Minggu, 10 Juni 2012

Kawan Lama - Menelusuri Jejak Rohana Kudus



Rohana Kudus, sebuah nama yang saya kenal saat pertama kali menginjakkan kaki di Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tahun 2008 lalu. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di nagari itu. Sebelum itu, tak sekalipun saya pernah mendengar namanya. Seingat saya, saya tidak pernah membaca sejarah hidupnya di buku-buku pelajaran Sejarah sejak saya SD dulu. Entah saya yang kurang tahu karena masih sedikit membaca atau memang namanya tidak tertulis di buku-buku pelajaran Sejarah.
Yang pasti, perkenalan dengannya melalui referensi yang saya dapat di dunia maya, mengungkapkan sosoknya yang ternyata luar biasa. Siapa sangka, ternyata ia juga adalah sosok Kartini yang lahir dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, di tanah kelahirannya, Koto Gadang. Ia lahir di sana pada tanggal 20 Desember 1884, 5 tahun setelah Kartini lahir di Jepara. Bisa dikatakan, Rohana dan Kartini adalah pejuang hak-hak perempuan Indonesia di masanya, di tanah yang berbeda.
Rohana adalah putri pertama pasangan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Nama besarnya ternyata sering disandingkan dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, yang juga merupakan adik tirinya. Ia pun adalah sepupu dari H. Agus Salim, seorang jurnalis dan pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di masa pemerintahan Orde Lama, dan juga dipanggil dengan sebutan Mak Tuo (Bibi) oleh penyair terkenal Chairil Anwar, sang ”binatang jalang”. Sungguh sebuah kekerabatan dari beberapa nama besar yang senantiasa tertoreh dalam sejarah politik dan sastra Indonesia.
Kiprahnya sendiri sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan dengan laki-laki, sudah dimulai sejak ia berusia sangat muda, saat ia mengajarkan teman-teman kecilnya membaca pada usia 8 tahun. Kemampuan baca tulis itu ia peroleh tanpa melalui pendidikan formal. Sejak kecil, ia rajin belajar pada Ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantornya.
Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan Ayahnya. Ia belajar banyak hal selain membaca dan menulis; bahasa Belanda, abjad Arab, Latin, Arab-Melayu, dan juga belajar hal-hal keputrian seperti menyulam, menjahit, merenda, dan merajut, yang dipelajarinya dari istri pejabat Belanda atasan Ayahnya, saat Ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang. Dari berteman baik dengan istri pejabat Belanda itu pula ia banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai hal tentang politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa, yang sangat digemari Rohana.
Nama ”Kudus” yang disandangnya adalah nama belakang sang suami, Abdul Kudus, yang menikahinya pada saat ia berusia 24 tahun. Ketika itu ia sudah kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang dan berniat mewujudkan cita-citanya untuk membebaskan kaum perempuan terutama dari diskriminasi perolehan kesempatan pendidikan, dengan mendirikan sebuah sekolah keterampilan khusus perempuan. Sekolah itu bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia, yang didirikannya pada tanggal 11 Februari 1911. Di sekolah ini ia mengajarkan banyak hal seperti, membaca, menulis, keterampilan mengelola keuangan, budi pekerti, pendidikan agama, bahasa Belanda, sampai keterampilan menjahit, menyulam, membordir, dan merenda, yang hasil kerajinannya ini diekspor ke Eropa. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Usahanya ini bukan tanpa kendala. Ia banyak mengalami rintangan berupa benturan sosial dengan para pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang. Sebagaimana lazimnya kisah seorang perintis dan pendobrak sistem, adat istiadat yang sudah kuat mengakar, tak jarang ia juga harus menelan fitnahan dari orang-orang yang menentang segala caranya untuk memajukan kaum perempuan. Namun segala macam rintangan itu justru menjadikannya semakin kuat, tegar, dan yakin akan apa yang tengah diperjuangkannya.
Selain mengajar dan fasih berbahasa Belanda, Rohana juga gemar menulis puisi dan artikel. Tak terlihat bahwa ia sebenarnya tak berpendidikan tinggi. Tutur katanya mencerminkan kecerdasan dan keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di kampungnya. Nama dan kiprahnya pun menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum kolonial. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka Belanda dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Pada akhirnya Rohana pun berbagi cerita dan cita-cita tentang perjuangannya tersebut dengan menerbitkan surat kabar perempuan pertama di Indonesia pada tanggal 10 Juli 1912, yang diberi nama ”Sunting Melayu”. Dinamakan surat kabar perempuan pertama karena pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya, semua adalah perempuan. Surat kabar ini tidak hanya membahas masalah wanita, tetapi juga masalah politik dan kriminal yang terjadi di ranah Minang.
Selang beberapa waktu kemudian, ia pun pindah ke Bukit Tinggi. Di sini, ia mendirikan ”Rohana School”, yang terkenal sampai ke daerah lain di luar Bukit Tinggi. Tak heran, banyak murid yang bersekolah di sini. Hal ini disebabkan nama Rohana sudah cukup populer karena hasil karyanya yang bermutu dan eksistensinya sebagai pemimpin redaksi ”Sunting Melayu” tak diragukan lagi. Ia pun ditawari menjadi pengajar di sekolah Dharma Putra, yang muridnya tidak hanya perempuan. Selain karena kepopulerannya, tawaran mengajar ini juga dikarenakan kemampuannya dalam menguasai bidang agama, bahasa Belanda, politik, sastra, dan jurnalistik serta kepiawaiannya dalam hal kerajinan tangan.
Ia juga sempat merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana ia mengajar dan memimpin surat kabar ”Perempuan Bergerak”. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar ”Radio”, yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar ”Cahaya Sumatera”. Kiprahnya tak hanya di bidang pendidikan. Berbekal kemampuan jurnalistiknya, ia pun turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi. Ia juga memelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan, dan ia pula yang mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Koto Gadang ke Bukit Tinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.


Sepanjang hidupnya, ia terus aktif dalam kegiatan belajar dan mengajar, sembari mengusung cita-citanya untuk mengubah paradigma masyarakat Koto Gadang yang mendiskriminasi kesempatan pendidikan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Pemikirannya sebagai sosok yang visioner dan bijaksana dijelaskan dalam kalimatnya ini:
//gadisindonesiacantik.blogspot.com/)
Rohana Kudus (http://gadisindonesiacantik.blogspot.com/)
Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.
Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki, namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan, maka dari itu diperlukan pendidikan untuk perempuan.
Sebuah definisi tentang emansipasi yang sederhana dan mulia. Suatu kesimpulan dari pemikiran Rohana yang membuat saya berpikir kembali akan arti emansipasi yang selama ini agaknya sudah kebablasan.
Seiring perkembangan zaman yang semakin maju, cita-cita Rohana pun tunai sudah. Para perempuan Koto Gadang masa kini adalah perempuan-perempuan berpendidikan tinggi yang sukses dalam berbagai bidang. Di balik kesuksesan itu, tetap terselip harapan agar para perempuan ini tidak melupakan perannya sebagai perempuan kodrati.
Pada usia hampir menginjak 88 tahun, Rohana pun beristirahat dengan tenang pada tanggal 17 Agustus 1972. Perjuangannya yang berkobar tak serta merta padam, bahkan akhirnya diakui dengan beberapa penghargaan yang ia terima setelah keberpulangannya menghadap Sang Pencipta. Tepat dua tahun setelah ia wafat, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menganugerahinya penghargaan sebagai ”Wartawati Pertama Indonesia”. Hampir 13 tahun kemudian, tepatnya tanggal 9 Februari 1987, pada Hari Pers Nasional ke-3, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya penghargaan sebagai ”Perintis Pers Indonesia”, dan pada tahun 2008 yang lalu, pemerintah Indonesia menganugerahkan ”Bintang Jasa Utama” kepadanya.
Kartini adalah Kartini. Rohana juga adalah Kartini.
Untuk mengenang dan mengapresiasi jasa-jasanya sebagai sosok Kartini di daerahnya, saya meminjam beberapa bait lagu ”Ibu Kita Kartini” ciptaan W.R. Supratman, dan mengubah lirik ”Kartini” menjadi ”Rohana”, sebagai berikut:
***

Ibu kita Rohana
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Rohana
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai ibu kita Rohana
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

***
>> Untuk Kartini-Kartini yang gaung perjuangannya teredam riuh zaman dan kisah sejatinya tak sempat diabadikan dalam sebuah lagu.
Sumber tulisan:
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3
>> Tulisan ini diikutsertakan dalam Blogdetik Writing Contest “INSPIRING WOMAN”. Silahkan kunjungi situsnya di blogdetik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar