Jumat, 27 April 2012

53 TAHUN GERAKAN PRRI : Harga Mati sebagai Pemberontak



Pustaka Marola
CAP sebagai pemberontak bagi PRRI oleh Pemerintah Pusat masih terus disematkan hingga kini. Padahal, gerakan PRRI sebagai perjuangan koreksi bagi jalannya pemerintah. Lalu sampai kapan cap pemberontak melekat bagi yang terlibat dalam gerakan PRRI?

The twilight in Jakarta. Suatu senja kala di Jakarta. Hari itu 15 Februari 1958. Lima puluh tiga tahun silam. Sejumlah wartawan asing memasuki halaman rumah kediaman Menteri Luar Negeri RI Dr Subandrio, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Ternyata rumah itu kosong. Dari paviliun kanan muncul seorang diplomat muda, Ganis Harsono, Mantan Atase Pers Kedutaan Besar RI di Washington.
Di depan Ganis, wartawan New York Times, Bernie Kalb berteriak keras. “Apa macam kalian semua ini, hah? Di mana Perdana Menteri Djuanda sekarang? Dimana Menteri Luar Negerimu Subandrio? Semua tak ada di tempat. Tak ada seorang pun yang bisa dimintai keterangan. Apa macam, nih?”

Lalu Ganis Warsono menyuruh para wartawan asing itu pergi ke Menteng, Pusat Perwakilan Negara-Negara Asing. “Di sana beliau-beliau itu akan bertemu. Ada Prime Minister Djuanda dan ada Menlu Subandrio,” kata Ganis.
Tapi Hans Martinot, wartawan ANP (Algeemeen Nederlands Persbureu) dari Belanda berteriak lagi: “Hei, Ganis! Kau jangan berlagak pintar. Kau pasti sudah mendengar satu jam yang lalu RRI Bukittinggi dan Padang telah menyiarkan Proklamasi PRRI (Pemerintah Revolusioner Repunblik Indonesia di Padang).”
Demikian ditulis almarhum Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie, dalam bukunya Mesin Ketik Tua terbitan Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) tahun 2005.
Saat itu 15 Februari 1958. Genderang perang ditalu. Pemicunya, ketidakpuasan daerah kepada Pemerintah Pusat: banyak senjang, tak sedikit yang timpang dalam roda pemerintahan. Komunis berkembang subur.
RRI Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, Tanjung Pinang, dan Jambi pada waktu itu memang menunda siaran yang telah diagendakan lalu digantikan oleh pengumuman penting dari Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein tentang terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Mr Sjafruddin Prawiranegara, yang sebelumnya merupakan pemimpin PDRI—dipilih Perdana Menteri.
Ahmad Husein membacakan tuntutannya untuk Pemerintah Pusat yang dikenal dengan “Piagam Perjuangan”. Isinya tuntutan itu:
1). Bubarkan Kabinet Djuanda dan kembalikan mandatnya ke Presiden,
2). Bentuk zaken kabinet nasional di bawah suatu panitia pimpinan M Hatta dan Hamengkubuwono IX,
3). Beri kabinet baru mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu mendatang,
4). Presiden Soekarno/Pj. Presiden agar membatasi diri menurut konstitusi.
5). Bila tuntutannya tak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijaksanaan sendiri.
Setelah membacakan “Piagam Perjuangan” itu, Ahmad Husein pun melantik Kabinet PRRI di Gubernuran Padang.
Pecah di Tubuh Militer
Menurut Rusli Marzuki Saria —akrab dipanggil Papa— salah seorang yang ikut bergabung dengan PRRI, terlepas dari sebutan apakah PRRI sebagai pemberontakan atau tidak, PRRI muncul merupakan akumulasi dari geliat militer yang banyak muncul sebelum kemerdekaan dan sesudahnya.
“Ini dipicu karena faktor kekuasaan, militerisme, dan belum solidnya militer Indonesia,” kata Rusli Marzuki Saria yang bergabung PRRI saat berusia 22 tahun. Ia bergabung dengan Mobbri (kini Brimob) 106 Sumatera Tengah kepada Haluan, Sabtu (12/1).
Dijelaskannya, sekitar tahun 1945-1950, puluhan para para militer yang bergabung di antaranya Masyumi (tentaranya Hizbullah), PKI (tentaranya Tentara Merah Indonesia), Ninik Mamak (tentara adat), Perti (tentara Allah), dan sebagainya. “Sebagian besar tentara itu tak bergaji.”
Pada tahun 50-an pemerintah memberlakukan sistem gaji terhadap tentara dan mengatur secara benar organisasi militer ini, sehingga banyak tentara yang tersingkir. “Tentara-tentara yang sebelumnya ikut berjuang meraih kemerdekaan ini, banyak yang tersingkir karena berbagai persyarakat yang diterapkan pemerintah. Mereka inilah kemudian berkumpul dan melakukan perlawanan dari daerah-daerah,” jelas Papa.
Rusli Marzuki Saria saat itu bergabung dengan Kompi Mawar FK Unand. Di Kompi itu, ada banyak senjata pemberian Dewan Benteng, yaitu 12 buah basoka, 12 LMS, brengan, british LE, dan JS Karaben.
Diserang Kiri-Kanan
Pemerintah Pusat tak senang diultimatum. Lima hari setelah ancaman itu, Pusat kirim tentara ke Padang sebanyak 7.500-10.000 personil terdiri dari Kodam Diponegoro, Siliwangi, Brawijaya dan elit Banteng Raiders juga KKO khusus Marinir AL ke Sumatra Tengah (Minangkabau). Tidak cukup? Pusat memperkuat lagi dengan mengirim 5-7 kapal perang dan ditambah dengan pesawat tempur.
Kolonel Ahmad Yani memimpin penyerangan. Namanya Sandi Operasi 17 Agustus. Maka, berdarah-darahlah negeri ini. Dentuman dan raungan senjata perang sahut-menyahut. Perang sesama saudara sendiri. Saling mengunus senjata dengan saudara yang pernah sama-sama berjuang memerdekakan negeri yang bernama Indonesia ini.
Bagindo Fachmi, 70 tahun, salah seorang yang terlibat langsung dalam gerakan PRRI mengisahkan, gerakan PRRI sebagai perjuangan koreksi terhadap jalannya pemerintahan.
“Pemerintah pusat saat itu tidak merasa ada yang perlu dikoreksi. Perlawan itu dinilai pusat sebagai pembangkangan terhadap pusat. Senjata adalah jawaban yang tepat pagi pusat. Pembangkangan para militer yang sakit hati. Di dalam teori militer, mereka disebut desersi. Maka, kebijakannya adalah tumpas,” kata Bagindo Fachmi.
Dewan Perjuangan yang diketuai oleh Letkol Ahmad Husein adalah gabungan dari dewan-dewan daerah seperti Dewan Benteng (Sumatera Tengah), Dewan Gajah (Sumatera Utara), Dewan Garuda (Sumatera Selatan), Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan Selatan), dan Permesta (Sulawesi Utara). Sekretaris Jenderal Dewan Perjuangan adalah Kolonel Dahlan Djambek, Deputy III KSAD yang bergabung dengan Dewan Banteng.
Rapat Rahasia
Dalam buku “Mesin Ketik Tua” disebutkan, lebih kurang sebulan sebelumnya yakni pada 8 Januari 1958 telah berlangsung rapat rahasia di Sungai Dareh, Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Tempat rapat di sebuah gedung yang amat sederhana di tepi Sungai Batanghari yang dikenal dengan “Pasanggrahan”.
Dari pihak militer yang hadir, Letkol Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng), Kolonel Maludin Simbolon (Ketua Dewan Gajah), Letkol Barlian (Ketua Dewan Garuda), Letkol Venje Sumual (Permesta), Kolonel M. Dahlan Djambek (Deputi II KSAD yang bergabung dengan Dewan Banteng), Kolonel Zulkifli Lubis (Wakil KSAD yang menghilang).
Tokoh dari sipil adalah Moh Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Syarif Usman, Almez, Taher Samad, Duski Samad, H. Darwis Taram, Moh. Sjafe’i Kayutanam, Sulaiman, dan Sjarif Said. Rapat itu berlangsung dua hari dan berakhir tanggal 9 Januari 1958. Pertemuan hari pertama khusus militer dan hari kedua gabungan militer dengan politisi.
Dalam pertemuan rahasia tersebut disepakati bahwa sebulan setelah rapat Sungai Dareh yakni pada tanggal 10 Februari 1958 disampaikan tuntutan kepada pemerintah pusat melalui ultimatum 5×24 jam. (h/naz/adk)
e-Paper Harian Haluan, 13 February 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar