5rigala2012
Princess Acta Diurna
Senin, 19 November 2012
Edwar Soeryajaya vs Surya Paloh
Surya Paloh Berharap Sengketa Tambang Emas di Banyuwangi Tuntas
Foto: Budi Sugiharto
Irul Hamdani - detikSurabaya
Banyuwangi - Intrepid Mine Ltd masih berharap sengketa 'kepemilikan saham' tambang emas Tumpang Pitu dengan PT IMN di Banyuwangi diselesaikan secara musyawarah.
Namun bila upaya duduk bersama tersebut gagal, perusahaan tambang yang berkedudukan di Australia ini siap menempuh jalur hukum Indonesia.
"Pertama pendekatan penyadaran, persuasi. Yang punya saham di Intrepid kan juga ada anak indonesia, Yang tidak suka Intrepid juga anak indonesia," kata Surya Paloh menjawab wartawan yang menemuinya disela pertemuannya dengan Bupati Abdullah Azwar Anas di Pendopo Kabupaten Banyuwangi, Minggu (18/11/2012).
Menurut salah satu pemlik saham di Intrepid ini, Investasi adalah bagus bagi indonesia. "Intrepid kan diundang, kesepakatan ada. Lha kok sekarang di usir," kata Ketua Umum Ormas Nasional Demokrat itu..
Surya Paloh berkeinginan PT IMN yang telah menjalin kesepakatan dengan Intrepid memenuhi kesepatakan yang telah disepakati diawal.
Sebab bila tidak kunjung selesai, maka proses pertambangan emas di Tumpang Pitu tidak bisa berjalan. Yang dirugikan kata bos Media Grup ini adalah rakyat dan Pemkab Banyuwangi juga.
"Tambang sekarang ya kosong, karena Intrepid yang sedang bekerja diusir," kata Surya Paloh yang duduk di samping bupati ini.
Sekali lagi, Surya Paloh menilai kedua belah pihak bisa duduk bersama. " Hendaknya kita duduk. Manusia bisa silap, tapi kalau silap terus ya ga boleh,"katanya..
Namun bila buntu, tak ada pilihan lain selain menempuh jalur hukum "Kita duduk, saling menjelaskan persoalannya. Negara kita kan negara hukum. Saya orang yang masih percaya indonesia mampu menerapkan peradilan masih bisa bagus," jelasnya.
Surya Paloh kepada wartawan menegaskan bahwa kedatangannya di Banyuwangi ini tidak untuk membahas tambang emas.
"Saya mengapresiasi Banyuwangi Ethno Carnival yang digagas Pak Bupati. Saya ingin menyaksikan langsung. Setelah ini ya langsung pulang," jelasnya.
(gik/fat)
Selasa, 13 November 2012
Tak Populer, Ketum dan Sekjen Partai Nasdem Bakal Diganti
JAKARTA -
Ketua Majelis Pertimbangan Ormas Nasional Demokrat Laksamana (Purn)
Tedjo Edhy Purdjianto mengatakan Januari 2013 mendatang direncanakan
akan berlangsung konvensi di Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Menurutnya, dalam konvensi itu Surya Paloh sebagai Ketua Majelis
Nasional Nasdem diberi mandat untuk memilih ketua umum Parta Nasdem.
"Pada bulan Januari ada konvensi. Pak Surya Paloh akan menerima mandat dari orang yang diberi mandat untuk membentuk partai. Setelah konvensi, pimpinan Partai Nasdem akan diambil-alih oleh Pak Surya Paloh," kata Tedjo Edhy Purdjianto, di Jakarta, Sabtu (10/11).
Saat ini Ketua Umum dan Sekjen DPP Partai Nasdem masing-masing Patrice Rio Capella dan Ahmad Rofiq. Rio dan Rofiq, katanya, hanya diberi mandat untuk membentuk partai.
Sebagai formatur tunggal, kata Laksamana Tedjo, Surya Paloh akan membentuk kepengurusan seluruh Partai Nasdem di Indonesia. Surya Paloh yang akan menentukan siapa pengurus-pengurus partai.
"Ini kan rencana dari awal. Karena Pak Surya masih di ormas, dia melimpahkan. Rio dan Rofiq dulu juga kan orang ormas. Jadi dibentuk partai dengan mandat dari Pak Surya. Setelah selesai terbentuk, mandat diserahkan ke Pak Surya lagi kan. Ini sudah by design, bukan tiba-tiba. Semua sudah tahu," tegas Laksamana Tedjo.
Selain itu lanjutnya, memang alasan lain Surya Paloh mengambil alih kepengurusan Partai Nasdem karena pengurus yang ada saat ini kurang populer.
"Tentunya ketokohan. Sekarang ini kan Ketua Partai Nasdem tidak dikenal. Siapa Rio, siapa Rofiq. Orang kan tidak kenal. Tapi Surya Paloh kan tokoh nasional, negarawan. Dengan ini diharapkan, nanti dukungan masyarakat akan semakin besar," ungkapnya," tegas Tedjo Edhy Purdjianto. (fas/jpnn)
"Pada bulan Januari ada konvensi. Pak Surya Paloh akan menerima mandat dari orang yang diberi mandat untuk membentuk partai. Setelah konvensi, pimpinan Partai Nasdem akan diambil-alih oleh Pak Surya Paloh," kata Tedjo Edhy Purdjianto, di Jakarta, Sabtu (10/11).
Saat ini Ketua Umum dan Sekjen DPP Partai Nasdem masing-masing Patrice Rio Capella dan Ahmad Rofiq. Rio dan Rofiq, katanya, hanya diberi mandat untuk membentuk partai.
Sebagai formatur tunggal, kata Laksamana Tedjo, Surya Paloh akan membentuk kepengurusan seluruh Partai Nasdem di Indonesia. Surya Paloh yang akan menentukan siapa pengurus-pengurus partai.
"Ini kan rencana dari awal. Karena Pak Surya masih di ormas, dia melimpahkan. Rio dan Rofiq dulu juga kan orang ormas. Jadi dibentuk partai dengan mandat dari Pak Surya. Setelah selesai terbentuk, mandat diserahkan ke Pak Surya lagi kan. Ini sudah by design, bukan tiba-tiba. Semua sudah tahu," tegas Laksamana Tedjo.
Selain itu lanjutnya, memang alasan lain Surya Paloh mengambil alih kepengurusan Partai Nasdem karena pengurus yang ada saat ini kurang populer.
"Tentunya ketokohan. Sekarang ini kan Ketua Partai Nasdem tidak dikenal. Siapa Rio, siapa Rofiq. Orang kan tidak kenal. Tapi Surya Paloh kan tokoh nasional, negarawan. Dengan ini diharapkan, nanti dukungan masyarakat akan semakin besar," ungkapnya," tegas Tedjo Edhy Purdjianto. (fas/jpnn)
Senin, 12 November 2012
Ketum NasDem: Surya Paloh Tak Bisa Sembarangan Ambil Alih NasDem
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Ketua Umum Partai NasDem Patrice Rio
Capella memang pasrah kalau Surya Paloh melengserkan posisinya. Namun
dia yakin Surya Paloh tak akan menggunakan gaya koboi untuk mengambil
posisi Ketua Umum Partai NasDem.
"Soal merombak ketua umum dan sebagainya itu ada soal AD/ART. Jadi bukan persoalan apakah Surya Paloh direstui Harry Tanoe atau tidak, ini soal AD/ART. Jadi semua harus mengikuti AD/ART," kata Rio kepada detikcom, Senin (12/11/2012).
Dia paham sekali kongres Partai NasDem tak bisa dihindari. Itu artinya ada kemungkinan dia dan seluruh kader muda di NasDem bisa tergusur. Dia hanya berharap kalangan tua di NasDem menghormati AD/ART partai.
"Tapi pengubahan itu nggak bisa juga bergaya koboi. Karena kita juga sudah bekerja keras. Kita ini partai bukan beli di mal atau beli di pasar," keluhnya.
Rio yakin sekali di kongres perdana Partai NasDem pasca pengumuman verifikasi parpol nanti akan diambil jalan terbaik menyangkut kepengurusan Partai NasDem. "Jadi nggak bisa sembarangan, kongres ya pasti dihormati, masak mau bergaya koboi. Kita ini partai yang mengedepankan perubahan, tapi untuk perubahan harus hormat kepada AD/ART," lanjutnya.
Dia lantas menegaskan tak dikontrak oleh Surya Paloh hanya untuk mendirikan NasDem. "Nggak ada kontrak seperti itu. Saya maklum senior saya mantan KSAL itu baru masuk ormas dan baru memimpin Jawa Timur. Dia tidak mengerti bagaimana partai ini dibangun. Jadi wajar dia ngomong seperti itu," jelas Rio.
Orang yang dipercaya Surya Paloh memimpin NasDem se-Jawa Timur, Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdjianto, memang mengungkapkan rencana Surya Paloh mengambil alih posisi Ketua Umum Partai NasDem. Tedjo juga mengungkap bahwa Ketua Umum Partai NasDem Rio Capella dan Sekjen Partai NasDem Ahmad Rofiq hanya bertugas membentuk Partai NasDem dan mengantarkan NasDem lolos verifikasi parpol.
Rencananya, seperti dijelaskan Tedjo sebelumnya, Surya Paloh akan mengambil alih posisi ketua umum Partai NasDem dalam Kongres yang akan digelar setelah verifikasi parpol di KPU selesai.
"Jadi dia ditugaskan oleh Pak Surya Paloh diberikan mandat untuk membentuk partai. Jadi setelah konvensi atau kongres nanti Pak Surya Paloh akan memimpin. Ya justru mendekati Pemilu itu, NasDem harus dipegang orang yang berpengaruh agar popularitas naik dengan cepat," kata Tedjo sebelumnya.
(van/asy)
"Soal merombak ketua umum dan sebagainya itu ada soal AD/ART. Jadi bukan persoalan apakah Surya Paloh direstui Harry Tanoe atau tidak, ini soal AD/ART. Jadi semua harus mengikuti AD/ART," kata Rio kepada detikcom, Senin (12/11/2012).
Dia paham sekali kongres Partai NasDem tak bisa dihindari. Itu artinya ada kemungkinan dia dan seluruh kader muda di NasDem bisa tergusur. Dia hanya berharap kalangan tua di NasDem menghormati AD/ART partai.
"Tapi pengubahan itu nggak bisa juga bergaya koboi. Karena kita juga sudah bekerja keras. Kita ini partai bukan beli di mal atau beli di pasar," keluhnya.
Rio yakin sekali di kongres perdana Partai NasDem pasca pengumuman verifikasi parpol nanti akan diambil jalan terbaik menyangkut kepengurusan Partai NasDem. "Jadi nggak bisa sembarangan, kongres ya pasti dihormati, masak mau bergaya koboi. Kita ini partai yang mengedepankan perubahan, tapi untuk perubahan harus hormat kepada AD/ART," lanjutnya.
Dia lantas menegaskan tak dikontrak oleh Surya Paloh hanya untuk mendirikan NasDem. "Nggak ada kontrak seperti itu. Saya maklum senior saya mantan KSAL itu baru masuk ormas dan baru memimpin Jawa Timur. Dia tidak mengerti bagaimana partai ini dibangun. Jadi wajar dia ngomong seperti itu," jelas Rio.
Orang yang dipercaya Surya Paloh memimpin NasDem se-Jawa Timur, Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdjianto, memang mengungkapkan rencana Surya Paloh mengambil alih posisi Ketua Umum Partai NasDem. Tedjo juga mengungkap bahwa Ketua Umum Partai NasDem Rio Capella dan Sekjen Partai NasDem Ahmad Rofiq hanya bertugas membentuk Partai NasDem dan mengantarkan NasDem lolos verifikasi parpol.
Rencananya, seperti dijelaskan Tedjo sebelumnya, Surya Paloh akan mengambil alih posisi ketua umum Partai NasDem dalam Kongres yang akan digelar setelah verifikasi parpol di KPU selesai.
"Jadi dia ditugaskan oleh Pak Surya Paloh diberikan mandat untuk membentuk partai. Jadi setelah konvensi atau kongres nanti Pak Surya Paloh akan memimpin. Ya justru mendekati Pemilu itu, NasDem harus dipegang orang yang berpengaruh agar popularitas naik dengan cepat," kata Tedjo sebelumnya.
(van/asy)
3 keunggulan Kartu Sehat
Melinda Masri - Sindonews
Senin, 12 November 2012 − 17:58 WIB
Jokowi menunjukkan Kartu Sehat saat kampanye (dok:Okezone)
Kartu Sehat, sambung Jokowi, memiliki teknologi yang selangkah lebih maju dari kartu kesehatan yang ada saat ini. Sebab, dalam Kartu Sehat, terdapat sistem yang jelas, seperti billing system, sehingga manajemen keuangan lebih terkontrol.
"Ya beda jauh dong. Ini sistemnya jelas. Billing system, manajemen keuangannya menjadi lebih terkontrol," ujar Jokowi, di Jakarta, Senin (12/11/2012).
Ditemui dengan menggunakan kemeja putih, lengan panjang, dan celana hitam panjang, Jokowi mengatakan, Kartu Sehat juga bisa merekam jejak penyakit pasien dari hari ke hari, dan bulan ke bulan.
Selain itu, Kartu Sehat juga mudah mendapatkannya. Warga tidak perlu mengurus ke RT, RW atau kelurahan. Asal punya KTP, kartu sehat bisa didapatkan oleh siapapun. Dan digunakan di seluruh puskesmas serta 88 rumah sakit negeri dan swasta.
"Pertama, manajemen keuangan lebih terkontrol. Kedua, ada rapornya. Bulan Januari sakitnya panu, Februari sakitnya panas, Maret sakitnya kurap. Semua raporannya ada dalam kartu itu. Dan yang ketiga, urusnya gampang. Tidak perlu ke RT/RW, kelurahan, asal punya KTP DKI," imbuhnya.
(san)
Selasa, 06 November 2012
Sabtu, 03 November 2012
Rabu, 31 Oktober 2012
IPW Nilai Kapolda Lampung Gagal Jalankan Amanat
JAKARTA--MICOM: Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S
Pane mengkritik Kapolda Lampung Brigjen Jodie Rooseto. IPW menilai Jodie
gagal dalam menjalankan amanat jabatan, sehingga konflik di Kalianda,
Lampung Selatan, terus meluas.
Neta menilai, Jodie seharusnya bisa lebih profesional dalam penanganan Kamtibmas demi mencegah meluasnya konflik yang sudah menewaskan banyak korban jiwa. "Jodie sudah gagal menjalankan tugas pengamanan di Kalianda, Lampung Selatan," cetus Neta di Jakarta, Rabu (31/10).
Kepolisian Lampung tidak berhasil menghalau 10 ribu orang yang meringsek masuk Desa Balinurga, Kecamatan Waypanji, Senin, (28/10). Enam warga desa tersebut dilaporkan tewas dan 70 rumah dikabarkan dibakar massa. Namun, jumlah itu ternyata terus bertambah hingga 10 orang.
Situasi di Lampung Selatan hingga kini belum kondusif. Jodie yang seharusnya dipromosikan, hari ini, menjadi Kapolda Jawa Barat pun diminta oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menyelesaikan masalah terebut.
Kendati begitu, ada kejanggalan di balik pembatalan tersebut. Jodie tetap diputuskan untuk dimutasi yakni sebagai Kepala Sekolah Pembentukan Perwira (Kasetukpa) Lembaga Pendidikan Polisi.
Kerusuhan itu sendiri bermula akibat dipicu kesalahpahaman anatara penduduk Desa Balinurga dengan Desa Agom.
Awalnya kecelakaan lalu-lintas yang dialami dua remaja putri pemotor dengan pesepeda ontel. Warga lantas menolong. Namun entah darimana, berkembang isu pelecehan seksual terhadap gadis itu. (IF/OL-8)
Neta menilai, Jodie seharusnya bisa lebih profesional dalam penanganan Kamtibmas demi mencegah meluasnya konflik yang sudah menewaskan banyak korban jiwa. "Jodie sudah gagal menjalankan tugas pengamanan di Kalianda, Lampung Selatan," cetus Neta di Jakarta, Rabu (31/10).
Kepolisian Lampung tidak berhasil menghalau 10 ribu orang yang meringsek masuk Desa Balinurga, Kecamatan Waypanji, Senin, (28/10). Enam warga desa tersebut dilaporkan tewas dan 70 rumah dikabarkan dibakar massa. Namun, jumlah itu ternyata terus bertambah hingga 10 orang.
Situasi di Lampung Selatan hingga kini belum kondusif. Jodie yang seharusnya dipromosikan, hari ini, menjadi Kapolda Jawa Barat pun diminta oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menyelesaikan masalah terebut.
Kendati begitu, ada kejanggalan di balik pembatalan tersebut. Jodie tetap diputuskan untuk dimutasi yakni sebagai Kepala Sekolah Pembentukan Perwira (Kasetukpa) Lembaga Pendidikan Polisi.
Kerusuhan itu sendiri bermula akibat dipicu kesalahpahaman anatara penduduk Desa Balinurga dengan Desa Agom.
Awalnya kecelakaan lalu-lintas yang dialami dua remaja putri pemotor dengan pesepeda ontel. Warga lantas menolong. Namun entah darimana, berkembang isu pelecehan seksual terhadap gadis itu. (IF/OL-8)
Selasa, 30 Oktober 2012
Sabtu, 27 Oktober 2012
KNPI Sulut Dikecam karena Kacaukan Acara GP Nasdem
Sabtu, 27 Oktober 2012 | 16:54
http://www.beritasatu.com/nasional
Wakil Ketua Bidang Advokasi Garda Pemuda (GP) Nasional Demokrat (Nasdem), Fuad Tangkudung, mengatakan bahwa Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulawesi Utara (Sulut) tidak punya etika. Pasalnya menurutnya, KNPI Sulut telah mengacaukan acara Sarasehan Politik Kebangsaan yang digagas GP Nasdem.
"Seharusnya, sebagai organisasi pemuda terbesar di Indonesia, harusnya KNPI Sulut bisa lebih beretika. Apalagi ini acara kerukunan umat beragama," kata Fuad kepada wartawan, di Manado, Sabtu (27/10).
Fuad mengaku menyesalkan tindakan yang seperti "anak TK" oleh kader KNPI Sulut tersebut. "Ini kan acara GP Nasdem. Kok KNPI bikin ribut di rumah tangga orang lain? Bersikaplah dewasa, jangan seperti anak TK," tegasnya.
Menurutnya, masalah dualisme KNPI seharusnya bisa diselesaikan dengan berdiskusi di internal mereka masing-masing. Apalagi sementara itu, acara GP Nasdem dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional. Ditambahkan Fuad, pihaknya tak akan segan menempuh jalur hukum, jika KNPI Sulut sampai merusak acara GP Nasdem.
Seperti diketahui sebelumnya, sejumlah oknum KNPI Sulut mencoba untuk mengacaukan acara yang digelar GP Nasdem. Alasannya, Ketua Umum KNPI versi Kongres Lanjutan, Akbar Zulfakar, diundang oleh GP Nasdem. Sementara Ketua Umum KNPI, Taufan Rotorasiko, tidak diundang.
Penulis: SP/Carlos Paath/ Arsito
Jumat, 26 Oktober 2012
Kader Wanita Nasdem Ramai-ramai Mundur
BALI (GM)
- Kader Perempuan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Bali, ramai-ramai
mengundurkan diri. Pengunduran diri mereka mengikuti pengunduran diri
Ketua DPW Garnita Mahalayati Bali, Putu Suprapti Santy Sastra.
"Mulai hari ini, Rabu (10/10), saya resmi mengundurkan diri. Bersama saya juga mengundurkan diri 32 pengurus Garnita Bali dan DPD Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Jembrana," kata Santi Sastra saat memberi keterangan resmi didampingi sejumlah pengurus dan Ketua KPPI Bali, D.A.P. Sri Wigunawati.
Santi Sastra mengatakan, ia mengundurkan diri karena selama empat bulan terakhir tidak ada komunikasi yang baik dari partai bentukan Surya Paloh itu. "Saya tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan. Tapi begitu saya konfirmasi, katanya saya tidak bisa diajak berkoordinasi dan berkomunikasi," katanya.
Tak dibalas
Santi pun mengaku sudah mengirimkan surat kepada Nasdem untuk mempertanyakan hal itu. "Tetapi sampai sekarang surat saya tidak berbalas. Jadi memang ada upaya sistematis untuk menyingkirkan saya," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua DPW Partai Nasdem Bali, Ida Bagus Oka Gunastawa mengatakan, soal masuk keluarnya seorang kader merupakan hal yang biasa. Ia mengaku tidak akan menyikapi berlebihan keluarnya Santi Sastra dan rekan-rekannya itu.
"Mulai hari ini, Rabu (10/10), saya resmi mengundurkan diri. Bersama saya juga mengundurkan diri 32 pengurus Garnita Bali dan DPD Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Jembrana," kata Santi Sastra saat memberi keterangan resmi didampingi sejumlah pengurus dan Ketua KPPI Bali, D.A.P. Sri Wigunawati.
Santi Sastra mengatakan, ia mengundurkan diri karena selama empat bulan terakhir tidak ada komunikasi yang baik dari partai bentukan Surya Paloh itu. "Saya tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan. Tapi begitu saya konfirmasi, katanya saya tidak bisa diajak berkoordinasi dan berkomunikasi," katanya.
Tak dibalas
Santi pun mengaku sudah mengirimkan surat kepada Nasdem untuk mempertanyakan hal itu. "Tetapi sampai sekarang surat saya tidak berbalas. Jadi memang ada upaya sistematis untuk menyingkirkan saya," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua DPW Partai Nasdem Bali, Ida Bagus Oka Gunastawa mengatakan, soal masuk keluarnya seorang kader merupakan hal yang biasa. Ia mengaku tidak akan menyikapi berlebihan keluarnya Santi Sastra dan rekan-rekannya itu.
(net)**
JK dan Jokowi Dampingi Presiden SBY di Istiqlal
Foto Nasional
Jum at, 26/10/2012 | 11:14
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kedua kiri), Mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla (kiri), dan wakil mentri agama Nasaruddin Umar
(kanan), melaksanakan sholat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta,
Jumat (26/10). TEMPO/Tony Hartawan
Sabtu, 20 Oktober 2012
Mahasiswa ITB Nilai Kepemimpinan SBY Gagal
BANDUNG, KOMPAS.com - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa (KM) Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar aksi unjuk rasa di depan kampusnya, Jalan Ganesha, Bandung, Sabtu, (20/10/2012). Mereka menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah gagal memimpin Indonesia selama 8 tahun terakhir ini.
"SBY dinilai telah gagal merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum," tegas Anjar Dimara Sakti, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB kepada wartawan usai melakukan aksi di Jalan Ganesha, Bandung, Sabtu, (20/10/2012).
Dalam aksinya, massa membawa spanduk bertuliskan "Selesaikan Evaluasi SBY 8 Tahun #SBYSudahlah". Mereka juga membawa karangan bunga sebagai simbol duka atas bobroknya negeri sekarang ini.
Anjar menyebut, tingkat kemiskinan di Indonesia melambung tinggi. Sebanyak 13 persen atau 31 juta jiwa, standar kemiskinan itu tidak sesuai dengan standar internasional. Mereka yang disebut miskin adalah pendapatannya yang kurang dari Rp 8.015 per hari. Padahal standar miskin dunia adalah di bawah Rp 18.000 per hari.
"Apabila standar ini diimplementasikan, maka angka kemiskinan di Indonesia menjadi 46 persen atau sekitar 110 juta jiwa," jelasnya.
Lanjutnya, begitu pula dengan jumlah pengangguran. Menurutnya, rakyat yang disebut pengangguran adalah mereka yang bekerja kurang dari 1 jam per pekan. Dengan demikian tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 8 persen. Namun, jika menggunakan standar internasional, mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per pekan, sehingga disimpulkan pengangguran di Indonesia mencapai 25 persen.
Selain itu, tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 alokasi 20 persen APBN merupakan jaminan untuk kualitas pendidikan. Namun faktanya, alokasi 20 persen masih termasuk ke dalam gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan di 16 kementerian di luar kemendikbud. "Hal ini tidak efektif, tidak efisien dan bisa dikatakan karut marut, SBY telah gagal memimpin negeri ini," tegasnya.
Editor :
Farid Assifa
Tiga Terduga Teroris Poso Dilepaskan
TEMPO.CO, Poso
- Polisi akhirnya melepaskan tiga orang terduga teroris, yakni H, 47
tahun, N (50), serta M (42), yang sebelumnya tertangkap di Desa
Watumaeta, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, pada Jumat sore, 19
Oktober 2012. Menurut Kepala Kepolisian Resor Poso Ajun Komisaris Eko
Santoso, tidak ada cukup bukti yang mengarahkan mereka kepada tindakan
terorisme dan keterlibatan dalam aksi pembunuhan Brigadir Sudirman dan
Brigadir Satu Andi Sapa.
"Masih terlalu jauh untuk kasus
pembunuhan itu. Tetapi barang bukti masih kita pegang untuk
dikembangkan," ujar Eko, Sabtu, 20 Oktober 2012.Pengamat terorisme di Poso, Muhaimin, menilai kinerja kepolisian dalam memburu pelaku pembunuhan dan serangkaian aksi terorisme di Poso terkesan lamban dan tidak profesional. Pasalnya, menurut dia, sampai saat ini belum ada seorang pun pelaku yang berhasil dijerat, serta belum ada kepastian motif di balik pembunuhan tragis itu. "Ujung-ujungnya selalu salah tangkap dan mendiskreditkan kelompok tertentu dalam setiap kasus," kata Muhaimin.
Selain itu, dia menilai, kecil kemungkinan kasus pembunuhan terhadap dua anggota kepolisian itu dilakukan oleh kelompok tertentu yang selama ini menjadi incaran kepolisian di Poso. "Konsep Jemaah Anshorut Tauhid tidak seperti itu, ada adab-adabnya. Kita juga bisa lihat kinerja polisi, sangat lamban. Kalau biasanya kelompok yang melakukan, paling lambat dua hari sudah tertangkap," ujar Muhaimin, yang pernah terlibat dalam kelompok militan di Poso. "Ini adalah proyek. Banyak asumsi di balik pembunuhan ini."
Lain halnya dengan dua pemuda yang kini ditahan di kantor Kepolisian Sektor Poso Kota. Mereka masih menjalani serangkaian pemeriksaan. Dua pemuda berinisial S, 24 tahun, dan A, 23 tahun, ini tertangkap karena tidak membawa kartu identitas dan diduga pendatang dari luar Poso. Keduanya ditangkap dalam razia kendaraan di Poso, Jumat, 19 Oktober 2012. "Sekarang Densus 88 Antiteror yang menangani setelah kami proses. Sudah bukan kewenangan kami," kata Kepala Polsek Poso Kota D. Beddu.
Sementara itu, Wakil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Oerip Subagyo menegaskan, perburuan teroris di Poso akan terus digalakkan, terutama di kawasan pegunungan Dusun Tamanjeka dan Weralulu, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir. Meski demikian, dia mengaku, sampai saat ini proses perburuan masih nihil.
IRFAN ABDUL GANI
Kamis, 18 Oktober 2012
Ini Alasan Mahasiswa Universitas Pamulang Menolak Wakapolri
Jakarta Mahasiswa Universitas Pamulang bentrok dengan polisi karena menolak kedatangan Wakapolri Komjen Nanan Sukarna ke kampus mereka. Apa alasan para mahasiswa itu?
"Aksi kami ini merupakan akumulasi kekecewaaan dari mahasiswa terhadap tindakan-tindakan polisi yang tidak pro rakyat. Contohnya seperti di Mesuji, Cilegon, Tangerang, terakhir mengenai KPK dan Polri. Ini adalah bentuk akumulasi kekecewaan kami," ujar Boma, mahasiswa jurusan hukum di depan Universitas Pamulang, Tangsel, Kamis (18/10/2012).
Boma menepis anggapan jika penolakan terhadap Wakapolri karena ketidakhadiran Prabowo Subianto. Menurut Boma, mahasiswa sudah tahu jika Prabowo tidak jadi datang.
"Itu nggak benar. Kita sudah tahu Prabowo tidak datang, ini tidak ada sangkut pautnya dengan dukung mendukung Prabowo," kata Boma.
Boma menjelaskan, bentrok dengan polisi terjadi karena pihaknya dorong-dorongan dengan pengawal Wakapolri. Saat itu teman Boma, Jundi dari Fakultas Teknik, dipukul polisi.
"Teman kami ada satu orang yang dipukuli habis-habisan sama polisi. Dia sekarang kondisinya sekarat dan berada di RSUD Pamulang. Makanya kami akhirnya menolak polisi masuk ke dalam dan terjadi chaos," katanya.
Pantauan detikcom, kondisi terakhir masih terjadi negosiasi antara masyarakat dengan mahasiswa Universitas Pamulang. Polisi pun sudah mundur ke Polsek Pamulang. Jalanan yang tadinya ditutup sekarang sudah dibuka kembali. Wakapolri Nanan juga sudah pulang.
(nik/nwk)
Minggu, 14 Oktober 2012
Kader Perempuan NasDem Bali Ramai-ramai Mundur
Ada puluhan pengurus Garnita Malahayati Nasdem mundur.
Rabu, 10 Oktober 2012
VIVAnews -
Kader Perempuan Partai Nasional Demokrat (NasDem) Bali ramai-ramai
mengundurkan diri. Pengunduran diri mereka mengikuti pengunduran diri
Ketua DPW Garnita Mahalayati Bali, Putu Suprapti Santy Sastra.
"Mulai hari ini, Rabu 10 Oktober 2012, saya resmi mengundurkan diri. Bersama saya juga mengundurkan diri 32 pengurus Garnita Bali dan DPD Kota Denpasar, Badung, Gianyar dan Jembrana," kata Santi Sastra saat memberi keterangan resmi didampingi sejumlah pengurus dan Ketua KPPI Bali, DAP Sri Wigunawati, Rabu 10 Oktober 2012.
Santi Sastra menjelaskan mengapa ia mengundurkan diri. Selama empat bulan terakhir, kata dia, tidak ada komunikasi yang baik dari partai bentukan Surya Paloh itu.
"Saya tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan. Tapi begitu saya konfirmasi katanya saya tidak bisa diajak berkoordinasi dan berkomunikasi," kata dia.
Santi pun mengaku sudah mengirimkan surat kepada NasDem untuk mempertanyakan hal itu. "Tetapi sampai sekarang surat saya tidak berbalas," katanya. "Jadi memang ada upaya sistematis untuk menyingkirkan saya," imbuh Santi Sastra.
Santi mengaku terlibat sejak awal pendirian Partai NasDem. "Mulai dari ormas, Garnita hingga partai, saya terlibat aktif. Saya juga telah mengumpulkan 2 ribu kartu tanda anggota dari masyarakat. Sekarang, dengan sudah tidaknya lagi saya di NasDem, saya silakan masyarakat memilih," kata dia.
Santi Sastra mengaku tak akan kembali ke NasDem jika pun partai itu meminta ia bertahan.
Sementara itu, Ketua DPW Partai NasDem Bali, Ida Bagus Oka Gunastawa mengatakan, soal masuk ke luar itu biasa. Ia mengaku tak akan menyikapi berlebihan atas ke luarnya Santi Sastra dan rekan-rekannya itu.
"Kita tidak perlu sikapi khusus karena bukan kami yang memecat. Tidak ada pengaruh juga untuk kami (NasDem). Dia kan ke luarnya baik-baik dan tidak melakukan sesuatu apapun. Apalagi sekarang ini banyak yang bergabung ke kami," kata mantan politisi Partai Golkar Bali itu. (umi)
"Mulai hari ini, Rabu 10 Oktober 2012, saya resmi mengundurkan diri. Bersama saya juga mengundurkan diri 32 pengurus Garnita Bali dan DPD Kota Denpasar, Badung, Gianyar dan Jembrana," kata Santi Sastra saat memberi keterangan resmi didampingi sejumlah pengurus dan Ketua KPPI Bali, DAP Sri Wigunawati, Rabu 10 Oktober 2012.
Santi Sastra menjelaskan mengapa ia mengundurkan diri. Selama empat bulan terakhir, kata dia, tidak ada komunikasi yang baik dari partai bentukan Surya Paloh itu.
"Saya tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan. Tapi begitu saya konfirmasi katanya saya tidak bisa diajak berkoordinasi dan berkomunikasi," kata dia.
Santi pun mengaku sudah mengirimkan surat kepada NasDem untuk mempertanyakan hal itu. "Tetapi sampai sekarang surat saya tidak berbalas," katanya. "Jadi memang ada upaya sistematis untuk menyingkirkan saya," imbuh Santi Sastra.
Santi mengaku terlibat sejak awal pendirian Partai NasDem. "Mulai dari ormas, Garnita hingga partai, saya terlibat aktif. Saya juga telah mengumpulkan 2 ribu kartu tanda anggota dari masyarakat. Sekarang, dengan sudah tidaknya lagi saya di NasDem, saya silakan masyarakat memilih," kata dia.
Santi Sastra mengaku tak akan kembali ke NasDem jika pun partai itu meminta ia bertahan.
Sementara itu, Ketua DPW Partai NasDem Bali, Ida Bagus Oka Gunastawa mengatakan, soal masuk ke luar itu biasa. Ia mengaku tak akan menyikapi berlebihan atas ke luarnya Santi Sastra dan rekan-rekannya itu.
"Kita tidak perlu sikapi khusus karena bukan kami yang memecat. Tidak ada pengaruh juga untuk kami (NasDem). Dia kan ke luarnya baik-baik dan tidak melakukan sesuatu apapun. Apalagi sekarang ini banyak yang bergabung ke kami," kata mantan politisi Partai Golkar Bali itu. (umi)
Selain Melantik Jokowi-Basuki, Gamawan Juga Beri Sambutan
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dijadwalkan akan melantik Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Mendagri dijadwalkan juga akan memberikan sambutan sebagai perwakilan dari pemerintah Indonesia. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengonfirmasi perihal kehadiran Gamawan Fauzi untuk melantik Jokowi-Basuki.
"Di depan peserta sidang paripurna istimewa DPRD DKI, Mendagri akan melantik Pak Jokowi dan Pak Basuki," kata pria yang akrab disapa Donny itu saat dihubungi Kompas.com, di Jakarta, Minggu (14/10/2012) malam.
Pelantikan Jokowi-Basuki akan dilaksanakan pada Senin (15/10/2012) sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah melantik, dikatakan oleh Donny, Gamawan Fauzi akan memberikan kata sambutannya atas nama Presiden Republik Indonesia.
"Kalau isi pidatonya tentang apa, lihat saja nanti saat pelantikan," kata pria yang juga Kepala Pusat Penerangan Kemendagri itu.
Menurut jadwal, dalam prosesi pelantikan itu, akan dibacakan Keputusan Presiden oleh Sekretaris DPRD DKI. Selanjutnya, akan ada pengambilan sumpah atau janji jabatan dan pelantikan gubernur dan wakil gubernur oleh Mendagri.
Setelah itu, penandatanganan berita acara pengucapan sumpah janji jabatan oleh gubernur dan wakil gubernur. "Setelah itu, nanti akan disematkan tanda pangkat jabatan serta penyerahan Keputusan Presiden kepada Pak Jokowi-Basuki oleh Pak Menteri," ujar Donny.
Semua prosedur ini, dikatakan oleh Donny, sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya, efektif atau tidaknya seseorang menjabat terhitung sejak ia memegang Keputusan Presiden dan mengucapkan sumpah dan janji jabatan.
"Setelah itu, mereka (Jokowi-Basuki) sudah sah memegang amanah sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017," ujar Donny.
Seperti yang diberitakan, Badan Musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI akhirnya menetapkan pelantikan Jokowi-Basuki dilaksanakan pada Senin (15/10/2012).
Untuk pelantikan ini, sebanyak dua ribu undangan telah disebarkan kepada tamu undangan, di antaranya kepada mantan Gubernur Fauzi Bowo dan pengurus partai di tingkat provinsi.
Namun, hanya sekitar 827 undangan yang dapat masuk ke ruang sidang paripurna, tempat pelantikan berlangsung. Untuk mengakomodasi para undangan yang berada di luar ruang paripurna, DPRD menyediakan tiga unit plasma televisi yang diletakkan di lobi dan lantai 3 gedung DPRD DKI Jakarta.
Sementara itu, untuk keamanan pelantikan Jokowi-Basuki, telah dipersiapkan sebanyak 2.004 personel. Petugas yang dikerahkan 1.134 personel dari Polda Metro Jaya, 300 personel dari Polres Jakarta Pusat, dan 570 personel dari Satpol PP DKI.
Editor :
Benny N Joewono
Jumat, 12 Oktober 2012
Tanda Bintang Dicabut, DPR Gelontorkan Dana Awal Rp 61, 9 Miliar
Suci Astuti
I Gede Pasek Suardika
JAKARTA, Jaringnews.com - Setelah tertunda selama beberapa tahun, Komisi III DPR melalui rapat internal semalam akhirnya memutuskan pencabutan tanda bintang untuk permohonan pengadaan Gedung Kantor Baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam keterangan pers di ruang komisi III DPR hari ini, Ketua Komisi III DPR, I Gede Pasek Suardika mengatakan komisi III DPR mengkapus tanda bintang untuk permohonan anggaran gedung baru KPK berdasarkan kesepakatan dengan Badan Anggaran ( Banggar) dan Menteri Keuangan selaku pemerintah setelah melakukan pertemuan dengan KPK, Kepolisian, Kejaksaan, MA dan MPR.
"Hasil kesepakatan Banggar, Menkeu, pemerintah bahwa harus ada realokasi anggaran khususnya belanja perjalanan dinas ke belanja modal. Kemudian atas dasar itu kita mengadakan rapat kembali dengan mitar-mitra, dengan memastikan realokasi tersebut. Komisi III DPR menyetujui pencabutan tanda bintang atau membuka blokir terhadap permohonan pembangunan gedung baru KPK, sesuai dengan surat Komisi III DPR RI No. 5/ Kom III/ MP 2/11/2011 Tertanggal 17 nov 2011. Itu memang DPR kemudian ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR bidang Keuangan, Priyo Budi Santoso dari Fraksi Partai Golkar. Tanggal 13 Desember 2011. Lalu Menkeu menyampaikan pada DPR, soal blokir tersebut 24 Januari 2012 " Kata Pasek di gedung DPR/MPR senayan Jakarta, Jumat (12/10).
Dia mengungkapkan, kemarin Komisi III DPR mengadakan rapat bersama KPK,Polri, dan Kejaksaan, kemudian dilanjutkan MA dan MPR.
KPK, lanjut Pasek, telah menyampaikan rincian terkait pembahasan pembangunan gedung. Komisi III menurut Pasek, melihat perincian ini cukup bagus.
"Termasuk yang bagaimana dulu diblokir yang ketika angka 90 miliar dan yang kemudian memang secara prosedural itu belum memenuhi syarat. Kemudian ada usulan baru dan sebagai berikut berjalan terus, juga upaya seperti yang disarankan komisi III untuk mencari gedung-gedung sudah disampaikan dengan baik oleh KPK. Hasilnya seperti apa, bukti tertulisnya bagaimana semua disampaikan dan akhirnya disimpulkan bahwa ternyata semua jalan itu ( dibintangi) sudah tidak memungkinkan lagi maka kemudian berdasarkan data-data itu kita akhirnya rapat intern, setelah pembahasan semuanya" lanjutnya.
Pasek menyebut angka Rp 61, 92 miliar sebagai kucuran anggaran pertama untuk alokasi anggaran pembangunan gedung baru KPK.
Hal ini sesuai usulan yang diproses DPR sejak 17 November 2011.
Dia mengakui, bersamaan dengan pencabutan tanda bintang untuk permohonan gedung batu KPK tersebut, beberapa permohonan dana KPK juga tidak disetujui komisi III DPR, yaitu anggaran pembentukan komunitas anti korupsi dan anggaran publikasi kemudian yang dialokasikan untuk kegiatan monitoring dan pencegahan KPK.
" Dari rapat tersebut ada beberapa keputusan penting yang tidak hanya terkait dengan KPK tapi juga berkaitan dengan lembaga yang lain. Nilainya adalah Rp 61, 9 miliar itu nilai untuk tahap pertama yang dulu diblokir, kemudian itu sudah disepakati, ada beberapa mitra kami yang kemudian juga tidak kami setujui, jadi itu tanda bintangnya dicabut tapi ada beberapa usulan anggaran 2013 yang tidak disetujui oleh komisi III, "tukasnya.
Ketua Komisi III DPR, Pasek mengatakan selain terhadap KPK, Komisi III DPR juga menolak permohonan anggaran Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kegiatan program penyebarluasan informasi MK seperti suara konstitusi, bicara konstitusi dan berita MK. "Anggaran MK terkait program penyebarluasan informasi mahkamah konstitusi seperti suara konstitusi, bicara konstitusi dan berita MK itu anggarannya tidak disetujui" kata Pasek.
(Sat / Ral)
Banyak Puji Pidato Presiden, Megawati?
SURABAYA, KOMPAS.com — Berbagai pihak mengapresiasi bahkan memuji pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan penyelesaian konflik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, tidak bagi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Megawati menilai konflik yang sangat memprihatinkan antara KPK dan Polri merupakan gambaran konkret adanya krisis dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
"Konflik yang ada semakin menggambarkan tidak berfungsinya secara maksimal kepemimpinan nasional dan rendahnya kapasitas untuk memimpin," kata Megawati ketika berpidato dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (12/10/2012).
Rakernas itu dihadiri seribuan pengurus PDI-P di Dewan Pimpinan Pusat hingga daerah di seluruh Indonesia. Hadir pula para kepala daerah dan unsur pimpinan DPRD yang berasal dari PDI-P serta politisi senior PDI-P.
Megawati mengatakan, saat ini ada kecenderungan saling melemahkan antarlembaga negara oleh pihak-pihak tertentu. Kondisi itu, menurut dia, semakin diperburuk oleh gaya kepemimpinan nasional yang cenderung abai atas berbagai kekisruhan antarlembaga itu demi menjaga citra diri.
"Inilah dua tantangan besar bangsa yang perlu mendapatkan pembenahan sangat segera secara nyata melalui rekonsolidasi kelembagaan negara dan pentingnya ketegasan terus-menerus dari seorang pemimpin," pungkas mantan presiden itu.
Seperti diberitakan, publik sempat mengkritik sikap Presiden terkait konflik KPK-Polri yang dipicu pengungkapan kasus dugaan korupsi proyek simulator di Korps Lalu Lintas Polri. Konflik itu berkepanjangan hingga meruncing ketika langkah kepolisian yang hendak menangkap penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan.
Presiden lalu mengambil sikap dalam penyelesaian. Presiden memerintahkan Polri menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus simulator kepada KPK. Selain itu, Presiden juga menilai penanganan kasus Novel tak tepat dari segi waktu.
Baca topik pilihan "Polisi Vs KPK"
Editor :
Hindra
Anggaran KPK-Polri Beda Berkali-kali Lipat
JAKARTA, KOMPAS.com — Polri menanggapi positif rekomendasi Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meningkatkan anggaran Kepolisian RI dan Kejaksaan sehingga bisa setara dengan anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi. Polri pun mengakui bahwa penghasilan atau gaji penyidik dan biaya operasional penyidikan berbanding jauh dengan KPK.
"Ya, tentu kita bersyukur, ya. Memang kalau kita lihat selama ini, antara penghasilan dan biaya operasional yang diberikan di KPK dengan penyidik kita cukup jauh. Dari gaji itu perbedaannya sekitar 400 persen. Katakanlah di tingkat kompol itu sekitar Rp 4 juta, kalau di KPK informasinya bisa sampai Rp 20-an sampai Rp 25 juta," ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (12/10/2012).
Boy juga mengungkapkan, biaya penyidikan di KPK dan Polri berbeda berkali-kali lipat. "Biaya penyidikan di KPK, satu perkara bisa sampai Rp 300 juta lebih. Di Kepolisian, satu perkara sekitar Rp 37 juta. Jadi, kita selama ini mengalami perbedaan dari sisi penghasilan, maupun biaya operasional," lanjut Boy.
Namun, menurut Boy, penghasilan dan biaya operasional yang kurang besar tak jadi masalah bagi Polri. Khususnya, dalam tujuan pemberantasan korupsi, Polri mengaku akan tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
"Jika ada upaya-upaya yang dilakukan untuk memberikan semacam penyamaan dari sisi penghasilan dan dukungan biaya operasional, ini akan menjadi suatu hal yang sangat positif bagi institusi Polri. Khususnya dalam penanganan kasus-kasus korupsi," terang Boy.
Seperti diberitakan, selain menyetujui alokasi anggaran untuk gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi III DPR RI juga merekomendasikan peningkatan anggaran Kepolisian RI dan Kejaksaan sehingga bisa setara dengan anggaran KPK. Anggaran tersebut untuk biaya operasional terhadap penyidikan, penyelidikan di Polri, serta biaya operasional penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di kejaksaan yang akan disetarakan dengan biaya di KPK.
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary
Senin, 08 Oktober 2012
Presiden: Kasus Simulator Ditangani KPK, Penanganan Novel Tidak Tepat
Metrotvnews.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kasus Simulator SIM di Korlantas Polri dengan tersangka Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo ditangani KPK. "Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung," kata Presiden dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (8/10) mulai pukul 08.00 WIB.
Presiden juga menilai penanganan kasus Komisaris Polisi Novel Baswedan yang dilakukan saat ini tidak tepat, waktu dan caranya. Sedangkan soal penugasan penyidik Polri nantinya akan diatur melalui peraturan pemerintah.
Presiden juga merespon soal rencana revisi Undang-undang KPK yang dilakukan DPR. "Saat ini kurang tepat, lebih baik tingkatkan sinergi dan efektivitas pemberantasan korupsi," ujarnya.(BEY)
Sabtu, 06 Oktober 2012
Ada Pesan Berantai Ajak Bubarkan KPK
Tribunnews.com - Minggu, 7 Oktober 2012 07:19 WIB
Tribun Jakarta/Bian Harnansa (bian)
Sejumlah
Aktivis melakukan aksi penyelamatan KPK di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu
(6/10/2012) Kehadiran para Aktivis merupakan reakasi dari datangnya
sejumlah anggota Propam Polda Bengkulu Ke KPK untuk menjemput penyidik
KPK Novel Baswedan. (Tribun Jakarta/Bian Harnansa)
Laporan Reporter Tribun Jogja, Iwan Al Khasni
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian tampaknya tak hanya terjadi melalui adu argumen di media massa saja. Kini, pesan berantai berisi ajakan untuk membubarkan KPK beredar di masyarakat.
Seperti yang diterima Tribun Jogja, Sabtu (6/10/2012) sekitar pukul 23.40 WIB. Satu pesan diterima melalui BlackBerry Messenger. Beginilah, bunyi pesan ajakan untuk membubarkan KPK:
Tugas pokok KPK bukan hanya melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi namun ada pula tugas supervisi serta pencegahan. Namun demikian hari ini KPK hanya fokus pada upaya penindakan dan mengesampingkan tugas supervisi dan pencegahan....
KPK harus dipahami bahwa sifatnya adalah lembaga AD Hoc (tidak permanen, kapanpun jika dianggap perlu dapat dibubarkan) namun demikian, KPK diberikan kewenangan begitu besar dan didukung dengan dana melimpah, akibatnya kemudian KPK menjadi lembaga superbody apatah lagi KPK menjadi satu2nya lembaga yg tidak terawasi....
Kini ketika salah seorang penyidik KPK (Kompol Novel Baswedan, S.IK) akan ditangkap oleh Polda Bengkulu karena melakukan tindak pidana, masyarakat kemudian digiring untuk berpikir bahwa KPK dikriminalisasi. Hal tersebut dilakukan secara sistematis oleh LSM dan mereka yang mengaku penggiat anti korupsi sehingga stigma di masyarakat yang muncul adalah Polri berlaku sewenang-wenang dan KPK menjadi lembaga yang teraniaya....
Yang terjadi sebenarnya adalah Kompol Novel melakukan penganiayaan delapan tahun silam, tetapi baru kemudian tgl 4 Oktober 2012 korban penganiayaan dimaksud melakukan operasi pengeluaran peluru dari tubuhnya dan dilanjutkan keluarga korban datang mengadukan perbuatan Kompol Novel tersebut ke Polda Bengkulu yang disusul oleh upaya Polda Bengkulu mendatangi Kompol Novel guna dijemput paksa ut menjalani proses hukum....
Mestinya masyarakat mendukung apa yang dilakukan oleh Polri, bahwa semua masyarakat dinegri ini diperlakukan sama didepan hukum, termasuk Kompol Novel.....
Saya secara pribadi amat menyayangkan upaya masif yang dilakukan oleh KPK berikut LSM dan tokoh2 atau penggiat anti korupsi yang membelokkan substansi hukum menjadi isu kriminalisasi KPK....
Saya pikir sudah saatnya KPK dibubarkan serta memperkuat Polri dan Kejaksaan sebagai sebuah lembaga penegak hukum yg kehadirannya diatur oleh Undang-Undang.
SEBARKAN jika Anda berpikir sama !!!. (*)
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian tampaknya tak hanya terjadi melalui adu argumen di media massa saja. Kini, pesan berantai berisi ajakan untuk membubarkan KPK beredar di masyarakat.
Seperti yang diterima Tribun Jogja, Sabtu (6/10/2012) sekitar pukul 23.40 WIB. Satu pesan diterima melalui BlackBerry Messenger. Beginilah, bunyi pesan ajakan untuk membubarkan KPK:
Tugas pokok KPK bukan hanya melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi namun ada pula tugas supervisi serta pencegahan. Namun demikian hari ini KPK hanya fokus pada upaya penindakan dan mengesampingkan tugas supervisi dan pencegahan....
KPK harus dipahami bahwa sifatnya adalah lembaga AD Hoc (tidak permanen, kapanpun jika dianggap perlu dapat dibubarkan) namun demikian, KPK diberikan kewenangan begitu besar dan didukung dengan dana melimpah, akibatnya kemudian KPK menjadi lembaga superbody apatah lagi KPK menjadi satu2nya lembaga yg tidak terawasi....
Kini ketika salah seorang penyidik KPK (Kompol Novel Baswedan, S.IK) akan ditangkap oleh Polda Bengkulu karena melakukan tindak pidana, masyarakat kemudian digiring untuk berpikir bahwa KPK dikriminalisasi. Hal tersebut dilakukan secara sistematis oleh LSM dan mereka yang mengaku penggiat anti korupsi sehingga stigma di masyarakat yang muncul adalah Polri berlaku sewenang-wenang dan KPK menjadi lembaga yang teraniaya....
Yang terjadi sebenarnya adalah Kompol Novel melakukan penganiayaan delapan tahun silam, tetapi baru kemudian tgl 4 Oktober 2012 korban penganiayaan dimaksud melakukan operasi pengeluaran peluru dari tubuhnya dan dilanjutkan keluarga korban datang mengadukan perbuatan Kompol Novel tersebut ke Polda Bengkulu yang disusul oleh upaya Polda Bengkulu mendatangi Kompol Novel guna dijemput paksa ut menjalani proses hukum....
Mestinya masyarakat mendukung apa yang dilakukan oleh Polri, bahwa semua masyarakat dinegri ini diperlakukan sama didepan hukum, termasuk Kompol Novel.....
Saya secara pribadi amat menyayangkan upaya masif yang dilakukan oleh KPK berikut LSM dan tokoh2 atau penggiat anti korupsi yang membelokkan substansi hukum menjadi isu kriminalisasi KPK....
Saya pikir sudah saatnya KPK dibubarkan serta memperkuat Polri dan Kejaksaan sebagai sebuah lembaga penegak hukum yg kehadirannya diatur oleh Undang-Undang.
SEBARKAN jika Anda berpikir sama !!!. (*)
Mundur dari Polisi, Novel Pilih Jadi Pegawai KPK
NASIONAL - HUKUM
Minggu, 07 Oktober 2012 , 06:23:00
JPNN.COM
KOMPOL Novel
Baswedan bukan termasuk lima penyidik dari kepolisian yang diancam
bakal ditahan karena sudah habis masa tugasnya di KPK namun tidak
melapor ke Mabes Polri. Novel adalah salah satu di antara 28 penyidik
dari kepolisian yang memilih menjadi pegawai tetap di KPK. Surat
pengunduran dirinya sebagai perwira polisi tengah diurus.
"Kalau sudah jadi pegawai tetap KPK, institusi lain harus menghormati," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di kantornya, Sabtu (6/10).
Menurut Bambang, setiap orang berhak dan dilindungi konstitusi untuk menentukan di mana akan bekerja. Undang-Undang juga memungkinkan adanya pengalihan status. "Kalau kemudian KPK karena kemendesakan, mengambil langkah-langkah strategis untuk call emergency dan meminta penyidik-penyidik yang dipekerjakan di KPK untuk alih status, itu juga diperkenankan," kata Bambang.
Novel menjadi penyidik KPK sejak tujuh tahun silam. Ia adalah lulusan Akpol 1998. Novel bertugas di Bengkulu antara 1999-2005. Saat kasus penembakan aparat terhadap enam pencuri walet di Bengkulu pada 2004, dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Bengkulu. Pada 2005 ia bergabung ke KPK.
Total ada 28 penyidik dari kepolisian yang ditetapkan menjadi pegawai KPK. Dari jumlah itu, lima di antaranya adalah yang sudah habis masa tugasnya dan diancam akan ditahan oleh provos Mabes Polri. Sedangka 23 lainnya, termasuk Novel, baru akan selesai masa tugasnya pada Desember mendatang. Namun, mereka memutuskan untuk bergabung menjadi penyidik KPK dan mundur dari korps Bhayangkara tersebut.
Dalam pasal 7 ayat 1 PP 63 tentang Manajemen Sistem Sumber Daya Manusia KPK disebutkan bahwa pegawai negeri yang dipekerjakan dapat beralih status menjadi pegawai tetap sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi. Pada ayat 2 beleid itu disuratkan bahwa pegawai negeri yang diangkat menjadi pegawai tetap pada Komisi, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri.
Dalam UU No 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan, yang dimaksud pegawai negeri antara lain adalah pegawai negeri sipil, anggota TNI, serta anggota Polri. Sehingga, pegawai negeri yang dimaksud dalam PP No 63/2005 juga mengatur tentang anggota kepolisian.
Novel adalah Ketua Satgas penyidikan kasus korupsi simulator SIM Korlantas Mabes Polri dengan salah satu tersangka Irjen Pol Djoko Susilo. Sepupu Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan itu adalah penyidik andalan KPK. Ia telah menangani sejumlah kasus besar.
Novel menyidik kasus korupsi wisma atlet yang menjerat bekas bendahara umum Partai Demokrat M. Nazaruddin. Ia juga menjerat Wa Ode Nurhayati di kasus mafia anggaran DPR, serta suap cek pelawat yang menyeret bekas Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Novel juga beraksi saat menghadapi serangan pengawal Bupati Buol Amran Batalipu yang digerebek saat menerima suap. (sof/nw)
"Kalau sudah jadi pegawai tetap KPK, institusi lain harus menghormati," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di kantornya, Sabtu (6/10).
Menurut Bambang, setiap orang berhak dan dilindungi konstitusi untuk menentukan di mana akan bekerja. Undang-Undang juga memungkinkan adanya pengalihan status. "Kalau kemudian KPK karena kemendesakan, mengambil langkah-langkah strategis untuk call emergency dan meminta penyidik-penyidik yang dipekerjakan di KPK untuk alih status, itu juga diperkenankan," kata Bambang.
Novel menjadi penyidik KPK sejak tujuh tahun silam. Ia adalah lulusan Akpol 1998. Novel bertugas di Bengkulu antara 1999-2005. Saat kasus penembakan aparat terhadap enam pencuri walet di Bengkulu pada 2004, dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Bengkulu. Pada 2005 ia bergabung ke KPK.
Total ada 28 penyidik dari kepolisian yang ditetapkan menjadi pegawai KPK. Dari jumlah itu, lima di antaranya adalah yang sudah habis masa tugasnya dan diancam akan ditahan oleh provos Mabes Polri. Sedangka 23 lainnya, termasuk Novel, baru akan selesai masa tugasnya pada Desember mendatang. Namun, mereka memutuskan untuk bergabung menjadi penyidik KPK dan mundur dari korps Bhayangkara tersebut.
Dalam pasal 7 ayat 1 PP 63 tentang Manajemen Sistem Sumber Daya Manusia KPK disebutkan bahwa pegawai negeri yang dipekerjakan dapat beralih status menjadi pegawai tetap sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi. Pada ayat 2 beleid itu disuratkan bahwa pegawai negeri yang diangkat menjadi pegawai tetap pada Komisi, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri.
Dalam UU No 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan, yang dimaksud pegawai negeri antara lain adalah pegawai negeri sipil, anggota TNI, serta anggota Polri. Sehingga, pegawai negeri yang dimaksud dalam PP No 63/2005 juga mengatur tentang anggota kepolisian.
Novel adalah Ketua Satgas penyidikan kasus korupsi simulator SIM Korlantas Mabes Polri dengan salah satu tersangka Irjen Pol Djoko Susilo. Sepupu Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan itu adalah penyidik andalan KPK. Ia telah menangani sejumlah kasus besar.
Novel menyidik kasus korupsi wisma atlet yang menjerat bekas bendahara umum Partai Demokrat M. Nazaruddin. Ia juga menjerat Wa Ode Nurhayati di kasus mafia anggaran DPR, serta suap cek pelawat yang menyeret bekas Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Novel juga beraksi saat menghadapi serangan pengawal Bupati Buol Amran Batalipu yang digerebek saat menerima suap. (sof/nw)
Presiden Diminta Turun Tangan soal KPK-Polri
Sabtu, 6 Oktober 2012 09:18 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta turun tangan mengatasi persoalan antara Polri dan KPK.
"Kami meminta Presiden segera ambil alih komando, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan sebelum keadaan semakin memburuk," kata Saldi Isra saat membacakan salah satu butir kesepakatan antara para tokoh masyarakat di Gedung KPK, Jumat (5/10).
Para tokoh juga meminta Presiden untuk memberhentikan Kapolri. "Karena Kapolri tidak mampu mengendalikan anggotanya," ujar Saldi.
Selain Saldi, turut hadir para tokoh lain seperti Rektor Paramadina Anies Baswedan, pegiat HAM Usman Hamid dan Haris Azhar, serta para tokoh lainnya. Mereka juga meminta rakyat untuk bersama-sama mendukung KPK dalam membersihkan tubuh Polri dari praktik korupsi.
"Terakhir kami meminta kepada rakyat untuk bersama-sama mendukung langkah KPK dan bersatu dalam melakukan perjuangan melawan korupsi," kata Saldi.
Sementara itu KPK akan pasang badan atas Kompol Novel Baswedan yang akan ditangkap polisi. KPK menegaskan, selain Novel, seluruh penyidik akan mendapatkan perlindungan.
"Pada saat ini KPK tetap melindungi saudara Novel. KPK juga lindungi semua penyidik KPK dan semua elemen KPK yang bekerja untuk KPK," terang Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Sebelumnya pada Jumat (5/10) malam, Dirkrimum Polda Bengkulu Kombes Dedi Irianto datang membawa surat penangkapan dan penggeledahan. Novel disangka melakukan penganiayaan dan dikenakan pasal 351 ayat 1 dan 3.
"Ketika kami di sini beliau (Novel) tidak di kantor. Saya suruh buat berita acara penolakan perintah penangkapan, datang saja jam kerja yang sewajarnya, yang secara etis dilakukan, surat belum diberikan ke Novel atau pimpinan KPK," ungkap Bambang.
