Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawanterkemuka
di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan
menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah
cerita pendek Robohnya Surau Kami.
Dunia
sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah
lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum
meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada
Kongres Budaya Padang
bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan
surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai
Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi
tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari,
Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika
Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU)
Tunggul Hitam, Padang.
Agus Salim
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri.
Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja
di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika
di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau
Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam
dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Yahya Dt. Kayo
Dia
diberi nama Yahya. Mengapa diberi nama oleh keluarganya yang kebetulan
nama itu mengingatkan kita akan nama nabi-nabi. Kita tidak tahu.
Cobalah renungkan nama-nama dua mamaknya yang terdahulu, Ibrahim dan
Ismail. Dua-duanya jadi laras di IV Koto, Agam Tua. Sedangkan mamaknya
yang gagal jadi Laras, namanya Lanjadin Katib Besar1, bukan bernama
seperti nama nabi. Sewaktu dia lahir, baru dua tahun Jabatan Laras
disandang oleh Tuanku Janaid St Dinegeri. Apakah memang nama Yahya
telah di persiapkan agar jadi Laras? Walluhualam. Dia adalah putera
sejati, artinya bapak dan ibunya orang Koto Gadang, yang di lahirkan di
tengah-tengah kampung Koto Gadang pada 1 Augustus 1874, 10 tahun lebih
dahulu dari kelahiran Haji Agus Salim. Ibunya bernama Bani, dan
Bapaknya bernama Pinggir dari pesukuan Sikumbang. Di masa kecilnya
telah dididik agar dianya sangat cinta kepada negerinya Koto Gadang,
segala sesuatunya diperhatikannya dan di selidikinya benar-benar.
Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta,
17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia
lahir dari ayahnya yang bernama Rasjad Maharaja Soetan dan ibunya
bernama Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri dariSoetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo
(bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H.
Agus Salim. Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses
perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia
adalah perdiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Rohana
adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada
pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk
salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi
terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah
tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan,
keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan
untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun
Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin
belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu
membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat
belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang
diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa
menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar
abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan
Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari
istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda,
dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga
banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita
politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari
Rohana.
Syarifah Nawawi
Syarifah
lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar
Soetan Ma’moer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di
Sekolah Raja (Kweekschool)
Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita
Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia
beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan.
Waktu
Jepang masuk, Syarifah mengundurkan diri sebagai direktur Sekolah
Kemajuan Istri. Mien Soedarpo (1994:53) menulis tentang kegiatan ibunya
setelah itu: “Ia tetap [mengabdikan hidupnya] untuk memajukan
pendidikan wanita dan anak-anak. Ibu aktif di Fujinkai, organisasi umum
wanita yang ditopang oleh Jepang, ia kemudian aktif di Perwari,
organisasi wanita yang didirikan tahun 1945. Di samping [itu], ia
meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran kepada
anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya
pendidikan.” Bahkan ia “menyulap” rumahnya menjadi sekolah.
Syarifah
Nawawi meninggal di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun.
Anak-anaknya merawatnya sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi
perbaikan pendidikan wanita di tanah air diakui umum. Ia juga simbol
emansipasi kaum wanita Minang—bukan emansipasi semu yang dibungkus
mamangan adat dan pepatah petitih yang elok bunyinya itu. Syarifah
menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal pamrih bagi
anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung di gedung
Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya.
Chairil Anwar
Dilahirkan
di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ibunya bernama
Solehah, Lahir di Situjuh, Payakumbuh dan ayahnya bernama Toeloes,
mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Payakumbuh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. [1] Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.
Mohammad Natsir
Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah perdana menteri kelima, pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan salah seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia.
Ayah
Natsir bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang,
sedangkan kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk
kaumnya yang berasal dari Maninjau, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ketika kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul.
Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan
kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di
Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional
antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan,
yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persis. Dengan keunggulan
spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan
pendidikan.
Rasuna Said
Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14 September 1910 – meninggal di Jakarta,
2 November 1965 pada umur 55 tahun) adalah salah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria
dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
H.R.
Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan
berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas
di Sarekat Rakyat
sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya
mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau
sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
H.R.
Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah
Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat
beliau.
H.R.
Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. H.R.
Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu
(Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf,
Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar