Jumat, 27 April 2012

Menguak Tabir PDRI “Sejarah PDRI Masih Terlupakan”


Oleh Redaksi Sabtu, 08-Januari-2005
Joni Syahputra—Bidar Alam
Sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) masih dilupakan banyak kalangan khususnya penguasa. Malahan tidak dianggap sebagai sebuah sejarah. Buktinya, posisi Sjarifuddin Prawiranegara yang menjadi pimpinan PDRI tidak pernah diakui.
Harus disadari, tanpa PDRI bangsa Indonesia tidak akan ada lagi. Sebab setelah Jogjakarta direbut dalam agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948, presiden dan wakil presiden beserta beberapa menteri ditawan. Persis kekuasaan jadi fakum.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, keynote speaker dalam Peringatan Hari Ulang Tahun PDRI ke 56 di Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan Kamis (6/1), selama tenggang waktu enam bulan 21 hari (22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949), pusat pemerintahan Indonesia dialihkan ke tangan PDRI, pimpinan Sjafruddin Prawiranegara, yang semula sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta.
Sjafruddin sejak November 1948 diajak Hatta ke Bukittinggi dan diminta tinggal di sana sebagai antisipasi terhadap segala kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hubungan Indonesia-Belanda. Sementara Hatta pun berangkat ke Tapanuli untuk menyelesaikan perang saudara antara kelompok Bedjo dan Malau yang sangat meresahkan rakyat.
Dalam waktu singkat Hatta berhasil menyelesaikan pertikaian itu. Kemudian lewat Bukittinggi kembali ke Yogyakarta dengan pesawat kepunyaan KTN (Komisi Tiga Negara). Namun sebelum berangkat ke Bukittinggi, Hatta sudah memperkirakan kemungkinan aksi militer Belanda II akan terjadi dengan menggempur Jogjakarta dan Sjafruddin sudah dipersiapkan untuk menjadi Perdana Menteri sementara.
Pembicaraan Hatta dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Mr Stikker di Jogjakarta telah berakir dengan jalan buntu. Situasi inilah yang menyebabkan memanasnya hubungan Indonesia dan Belanda yang masih belum mau melepaskan daerah bekas jajahannya. Kesulitan Pemerintahan Hatta memang bertumpuk-tumpuk. Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948 baru saja dapat ditanggulangi dengan mengerahkan pasukan Siliwangi. Situasi rentan inilah yang digunakan Belanda untuk menghabisi riwayat Indonesia yang baru berusia setahun jagung.
Dugaan bahwa Belanda akan menggempur Jogja jadi kenyataan. Pukul 06.00 WIB pagi tanggal 19 Desember 1948, Lapangan Terbang Maguo mulai dihujani bom pesawat tempur Belanda. PM Hatta yang sudah berada di istana presiden dari Kaliurang, tempat peristirahatannya segera bertindak. Sidang kabinet diadakan untuk memberi mandat kepada Sjafruddin agar membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.
Mandat serupa juga dikirimkan kepada LN Palar, Dr Sudarsono dan AA Maramis yang sedang berada di India, sekiranya Sjafruddin gagal dalam usahanya membentuk pemerintahan darurat. Ternyata Sjafruddin mampu melakukannya. Namun sayangnya dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1949 yang bertalian dengan peristiwa 19 Desember 1948, presiden tidak menyebut satu kata pun tentang PDRI, sebuah pemerintah sementara yang mendapat mandat penuh dari presiden dan wakil presiden. Apalagi PDRI telah turut menyelamatkan kedaulatan republik dalam situasi yang gawat.
”Saya tidak tahu mengapa presiden berat lidah untuk menyinggung peran PDRI ini. Apalagi mengucapkan rasa terima kasih kepada peran yang telah dimainkannya. Saya juga gagal memahami mengapa peristiwa 13 Juli 1949 pada saat Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya tidak pula disinggung dalam pidato presiden saat itu,”ujar Syafii lagi.
Kemudian menurut Syafii, setelah Soekarno dan Hatta ditawan, Kabinet Hatta masih sempat bersidang dan diantara keputusannya, presiden dan wakil presiden mengirim kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi yang isinya bahwa ia diangkat sementara membentuk pemerintahan darurat, dan membentuk suatu kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat.
Ungkapan mengambil alih pemerintah pusat secara konstitional menjadi penting karena setelah PDRI dibentuk tanggal 22 Desember 1949, di Halaban di wilayah Lima Puluh Koto, tidak ada kekuasaan pemerintahan lain yang sah di wilayah Lima Puluh Koto, kecuali PDRI. Sekalipun selama tiga hari (19-22 Desember 1948) ada semacam kevakuman pemerintahan. Namun secara de jure sejak itu 19 Desember 1949 kekuasaan sementara tidak lagi berada di tangan Soekarno Hatta atau sebutlah Kelompok Bangka, tetapi di tangan Syafruddin dengan PDRI nya.
Adapun terlambatnya kawat diterima Sjafruddin lantaran persoakan teknik komunikasi yang terputus-putus saat itu. Desa kecil yaitu Bidar Alam di pedalaman Solok Selatan merupakan tempat bersejarah yang terlama menjadi pusat PDRI yaitu tiga sampai empat bulan.
Intuisi Hatta yang menyuruh Sjafruddin untuk tinggal di Bukittinggi sejak Nopember 1948 tampaknya berdasarkan pengalaman bahwa Belanda tidak dapat dipercaya. Begitupun pembentukan PDRI di Halaban pada 22 Desember 1948 bukanlah berangkat dari sebuah keinginan untuk berkuasa, menggantikan pemerintahan tawanan. Tindakan itu semata-mata kaerena sikap yang snagat mendasar yaitu kemerdekaan harus dipertahankan.
Menurut Syafii lagi, dalam perspektif ini penolakan PDRI terhadap pernyataan Roem-Royen harus ditafsirkan sebagai sikap politik dari mereka yang mengerti hukum konstitusi. Tetapi juga sikap Bangka yang menugaskan Roem untuk berunding tentu harus dilihat dari sudut kepentingan negara yang ingin secepatnya bebas dari penajajahan. Kelemahannya hanya terletak pada kenyataan mengapa sebelum berunding, tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan PDRI, sebagai pemerintah yang sah. Itulah sebabnya barangkali Moh Natsir, Menteri Penerangan Kabinet Hatta tidak mendukung langkah Bangka.
Ringkasnya menurut putra Sumpur Kudus ini, setelah Hatta kemudian berusaha keras mencari Sjafruddin dan anggota kabinetnya untuk dibujuk agar kembali ke Jogkakarta dan bersedia mengembalikan mandatnya kepada pemimpin Bangka yang sudah berada di Jogja. Maka tanggal 13 juli 1949 PDRI mengakiri sejarahnya yang sangat heroik.
”Dari semua itu dapat disimpulkan, PDRI adalah bagian menyatu dengan seluruh nafas dan gerak perjuangan republik Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang hendak direnggut kembali oleh Belanda. Nafsu itu dimentahkan PDRI yang telah bergerilya yang didukung sepenuhnya rakyat Indonesia, Semenrtara PDRI jarang disebut adalah sebuah malapetaka sejarah yang disebabkan jiwa kerdil yang tidak jarang dapat membutakan mata batin seseorang. Karena itu kita harus mengakui sejarah,” tutur Syafii lagi.
Sejarawan, Dr Mestika Zed, pembicara seminar, menambahkan selama lebih kurang delapan bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949) PDRI berhasil menjalankan tugasnya sebagai pemerintahan alternatif dalam suasana pengungsian. Sesuai dengan sifatnya, darurat, PDRI memimpin pemerintahan secara mobil, berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain sambil meneruskan perjuangan dengan bergerilya.
”Meskipun dalam keadaan darurat dan serba kekurangan, PDRI pada giliran memainkan peran sentral dalam mengintegrasikan pelbagai kekuatan perjuangan yang bercerai berai di Jawa dan Sumatera dan pada saat yang sama mendorong pemulihan perjuangan diplomasi dengan masyarakat internasional termasuk dengan Dewan Keamanan PBB,” ujarnya.
Jadi menurut Mestika, sejarah PDRI dalam satu dan dua hal adalah batu ujian pertama bagi integrasi nasional karena perjuangan kemerdekaan pada masa itu akhirnya berhasil melewati ujian terberat setelah mengalami ancaman disintegrasi bangsa.
Setelah itu menurut Mestika, meminjam kata-kata sejarawan terkemuka Prof Sartono Kartodirjo, PDRI adalah soal to be or not to be Republik. Tanpa PDRI, Republik yang diproklamasikan beberapa tahun sebelumnya itu nyaris tenggelam buat selama-lamanya. Namun berkat PDRI, Republik bisa kembali ke Jogja. Dengan kata lain, PDRI mengembaliklan gagang ke tampuknya. Kemudian menurutnya yaitu menyangkut soal the ethics of power (etika kekuasaan).
Meskipun PDRI dibentuk dan didukung sepenuhnya oleh pemimpin Sumatera Barat, hanya sedikit saja tokoh Sumbar yang duduk dalam kepemimpinan puncak tanpa merasa perlu mengklaim diri sebagai “Putra asli PDRI”.
Lebih penting lagi, berapa Sjafruddin dan pemimpin Sumatera Barat dengan kerelaan dan penuh patriotisme bersedia menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemimpin di Jogja, meskipun mereka pada taraf tertentu telah dilangkahi oleh pemimpin Bangka yang ditawan Belanda dalam mengambil keputusan-keputusan penting mengenai negara dan bangsa lewat perundingan tanpa membawa PDRI.
Kesimpulannya menurut Mestika, mengingat pentingnya peran sejarah PDRI dalam perjalanan sejarah bangsa, aka sudah selayaknyalah sejarah perjuangan era PDRI dijadikan sebagai hari bersejarah nasional. Pengukuhkan yang sekaligus sebagai simbol pengikat integrasi bangsa di tingkat nasional sekaligus menghidupkan kembali tali persaudaraan solidaritas di tingkat lokal belakangan ini cenderung makin kabur dalam memori kolektif generasi bangsa. ***
http://padangekspres.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar