, Jakarta Kota.
Untuk mengetahui sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang, dan membangun pesantren di Quro.
Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.
Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.
Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.
Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.
Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan rersi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).
Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).
Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.
Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.
Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.
Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.
Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.
REPUBLIKA – Ahad, 25 November 2007

Rabu, 20 Juni 2012

Sepatu Dahlan


Perintah Presiden Soeharto Kepada Jenderal Wiranto, Mei 1998


MENJADI host dalam sebuah talk show di sebuah stasiun televisi swasta, dua hari setelah lebaran, Dr Tanri Abeng MBA memberikan penilaian bahwa Jenderal (Purn) Wiranto telah bertindak tidak cerdas karena tak menggunakan Instruksi Presiden (Soeharto) No. 16, Mei 1998, untuk ‘mengambilalih’ kendali kekuasaan. Sementara pada masa sesudah itu, Wiranto berjuang mati-matian dalam kancah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada dua kesempatan. Padahal, isi Inpres di tahun 1998 tersebut, katanya, sangat memungkinkan digunakan untuk meraih kekuasaan. Tanri agaknya menganalogikan posisi Jenderal Wiranto tahun 1998 itu dengan posisi Mayor Jenderal Soeharto yang mengambialih kekuasaan setelah mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Soekarno.
Instruksi nomor 16 itu diambil Presiden Soeharto 16 Mei 1998, sehari sepulangnya dari Kairo, dalam rangka pembentukan ‘Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional’ (KOPKKN) yang berwenang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keamanan dan ketertiban. Kala itu, Jakarta dilanda kerusuhan –pembakaran, kekerasan dan perkosaan berbau etnis– menyusul insiden 13 Mei 1998 yang menewaskan 4 mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti Grogol Jakarta. KOPKKN ini meniru model lembaga keamanan extra ordinary ‘Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban’ (Kopkamtib) yang pertama kali dibentuk oleh Presiden Soekarno namun justru efektif digunakan ABRI sebagai alat pembasmi seluruh gerakan anti kekuasaan di separuh lebih masa kekuasaan Soeharto.

POLISI VERSUS MAHASISWA DI DEPAN KAMPUS TRISAKTI. "Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Jenderal Wiranto akan tergilas sebagai tumbal bila ia menggunakan Inpres 16 mengambil alih kekuasaan negara" - (Dokumentasi foto Wikipedia).
Panglima ABRI –yang Mei 1998 itu dijabat Jenderal Wiranto– ditunjuk sebagai Panglima KOPKKN dan KSAD Jenderal Subagyo HS menjadi wakilnya. Menjawab Tanri, menurut Wiranto, substansi surat berisi instruksi Presiden itu, “memungkinkan saya mengambilalih negara”. Namun, baik Wiranto maupun Subagyo HS, tampaknya diliputi ‘keraguan’ dan tidak berani menggunakan Inpres tersebut dalam konteks pengambilalihan negara. ‘Keraguan’ kedua jenderal itu, disebabkan oleh alasan berbeda satu dengan yang lainnya, khususnya Jenderal Wiranto yang agaknya saat itu sudah punya agenda politik sendiri. “Permasalahannya adalah bukan berani atau tidak berani, bukan mau atau tidak mau”, ujar Wiranto, tetapi berdasarkan suatu kesadaran dan pertimbangan apakah mengambilalih itu mempunyai manfaat atau tidak bagi negara dan rakyat. “Kalau saya ambil alih, negara ini saya umumkan dalam keadaan darurat dengan pengendalian militer”. Wiranto memaparkan hitung-hitungannya, “Bila saya mengambil alih negara berdasarkan sepucuk surat saja, berarti rakyat merasa belum ada reformasi”.

Selasa, 19 Juni 2012

Sejarah Kabupaten Agam

SEJARAH

Kabupaten Agam mempunyai sejarah yang panjang dan komplit, baik di bidang Pemerintahan maupun di bidang adat istiadat. Diawali dari Kerajaan Minangkabau pada pertengahan abad ke-17, dimana rakyat Minangkabau telah memanggul senjata untuk berontak melawan penjajahan Belanda.

Pemerintahan Minangkabau yang disebut Ranah Minang, dimana Kabupaten Agam tempo dulu, selain Sumatera Barat juga termasuk daerah Limo Koto Kampar (Bangkinang) yang sekarang termasuk Propinsi Riau, Daerah Kabupaten Kerinci (Sungai Penuh) sekarang termasuk Propinsi Jambi dan sebagian daerah Tapanuli Selatan (Koto Napan) yang sekarang secara administrasi berada di Propinsi Sumatera Utara.

Pemerintahan adat mencakup Luhak dan Rantau, dimana Pemerintahan Wilayah Luhak terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Limo Puluah dan Luhak Agam. Komisariat Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi mengeluarkan peraturan tentang pembentukan daerah Otonom Kabupaten di Sumatera Tengah yang terdiri dari 11 Kabupaten yang salah satunya Kabupaten Singgalang Pasaman dengan ibukotanya Bukittinggi yang meliputi kewedanan Agam Tuo, Padang Panjang, Maninjau, Lubuk Sikaping dan Kewedanaan Talu ( kecuali Nagari Tiku, Sasak dan Katiagan).

Dalam masa Pemerintahan Belanda, Luhak Agam dirubah statusnya menjadi Afdeling Agam yang terdiri dari Onder Afdeling Distrik Agam Tuo, Onder Afdeling Distrik Maninjau dan Onder Afdeling Distrik Talu. Pada permulaan Kemerdekaan RI tahun 1945 bekas Daerah Afdeling Agam dirubah menjadi Kabupaten Agam yang terdiri dari tiga kewedanan masing-masing Kewedanaan Agam Tuo, Kewedanaan Maninjau dan Kewedanaan Talu.
SOSIOLOGI

Dengan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah No. 171 tahun 1949, daerah Kabupaten Agam diperkecil dimana Kewedanaan Talu dimasukkan ke daerah Kabupaten Pasaman, sedangkan beberapa nagari di sekitar Kota Bukittinggi dialihkan ke dalam lingkungan administrasi Kotamadya Bukittinggi.

Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tersebut dikukuhkan dengan Undang-undang No. 12 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Tingkat II dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah, sehingga daerah ini menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Agam.

Perang Dunia Kedua: Akhir


Pada tanggal 6 Juni 1944 (D-Day) mendarat kekuatan invasi yang besar di pantai Normandia. Pasukan Sekutu dari Amerika, Kanada dan Inggris menaklukkan pantai Normandia.
Pertempuran dengan Jerman sangat sulit. Perlahan-lahan mereka menembus Jerman kembali dan setelah 3 bulan, Paris dibebaskan.

Dua front

Setelah pertempuran Stalingrad (1942-1943) Tentara Merah meraih satu kemenangan demi satu. Hitler sekarang terpaksa berjuang 2 front, baik di barat dan timur oleh tentara Jerman diserang. Selain itu, Jerman kota siang dan malam oleh pesawat sekutu dibom.

Menyerah

Pada bulan Januari 1945, tentara Rusia tiba dari timur, perbatasan Jerman pada bulan Maret dan menyerang Amerika dari barat, dalam Jerman. Pada April 30, 1945 bunuh diri Hitler berkomitmen di Berlin pada tanggal 8 Mei, Jerman menyerah. Setelah penyerahan Jerman Sekutu masih harus berurusan dengan Jepang.

Atom bom

Orang Jepang masih berjuang keras melawan pasukan AS. Untuk segera mengakhiri perang kepada Amerika menempatkan senjata terbaru mereka. Pada tanggal 6 dan 9 bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah. Perang Dunia II usai.

Sejarah Nagari Sungai Pua



Menghargai sejarah adalah suatu perilaku yang sangat dituntut manakala suatu daerah atau wilayah memiliki kemauan untuk menjadi daerah atau wilayah yang besar. Namun kesulitan demi kesulitan tidak dapat terelakkan untuk memastikan validitas suatu sejarah, akan tetapi dengan keterbatasan data dan fakta baik tertulis maupun lisan merupakan nilai yang sangat berharga ketika ditemukan dalam rangka menarik akar sejarah suatu daerah (seperti monografi nagari Sungai Pua yang ditulis oleh Anurlis Abbas pada tahun 1982 dan monografi desa yang ada di Sungai Pua), apalagi sejarah Sungai Pua yang konon sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang silam.
Suatu hal yang perlu digaris bawahi bahwa tekat serta keinginan yang kuat dari anak Nagari Sungai Pua untuk menampilkan sejarah Sungai Pua yang dilengkapi dengan suatu data, tanggal atau tahun bagi pengenalan sejarah serta asal-usul Minangkabau, Luhak nan Tigo, terutama tentang Nagari Sungai Pua.
Menurut cerita dari mulut kemulut, turun temurun di Mingkabau, kerajaan itu ditemukan oleh Iskandar Agung. Sesungguhnya kerajaan Melayu yang kemudian muncul dan sampai kini masih terdapat di bahagian Minangkabau, didirikan oleh pendatang Hindu pada abad ke 7 Masehi.
Nama Minangkabau pertama kali ditemukan pada sebuah catatan bertarich 1365 Masehi, diberikan sebagai nama daerah dan nagari yang pernah bertarung dengan kerajaan Majapahit.
Secara etimologi mengenai nama Minangkabau tercatat pada waktu dimana terjadinya kerajaan sedang mempertahankan kemerdekaannya. Sebagai peringatan atas kejadian ini-aduan anak kerbau yang sedang erat menyusu dengan kerbau jantan Majapahit, dimana matinya kerbau Majapahit itu – orang Melayu sebagai pemenang menamakan negerinya Minangkabau. Riwayat ini masih saja diterima secara bulat diantara rakyat, sedangkan kerbau adalah lambang bagi kesatuan bangsa.
Kata asal ini lebih disukai oleh orang Melayu, yang juga mengadakan pemindahan secara besar-besaran kesemenanjung tanah Malayo/Malaka, tetapi kemudian ada yang memasukkan bentuk patrilinial dalam system kekeluargaannya.
Nama Sungai Pua sendiri agaknya berasal dari Batang dan Pua, yakni kali yang kedua belah pinggirnya ditumbuhi sebangsa pohon, membelah kampung Lidah Api sampai ke Cingkaring. Kini kali tersebut dapat dilihat sebagai sungai mati. Sesungguhpun demikian curam dan lebarnya memberi bekas bagaimana derasnya arus air yang pernah mengaliri batang pua tersebut selagi masih berfungsi.
Inyiak Segeh juga mensinyalir dalam tulisannya bahwa lahar dari puncak gunung Marapi mengalir ke sebelah Utara menuju Barat membentuk sungai (Limo Kampuang, Ampuah dan terus ke Limo Suku). Di pinggir kiri kanan sepanjang lahar yang mengalir itu tumbuh batang pua yang tidak lebih dari 50 s/d 70 cm berwarna putih keungu-ungguan sehingga membentuk suatu pemandangan yang indah. Maka terbentuklah Sungai Pua.
Apabila nama, letak nagari Sungai Pua disenafaskan dengan Gunung MERAPI (2891 SM), maka sejarah, kaba, legenda, cerita mulut kemulut mencatat, bahwa asal-usul nenek moyang orang Minangkabau pada hakekatnya turun dari puncak Gunung Merapi ini. Bahkan orang-orang tua di Sungai Pua adalah yang dengan penuh kesungguhan hati lebih jauh mengaitkan asal-usul tersebut dengan Kapal Nabi Nuh as.
Menurut Ilyas Dt. Bandaro Rajo (90 tahun Piliang), di puncak gunung Merapi – dekat Talago – masih terdapat kuburan, yang dikenal sebagai Kuburan Panjang. Kecuali itu, senantiasa puncak gunung merapi dianggap keramat, terbukti puncak gunung tersebut menjadi sasaran akhir bagi mereka yang pergi “Batarak” (bertama-bersemedi), setelah melakukan hal yang sama di gunung Bunsu dan gunung Kerinci. Puncak tersebut sampai kini menjadi sebutan, ada puncak yang disebut dengan gunung Parpati, karena di puncak tersebut banyak didapati tulang-tulang dari burung merpati.
Konon ada 8 orang nenek moyang dulunya turun temurun pertama kali:
  1. Sultan Marajo Dirajo, beserta isterinya: Putih Indah Jeliah
  2. Suri (contoh teladan, penasehat) Dirajo Nan Banego-nego.
  3. Cateri Reno Sudah.
  4. Jati Bilang Pandai.
Beserta pembantu-pembantunya:
  1. Harimau Campo
  2. Kambiang Hitam
  3. Kuciang Siam
  4. Anjiang Mualim
Penduduk Sunga Pua hanyalah mendengar kisah-kisah ini, bahwa tempat penampungan adalah TANAH PADANG RANG KOTO.
Kemudian diaturlah pembagian sebagai berikut:
Tanah padang pembagian rang koto
Air pembagian rang pili
Tanjung pembagian rang pisang
Banda pembagian rang sikumbang
Guguak pembagian rang melayu. 
Galodo, lava, lahar yang sampai sekarang masih banyak bekasnya, berakhir di Lidah Api. Berkat keramat Inyiak Nan Balinduang yang menanamkan bareco, sebangsa pohon kayu besar, sampai sekarang masih hidup terpencil satu-satunya di tempat tersebut. Terhindarlah anak kemenakan beliau – orang Sungai Pua – dari bencana lava tersebut.
Turunnya Inyiak Nan Balindung adalah Tuangku Laras Sungai Pua, dikenal sebagai Sulaiman Dt. Tumanggung, meninggal tahun 1914, dikuburkan dipandam pekuburan asal: Tampaik, Sungai Pua. Beliau terkenal bijaksana, pandai berbicara dan sukar tandingannya diantara lareh-lareh di Luhak Nan Tigo, dan Luhak Agam sehingga menyebabkan sebuah pabrik korek api Swedia mempergunakan kemasyhuran tersebut sebagai cap/trade mark produksinya, yaitu dengan memasang foto Tuangku Laras Sungai Pua. Tentu saja barang dagangan tersebut menjadi laras lakunya.
Abdul Moeis, pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia, meninggal di Bandung, dr Ariffin, adalah anak dari Tuangku Laras ini. Perang Paderi, Perang Kamang, Perang Mangopoh, Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1950) tidak pernah absent diikuti oleh segenap rakyat Sungai Pua.
Suatu hal yang sangat perlu diketahui, bahwa di Kota Bandung (salah satu daerah parantauan bagi orang Sungai Pua) ada jalan dan terminal yang diberi nama Abdul Moeis dan Soedirman (Saudara Abdul Moeis, yang terkenal dengan piala Badminton Soedirman) yang dianggap sebagai pahlawan dan pejuang yang cukup banyak berjasa terhadap Negara Republik Indonesia di bidangnya masing-masing.  Berliau berdua adalah anak pusako urang Sungai Pua (anak Tuanku Larch) Soelaiman Dt. Tumangguang. Demikian yang ditulis oleh Inyiak Segeh dalam tulisannya.
“Adat adalah pakaian rang Sungai Pua”, begitu ungkapan dan kesimpulan masyarakat bukan Sungai Pua, apabila diperlukan sesuatu makna dalam pertikaian pengertian mengenai applied/penjabaran adat itu sendiri.
Pada tahun 1946 – bulan Juli – atas kehendak rakyatnya, dalam suatu rapat umum di lapangan Balai Panjang Sungai Pua, dinyatakan 2 (dua) kenagarian yaitu Kapalo Koto dan Tangah Koto, disatukan menjadi satu nagari: Sungai Pua seperti sekarang dengan jorong jorongnya: Limo Kampung, Kapalo Koto, Tangah Koto, Limo Suku dan Galuang.
Pada tahun 1909 mulailah pemuda Sungai Pua pergi belajar agama Islam di Padang Japang (50 Kota) yang dipimpin Oleh Sech Abbas Abdullah.
Kaum adat, agama dan cendikiawan Sungai Pua senantiasa memberi warna terhadap dinamik, kritik dan bersikap logis anak negerinya.
Buku Sungai Pua, Karangan D. P. Murad (89 halaman) ditulis oleh pemuda Sungai Pua sendiri, demikian juga buku Alam Minangkabau karangan Angku Ajunct (1951) dan buku perjuangan rakyat Sumatera Barat 1945-1950 mengaris bawahi, bahwa nagari Sungai Pua beserta putera-puterannya adalah peserta aktif dalam peranan mula, masa kritis dan penyelesaian perang kemerdekaan melenyapkan penjajah Belanda dari bumi Indonesia

Kamis, 14 Juni 2012

Djepang Meroesak Keamanan


Tiga Setengah Tahun Dalam Penjajahan Jepang


HINDIA BELANDA - Ribuan prajurit Jepang melompat dari kapal-kapal pendarat dan kemudian bergerak maju untuk menguasai ladang minyak di Balikpapan. Sementara itu setelah menguasai Hindia Belanda, seperti Pulau Jawa yang subur
HINDIA BELANDA - Ribuan prajurit Jepang melompat dari kapal-kapal pendarat dan kemudian bergerak maju untuk menguasai ladang minyak di Balikpapan. Sementara itu setelah menguasai Hindia Belanda, seperti Pulau Jawa yang subur
Pertaroengan diteloek Banten Menandoeng Sedjarah. Jedjadian ini tidak diloepakan oenteok selam-lamanja. Saat itoelah pada tg. 1 Maret 2602 Balatentara Dai Nippon mendarat dan menamatkan riwajat penindasan Belanda, Jang dimoelai oleh C.v Houtman pada tiga abad jang laloe. Rakjat menjamboet kedatangan Balatentara Nippon dengan gembira. Ternjata pendaratan hingga sekarang pendoedoek Banten-Sju bekerja giat bersama Balatentara.
Kutipan tersebut diambil dari majalah bergambar dua mingguan Djawa Baroe terbitan 1 Maret 2604 Showa atau 1944 Masehi, sebagai awal tulisan berjudul Kissah Pendaratan Balatentara Nippon Ditanah Djawa – Riwajat Belanda moelai dan tammat di Banten. Dalam tulisan ini, dikisahkan tentang daratan pasukan Jepang lainnya di Cretan dan Jawa Timur, hingga .ienyerahnya tentara Belanda. “…Dengan Tergesa-gesa Tjarda dan Ter Poorten lari e Kalidjati, hendak menemoei Panglima Balatentara Nippon. Maksoednja Menjatakan tidak tahan lagi berperang melawan Balatentara Nippon jang gagah berani itoe. Mereka hendak menjerah tidak memakai perdjandjian apa-apa. Balatentara Nippon melihat kedoea pahlawan Belanda ini merasa sangat kasihan dan menerima penjerahan nereka. Dengan perasaan sedih dan menjesal akan kekeliroean sendiri, maka Tjarda dan Ter Poorten keloear dari ,goeboek ketjil—tempat permoesiawaratan di Kalidjati dengan keinsafan, bahwa mereka terdieroemoes oleh Sekoetoenia, Inggeris-Amerika, jaitoe : “Memakloemkan perang pada Dai Nippon dengan tidak tahoe apa maksoednja !”
Sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia, salah satu negeri di Selatan atau Nanyo yang sudah lama diincarnya, baik karena kekayaan cumber alamnya maupun letaknya yang strategic dan menentukan untuk urat nadi perniagaan internasionalnya. Mengingat invasi Jepang terhadap Hindia Belanda dilakukan oleh kekuatan gabungan AL dan AD (Tentara ke-16) yang dipimpin Letjen Hitoshi Imamura, maka begitu seluruh wilayah ini berhasil didudukinya, langsung dibagi dalam dua kekuasaan. AL atau Kaigun menguasai Kalimantan dan semua wilayah Indonesia bagian timur, sementara Jawa Madura Berta Sumatra diserahkan kepada Rikugun atau AD.

Rabu, 13 Juni 2012

Mahisa Anabrang

 

 Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang atau Lembu Anabrang (lahir: ? – wafat: 1295) adalah nama seorang perwira Kerajaan Singhasari yang menjadi komandan Ekspedisi Pamalayu tahun 12751293.

Komandan Pamalayu

Pada tahun 1275 Kertanagara raja Singhasari, mengirimkan utusan untuk menjalin persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya di Sumatera. Pengiriman utusan ini terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton sama sekali tidak menyebutkan siapa nama utusan ekspedisi ini.
Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang, yang artinya ialah “kerbau yang menyeberang”. Terdapat kemungkinan bahwa ini bukan nama asli, atau pengarang kidung tersebut juga tidak mengetahui dengan pasti siapa nama asli sang komandan.
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang memperoleh keberhasilan. Nagarakretagama mencatat Melayu masuk ke dalam daftar jajahan Singhasari selain Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Utusan Pamalayu kembali ke Jawa tahun 1293 dengan membawa dua orang putri bernama Dara Jingga dan Dara Petak, semula untuk dijodohkan dengan Kertanagara. Namun Kertanagara telah tewas setahun sebelumnya akibat pemberontakan Jayakatwang. Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit, sehingga ia yang menerima perjodohan tersebut.

Gugur dalam tugas

Pada tahun 1295 terjadi pemberontakan pertama terhadap Kerajaan Majapahit yang dilakukan oleh adipati Tuban Ranggalawe. Peristiwa ini disinggung dalam Pararaton namun naskah ini tidak menyebutkan siapa tokoh yang berhasil membunuh Ranggalawe. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menguraikan kisah kematian Ranggalawe dengan panjang lebar, serta menyebutkan bahwa yang berhasil membunuh adipati Tuban tersebut adalah Mahisa Anabrang.
Dikisahkan bahwa pasukan Majapahit dipimpin Nambi, Lembu Sora, dan Mahisa Anabrang berangkat untuk menumpas Ranggalawe. Perang terjadi di dekat Sungai Tambak Beras. Mahisa Anabrang bertarung melawan Ranggalawe di dalam sungai, yang dimenangkan oleh Mahisa Anabrang. Lembu Sora yang adalah paman Ranggalawe, tidak rela melihat keponakannya dibunuh. Ia lalu membunuh Mahisa Anabrang, rekannya sendiri, dari belakang. Tewasnya Ranggalawe mengakhiri perang saudara pertama dalam sejarah Majapahit.
Kidung Sorandaka mengisahkan keluarga Mahisa Anabrang tidak berani menuntut hukuman untuk Lembu Sora karena ia merupakan pembantu kesayangan Raden Wijaya. Baru pada tahun 1300 seorang putra Mahisa Anabrang bernama Mahisa Taruna mendapat bantuan seorang tokoh bernama Mahapati.[rujukan?] Mereka pun berhasil menyingkirkan Lembu Sora dari jajaran pemerintahan Majapahit. Peristiwa yang terjadi selanjutnya ialah pembunuhan Lembu Sora oleh pasukan Nambi akibat fitnah yang dilancarkan Mahapati.

Identifikasi dengan Adwayabrahma

Mahisa Anabrang kembali ke Jawa pada tahun 1293 dengan membawa dua orang putri Minangkabau bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Menurut Pararaton, Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa” (sira alaki dewa), yang berarti seorang bangsawan. Dara Jingga kemudian melahirkan seorang putra bernama Tuhan Janaka yang kemudian menjadi raja Minangkabau bergelar Mantrolot Warmadewa. Beberapa sumber mengatakan bahwa ini adalah nama lain dari Adityawarman. Namun profesor Uli Kozok meyakini bahwa yang bergelar Warmadewa tersebut adalah Akarendrawarman, paman dari Adityawarman.
Nama ayah Adityawarman adalah Adwayawarman menurut prasasti Kuburajo atau Adwayadwaja menurut prasasti Bukit Gombak. Gelar yang hampir serupa ialah Dyah Adwayabrahma, juga terdapat dalam prasasti Padangroco, sebagai salah seorang pengawal arca Amoghapasa yang dibawa ke Sumatra tahun 1286. Tertulis dalam prasasti bahwa Adwayabrahma yang menjabat rakryan mahamantri, suatu jabatan tinggi bagi bangsawan kerabat raja. Demikianlah terdapat anggapan bahwa tokoh Adwayabrahma ini adalah tokoh yang sama dengan Mahisa Anabrang utusan Pamalayu. Namun demikian dugaan bahwa utusan Pamalayu adalah sama dengan pemimpin rombongan Amoghapasa masih memerlukan bukti tambahan yang memperkuatnya.

Identifikasi dengan Indrawarman

Menurut sumber dari Batak[rujukan?], nama komandan pasukan Singhasari yang dikirim untuk menaklukkan Sumatra adalah Indrawarman. Tokoh ini kemudian menolak mengakui kedaulatan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari. Indrawarman kemudian mendirikan Kerajaan Silo di Simalungun.
Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit dipimpin Adityawarman dalam rangka pelaksanaan Sumpah Palapa. Adityawarman sebagai wakil raja Majapahit berhasil menaklukkan Silo. Indrawarman diberitakan tewas oleh serangan tersebut. Menurut legenda, Indrawarman tidak pernah kembali ke Jawa, sehingga sulit untuk menyamakannya dengan tokoh Mahisa Anabrang yang kembali ke Jawa tahun 1293.

Minggu, 10 Juni 2012

Kawan Lama - Menelusuri Jejak Rohana Kudus



Rohana Kudus, sebuah nama yang saya kenal saat pertama kali menginjakkan kaki di Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tahun 2008 lalu. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di nagari itu. Sebelum itu, tak sekalipun saya pernah mendengar namanya. Seingat saya, saya tidak pernah membaca sejarah hidupnya di buku-buku pelajaran Sejarah sejak saya SD dulu. Entah saya yang kurang tahu karena masih sedikit membaca atau memang namanya tidak tertulis di buku-buku pelajaran Sejarah.
Yang pasti, perkenalan dengannya melalui referensi yang saya dapat di dunia maya, mengungkapkan sosoknya yang ternyata luar biasa. Siapa sangka, ternyata ia juga adalah sosok Kartini yang lahir dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, di tanah kelahirannya, Koto Gadang. Ia lahir di sana pada tanggal 20 Desember 1884, 5 tahun setelah Kartini lahir di Jepara. Bisa dikatakan, Rohana dan Kartini adalah pejuang hak-hak perempuan Indonesia di masanya, di tanah yang berbeda.
Rohana adalah putri pertama pasangan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Nama besarnya ternyata sering disandingkan dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, yang juga merupakan adik tirinya. Ia pun adalah sepupu dari H. Agus Salim, seorang jurnalis dan pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di masa pemerintahan Orde Lama, dan juga dipanggil dengan sebutan Mak Tuo (Bibi) oleh penyair terkenal Chairil Anwar, sang ”binatang jalang”. Sungguh sebuah kekerabatan dari beberapa nama besar yang senantiasa tertoreh dalam sejarah politik dan sastra Indonesia.
Kiprahnya sendiri sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan dengan laki-laki, sudah dimulai sejak ia berusia sangat muda, saat ia mengajarkan teman-teman kecilnya membaca pada usia 8 tahun. Kemampuan baca tulis itu ia peroleh tanpa melalui pendidikan formal. Sejak kecil, ia rajin belajar pada Ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantornya.
Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan Ayahnya. Ia belajar banyak hal selain membaca dan menulis; bahasa Belanda, abjad Arab, Latin, Arab-Melayu, dan juga belajar hal-hal keputrian seperti menyulam, menjahit, merenda, dan merajut, yang dipelajarinya dari istri pejabat Belanda atasan Ayahnya, saat Ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang. Dari berteman baik dengan istri pejabat Belanda itu pula ia banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai hal tentang politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa, yang sangat digemari Rohana.
Nama ”Kudus” yang disandangnya adalah nama belakang sang suami, Abdul Kudus, yang menikahinya pada saat ia berusia 24 tahun. Ketika itu ia sudah kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang dan berniat mewujudkan cita-citanya untuk membebaskan kaum perempuan terutama dari diskriminasi perolehan kesempatan pendidikan, dengan mendirikan sebuah sekolah keterampilan khusus perempuan. Sekolah itu bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia, yang didirikannya pada tanggal 11 Februari 1911. Di sekolah ini ia mengajarkan banyak hal seperti, membaca, menulis, keterampilan mengelola keuangan, budi pekerti, pendidikan agama, bahasa Belanda, sampai keterampilan menjahit, menyulam, membordir, dan merenda, yang hasil kerajinannya ini diekspor ke Eropa. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Usahanya ini bukan tanpa kendala. Ia banyak mengalami rintangan berupa benturan sosial dengan para pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang. Sebagaimana lazimnya kisah seorang perintis dan pendobrak sistem, adat istiadat yang sudah kuat mengakar, tak jarang ia juga harus menelan fitnahan dari orang-orang yang menentang segala caranya untuk memajukan kaum perempuan. Namun segala macam rintangan itu justru menjadikannya semakin kuat, tegar, dan yakin akan apa yang tengah diperjuangkannya.
Selain mengajar dan fasih berbahasa Belanda, Rohana juga gemar menulis puisi dan artikel. Tak terlihat bahwa ia sebenarnya tak berpendidikan tinggi. Tutur katanya mencerminkan kecerdasan dan keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di kampungnya. Nama dan kiprahnya pun menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum kolonial. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka Belanda dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Pada akhirnya Rohana pun berbagi cerita dan cita-cita tentang perjuangannya tersebut dengan menerbitkan surat kabar perempuan pertama di Indonesia pada tanggal 10 Juli 1912, yang diberi nama ”Sunting Melayu”. Dinamakan surat kabar perempuan pertama karena pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya, semua adalah perempuan. Surat kabar ini tidak hanya membahas masalah wanita, tetapi juga masalah politik dan kriminal yang terjadi di ranah Minang.
Selang beberapa waktu kemudian, ia pun pindah ke Bukit Tinggi. Di sini, ia mendirikan ”Rohana School”, yang terkenal sampai ke daerah lain di luar Bukit Tinggi. Tak heran, banyak murid yang bersekolah di sini. Hal ini disebabkan nama Rohana sudah cukup populer karena hasil karyanya yang bermutu dan eksistensinya sebagai pemimpin redaksi ”Sunting Melayu” tak diragukan lagi. Ia pun ditawari menjadi pengajar di sekolah Dharma Putra, yang muridnya tidak hanya perempuan. Selain karena kepopulerannya, tawaran mengajar ini juga dikarenakan kemampuannya dalam menguasai bidang agama, bahasa Belanda, politik, sastra, dan jurnalistik serta kepiawaiannya dalam hal kerajinan tangan.
Ia juga sempat merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana ia mengajar dan memimpin surat kabar ”Perempuan Bergerak”. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar ”Radio”, yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar ”Cahaya Sumatera”. Kiprahnya tak hanya di bidang pendidikan. Berbekal kemampuan jurnalistiknya, ia pun turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi. Ia juga memelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan, dan ia pula yang mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Koto Gadang ke Bukit Tinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Sabtu, 09 Juni 2012

Jam Gadang


Tabloid Pantau - http://www.tabloid.web.id/
majalah - http://wartawan.info/_a.php?_a=majalah&info1=1   
tabloid Prioritas - http://www.prioritasnews.com/2012/06/05/hipokrit/
SNMPTN 2012  - http://www.ptn-online.com/pengumuman-snmptn-2012/
wahyudi blog - http://viruspintar.blogspot.com


                                                     

Nasehat buat keponakan    

Anak kanduang sibiran tulang 
Buah hati ayah djo Bundo
Ubek Jariah  palarai damam
Sidingin sampai dikapalo

Nan kanduang kamanakan mamak
Rangkaian hati urang sakoto
Mamak batutua cubolah simak
Dangakan mamak bacarito

Kok indak salah mamak mahetong
Diagak agak sampai kini
Tatkalo kamanakan kadibaduang
Mamak maliek partamo kali

Ayah badoa pado nankuaso
Bundo bakahandak pado illahi
Kok layie anak nan dicito
Ka pangganti badan diri
Diwarih nan kabajawek
Dipusako nan kabatolong
Indak dibilang jariah  jo panek
Lamo jo maso indak dihetong

Lah layie anak laki-laki
Umpamo ameh jo parmato
Ibaraik cincin taikek dijari
Ka panyongsong tamu nan tibo

Katungkek pamaniah jalan
Ka karih pamaga adat
Panjago warih katurunan
Ka pambela dunia akhirat

Tanak labu ditaratak di hari pagi
Dakek  ampang mananam ubi
Anak bungsu nan indak baradiak lai
Capeklah gadang bundo harok kamananti

Kawan Lama - Partai Nasdem Modali Calegnya Rp 5-10 M



Elvan Dany Sutrisno - detikNews
 Jakarta Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memang tak main-main menghadapi Pemilu 2014. Partai Nasdem memodali calegnya antara Rp 5-10 miliar untuk memastikan kemenangan di Pemilu 2014.

"Angkanya tergantung dari dapilnya. Kalau dapilnya kecil tentu tidak besar. Tapi kisarannya ya antara Rp 5-10 miliar lah," kata Ketua Umum Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, kepada detikcom, Sabtu (9/6/2012).

Rio menuturkan, Partai Nasdem tak ingin calegnya bermain saat terpilih menjadi anggota DPR kelak. Karena itu Partai Nasdem memilih memodali calegnya, meskipun angkanya jelas tidak sedikit.

"Latar belakangnya kita tidak ingin de javu seperti dulu lagi dimana caleg disuruh perang sendiri di dapilnya. Minimal mereka akan hitung berapa pengeluarannya kemudian menjadi politik transaksional," kata Rio.

Diharapkan kelak anggota DPR dari Nasdem dapat memperjuangkan aspirasi rakyat dengan lebih tulus. Karena mereka tak mengeluarkan modal sendiri untuk menghadapi pemilu legislatif.

"Harapannya ketika caleg-caleg Nasdem terpilih nanti mereka akan fokus memeprjuangkan kepentingan rakyat secara luas tanpa ternoda, itu yang melatarbelakangi kami untuk membiayai mereka yang punya kemampuan, kapabilitas, agar mereka punya bekal bekerja di dapilnya," tandasnya.

(van/ndr)

Kamis, 07 Juni 2012

Tokoh Minangkabau


A.A. Navis sumber : http://batunanlimo.blogspot.com/

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawanterkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.

Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.



Agus Salim

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.



Yahya Dt. Kayo

Dia diberi nama Yahya. Mengapa diberi nama oleh keluarganya yang kebetulan nama itu mengingatkan kita akan nama nabi-nabi. Kita tidak tahu. Cobalah renungkan nama-nama dua mamaknya yang terdahulu, Ibrahim dan Ismail. Dua-duanya jadi laras di IV Koto, Agam Tua. Sedangkan mamaknya yang gagal jadi Laras, namanya Lanjadin Katib Besar1, bukan bernama seperti nama nabi. Sewaktu dia lahir, baru dua tahun Jabatan Laras disandang oleh Tuanku Janaid St Dinegeri. Apakah memang nama Yahya telah di persiapkan agar jadi Laras? Walluhualam. Dia adalah putera sejati, artinya bapak dan ibunya orang Koto Gadang, yang di lahirkan di tengah-tengah kampung Koto Gadang pada 1 Augustus 1874, 10 tahun lebih dahulu dari kelahiran Haji Agus Salim. Ibunya bernama Bani, dan Bapaknya bernama Pinggir dari pesukuan Sikumbang. Di masa kecilnya telah dididik agar dianya sangat cinta kepada negerinya Koto Gadang, segala sesuatunya diperhatikannya dan di selidikinya benar-benar.



Rabu, 06 Juni 2012

Ayam Gadang’ Minangkabau (Minang Saisuak )



TIOK LASUANG BAAYAM GADANG’, begitu bunyi satu ungkapan Minangkabau lama. Dalam konteks ini, maksudnya adalah bahwa setiap etnis melahirkan beberapa orang yang kesohor di tingkat nasional maupun internasional. Dan Minangkabau jangan ditanya lagi tentang itu. Mengenai hal itu Jeffrey Hadler dalam bukunya Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (2008) menulis: “Peta jalan kota mana pun di Indonesia pastilah berisi jalan-jalan raya dengan nama Haji Agus Salim (lahir 1884), negarawan dan menteri luar negeri; Mohammad Hatta (lahir 1902), wakil presiden pertama; Muhammad Yamin (lahir 1903), filsuf nasionalis; Muhammad Natsir (lahir 1908), politikus Islam; Hamka (lahir 1908), ulama; Sutan Sjahrir (lahir 1909), sosialis dan perdana menteri pertama; Rasuna Said (lahir 1910), pemimpin revolusioner dan politikus; dan, bila sensor Soeharto lalai, Tan Malaka (lahir 1896), filsuf revolusioner komunis. Rakyat Minangkabau sangat bangga akan pemimpin-pemimpin generasi pertama ini beserta sejumlah besar politikus, ulama, dan cerdik cendekia Minangkabau yang kurang terkenal tapi yang juga punya peran penting dalam sejarah Indonesia.” Orang Minangkabau, yang pada tahun 1930-an hanya berjumlah 3.36 persen (sekitar satu juta jiwa) dari total penduduk Hindia Belanda, begitu mendominasi sejarah nasional. Mereka memainkan peran utama dalam pergerakan nasionalis dan pergerakan Islam, dan merekalah pemberi warna dunia sastra dan budaya Indonesia.

Dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini, pembaca Singgalang Minggu kami suguhi foto tiga orang ‘ayam gadang’ Minangkabau, benih-benih terbaik dari ranah matrilineal terbesar di dunia ini, yang telah berjasa besar terhadap Republik Indonesia. Mereka adalah (dari kanan ke kiri): Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Muhammad Hatta. Sedangkan Amir Sjarifuddin (pakai dasi), yang berdiri paling kiri, berdarah Batak (lihat: Jacques Leclerc, Amir Sjarifuddin; Antara Negara dan Revolusi, 1996). Cukup unik bahwa ketiga ‘ayam gadang’ Minangkabau itu sama-sama memakai jas panjang ala Eropa. Mungkin Bukittinggi pada waktu itu cukup sejuk seperti suhu pada musim gugur di Eropa.

Konteks historis foto ini adalah tahun 1948, waktu Belanda melakukan aksi polisionil terhadap Republik Indonesia yang masih bayi. Pada tanggal 9 Januari 1948 Sutan Sjahrir (penasihat Presiden Soekarno) tiba kembali di Jakarta setelah mengunjungi sejumlah negara selama enam bulan. Bersama Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri) dan Amir Sjarifuddin (Perdana Menteri) ia berangkat ke Bukittinggi (ibukota Republik Indonesia di Sumatra). Di sana mereka bertiga berjumpa dengan Muhammad Hatta yang telah berkeliling Sumatra dan berkunjung ke India. Amir Sjarifuddin berkunjung ke Sumatra Barat untuk menjemput Wakil Presiden Muhammad Hatta karena ia memerlukan dukungan Hatta untuk merampungkan persetujuan Renville yang sedang dalam perundingan.

H. Agus Salim, Hatta dan Sjahrir, tiga putra Minangkabau terbaik, dikenang karena kesederhanaan mereka. Sejarah telah mencatat bahwa mereka tak ragu-ragu meninggalkan kekuasaan bila gerak gerik kekuasaan itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan hati nurani mereka. Mereka tak lena oleh uang berkebat, apalagi yang berbentuk ‘komisi’ ini dan itu yang diserahkan dalam bentuk amplop yang disuruk-surukkan. Mereka adalah teladan dan ‘cermin terus’ yang dilupakan oleh kebanyakan politikus negeri ini sekarang. Duhai, di manakah orang-orang seperti mereka dapat dicari dalam ranah politik Indonesia kini, yang sudah ‘kelam’ oleh celaga korupsi dan makin carut-marut tak berkeruncingan.

Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: H Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir; Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan1909-1966. Jakarta & Leiden: Kompas & KITLV Press, 2010: 110).

Singgalang, Minggu, 5 Desember 2010
sumber : http://niadilova.blogdetik.com/

MENYISIRI SEJARAH DI BENTENG FORT DE KOCK


Ditulis oleh Teguh   
Minggu, 13 Maret 2011 01:19
PADANG, HALUAN — Perjalanan wisata ke Kota Bukittinggi memang akan memberikan sesuatu yang beragam.
Iklimnya yang sejuk karena berada di dataran tinggi, sekitar 930 meter dari permukaan laut membuat anda akan merasa rileks di Kota ini. Kota yang berjarak kurang lebih 90 Km dari pusat Kota Padang terse­but ternyata banyak memiliki bangunan kuno bersejarah, yang merupakan peninggalan dari masa penjajahan Belanda di Indonesia. Salah satunya ialah Fort de Kock
Belanda saat menduduki Kota Bukittinggi. Nama Fort de Kock sendiri, ternyata adalah nama lama dari Bukit­tinggi. Benteng ini dibangun pada masa Perang Paderi, sekitar tahun 1825 oleh Kapt. Bauer. Bangunan kokoh yang itu dibangun di atas Bukit Jirek, dan awalnya diberi nama Sterrenschans. Lalu, tak lama namanya berubah menjadi Fort de Kock, oleh Hendrik Merkus de Kock, yang merupakan salah satu tokoh militer Belanda.
Usai membangun benteng tersebut, beberapa tahun kemu­dian di sekitar benteng ini berkembang sebuah kota yang juga diberi nama Fort de Kock. Dan kini berubah nama menjadi Bukittinggi.
Semasa pemerintahan Be­lan­da, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme­rintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah koloial Belan­da telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat peme­rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Fort de Kock juga diba­ngun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatera Barat. Benteng tersebut meru­pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Su­ma­tera Barat, mereka meman­faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok aga­ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.
Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.
Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolo­nial Belanda pun melanjutkan rencananyamengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malam­bung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kom­pleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen  wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.
Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan benteng kini menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Disini anda tak hanya disajikan pemandangan alam, anda bersa­ma kelaurag juga menemui beberapa satwa burung yang menjadi koleksi di taman ini.
Setelah mengetahui banyak hal tentang catatan sejarah mengenai Fort de Kock ada baiknya anda santai sejenak di kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, yang lokasinya satu kompleks de­ngan benteng peninggalan Belanda tersebut. Selain itu di kompleks Kebun Binatang tersebut juga terdapat Museum Rumah Adat Baanjuang. Anda tak perlu bingung saat mema­suki kawasan itu, benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk. Sedangkan kebun binatang dan museum berben­tuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan.
Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya kota Bukittinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukit Tinggi yaitu kawa­san Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh.
Dari atas jembatan anda dapat menikmati pemandangan pegunungan dan ngarai yang ada di sekitar kawasan tersebut seperti Ngarai Sianok, Gunung Merapi, Gunung Singgalang, Gung Sago dan Gunung Tan­dikek.(dodo/pa­da­ng­me­dia.com)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                                                   http://thearoengbinangproject.com