Upaya penjemputan paksa penyidik KPK Kompol Novel Baswedan menyita perhatian tokoh masyarakat yang datang di Kantor KPK.(Ant/BEY)
"Kami meminta Presiden segera ambil alih komando, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan sebelum keadaan semakin memburuk," kata Saldi Isra saat membacakan salah satu butir kesepakatan antara para tokoh masyarakat di Gedung KPK, Jumat (5/10).
Para tokoh juga meminta Presiden untuk memberhentikan Kapolri. "Karena Kapolri tidak mampu mengendalikan anggotanya," ujar Saldi.
Selain Saldi, turut hadir para tokoh lain seperti Rektor Paramadina Anies Baswedan, pegiat HAM Usman Hamid dan Haris Azhar, serta para tokoh lainnya. Mereka juga meminta rakyat untuk bersama-sama mendukung KPK dalam membersihkan tubuh Polri dari praktik korupsi.
"Terakhir kami meminta kepada rakyat untuk bersama-sama mendukung langkah KPK dan bersatu dalam melakukan perjuangan melawan korupsi," kata Saldi.
Sementara itu KPK akan pasang badan atas Kompol Novel Baswedan yang akan ditangkap polisi. KPK menegaskan, selain Novel, seluruh penyidik akan mendapatkan perlindungan.
"Pada saat ini KPK tetap melindungi saudara Novel. KPK juga lindungi semua penyidik KPK dan semua elemen KPK yang bekerja untuk KPK," terang Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Sebelumnya pada Jumat (5/10) malam, Dirkrimum Polda Bengkulu Kombes Dedi Irianto datang membawa surat penangkapan dan penggeledahan. Novel disangka melakukan penganiayaan dan dikenakan pasal 351 ayat 1 dan 3.
"Ketika kami di sini beliau (Novel) tidak di kantor. Saya suruh buat berita acara penolakan perintah penangkapan, datang saja jam kerja yang sewajarnya, yang secara etis dilakukan, surat belum diberikan ke Novel atau pimpinan KPK," ungkap Bambang.
Upaya penjemputan paksa penyidik KPK Kompol Novel Baswedan menyita perhatian tokoh masyarakat yang datang di Kantor KPK.(Ant/BEY)
Ketegangan KPK-Polri
Sabtu, 6 Oktober 2012 12:50 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak membiarkan ketegangan antara KPK
dan Polri. "Tidak ada pembiaran. Presiden tidak melakukan pembiaran,"
kata Sekretaris Kabinet Dipo Alam usai diskusi "Polemik: Korupsi karena
Kursi" yang diselenggarakan sebuah radio swasta, di Jakarta, Sabtu
(6/10).
Menurut dia, Presiden Yudhoyono telah mengambil tindakan melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto untuk meredakan ketegangan. "Menko Polhukam sudah memberikan pernyataan," ujar Dipo Alam.
Dipo meyakini Presiden Yudhoyono memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi yang telah mengakar di Indonesia. "Intinya pemberantasan korupsi itu kan sudah menjadi janji Presiden," ucap Dipo.
Sebelumnya, Presiden Yudhoyono telah menunjuk Menko Polhukam, Djoko Suyanto, untuk menengahi kisruh antara KPK dan Polri terkait pengusutan dugaan kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri.
"Saya ditugaskan untuk jalin pertemuan dengan mereka (KPK dan Polri). Nanti hasilnya akan dilaporkan ke Presiden," kata Djoko kepada pers di Jakarta, 7 Agustus lalu.
Menurut Djoko, laporannya ke Presiden akan digunakan sebagai bahan Presiden mengambil sikap. Djoko mengaku sudah bertemu dengan pimpinan KPK dan Kapolri di tempat terpisah. "Mereka berdua berjanji untuk bertemu. Itu yang kita tunggu," ujar Djoko.(Ant/BEY)
Menurut dia, Presiden Yudhoyono telah mengambil tindakan melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto untuk meredakan ketegangan. "Menko Polhukam sudah memberikan pernyataan," ujar Dipo Alam.
Dipo meyakini Presiden Yudhoyono memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi yang telah mengakar di Indonesia. "Intinya pemberantasan korupsi itu kan sudah menjadi janji Presiden," ucap Dipo.
Sebelumnya, Presiden Yudhoyono telah menunjuk Menko Polhukam, Djoko Suyanto, untuk menengahi kisruh antara KPK dan Polri terkait pengusutan dugaan kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri.
"Saya ditugaskan untuk jalin pertemuan dengan mereka (KPK dan Polri). Nanti hasilnya akan dilaporkan ke Presiden," kata Djoko kepada pers di Jakarta, 7 Agustus lalu.
Menurut Djoko, laporannya ke Presiden akan digunakan sebagai bahan Presiden mengambil sikap. Djoko mengaku sudah bertemu dengan pimpinan KPK dan Kapolri di tempat terpisah. "Mereka berdua berjanji untuk bertemu. Itu yang kita tunggu," ujar Djoko.(Ant/BEY)
Rabu, 03 Oktober 2012
Minggu, 30 September 2012
Kawan Lama - AGENDA PEMBERANGUSAN TERORISME
Oleh Anwari WMK
Seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar negara jangan pernah bertakzim pada produk hukum yang sangat keras ala Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, penting untuk digarisbawahi karena beberapa alasan. Pertama, dengan Draconian Law berarti, negara sengaja memberi kewenangan yang sangat luas kepada aparat keamanan, militer dan intelijen mengikis segenap anasir yang diasumsikan memiliki hubungan dengan terorisme. Seluruh elemen negara yang berfungsi menanggulangi terorisme, dengan Draconian Law itu, leluasa men-ginterpretasikan tindakan dan pikiran setiap warga negara sebagai sama-sebangun dengan terorisme. Atas nama penyelamatan negara dari terorisme, siapa pun dari kalangan anak-anak bangsa dengan mudahnya dikategorikan sebagai teroris. Mela-lui Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, negara lantas berubah men-jadi Leviathan dalam maknanya yang buruk.
Kedua, hingga kini masih tersembul keraguan yang sangat kuat terhadap cara kerja negara. Ternyata, negara gagap saat diharapkan mampu bekerja berdasarkan prin-sip-prinsip obyektivitas. Tak tuntasnya penyelesaian berbagai masalah dalam kai-tannya dengan hajat hidup rakyat banyak merupakan fakta keras rapuhnya prinsip-prinsip obyektivitas dalam pengelolaan negara. Hingga 64 tahun usia Republik In-donesia, tetap tak ada garansi bahwa negara benar-benar memiliki kapasitas bertin-dak obyektif menangani suatu masalah. Disimak berdasarkan tilikan filosofis, nega-ra terus-menerus gagal memahami the actual existence yang mengkristal dalam reali-tas hidup masyarakat. Atmosfer matinya obyektivitas inilah yang bakal menyu-dutkan eksistensi individu dalam masyarakat tatkala terkena tudingan sebagai tero-ris.
Ketiga, tak ada contoh faktual di mana pun di muka bumi, implementasi Draconian Law berbanding lurus dengan pencerabutan terorisme hingga ke akar-akarnya. Se-bagaimana terjadi di Amerika Serikat pasca-serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush [berkuasa selama 2001-2009] menerapkan prinsip dan kerangka kerja Draconian Law. Sedemikian rupa, Draconian Law diperla-kukan sebagai dasar mengobarkan “perang terhadap terorisme”. Bukan saja kemu-dian perang melawan terorisme gagal dimenangkan sesuai dengan tujuan semula. Lebih dari itu, rasionalitas yang semula ditujukan menihilkan terorisme justru ma-lah memporak-porandakan keniscayaan perlindungan HAM.
Persoalannya kemudian, langkah apa yang niscaya dilakukan demi memberantas habis terorisme? Adakah jalan alternatif di luar Draconian Law yang sepenuhnya mampu memberikan arah terhadap penyelamatan bangsa dari bahaya besar tero-risme?
Geneologi Terorisme
Dalam sejarah politisasi agama, terorisme bukanlah gejala baru. Tidak hanya pada kurun waktu kontemporer terorisme memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Pada sekitar 40 tahun Sebelun Masehi (SM), terorisme telah mengambil setting di atas panggung kekuasaan politik. Sejak saat itu terorisme menuntut perhatian sak-sama atas segenap ulah yang ditimbulkan. Sebuah faksi politik Yahudi di Judea, bernama Zealot menyebarkan tindakan teror demi melawan kekuasaan Romawi atas Palestina. Secara eksplisit, terorisme yang digerakkan kalangan Zealot itu merupakan penentangan secara keras terhadap raja Judea yang berpihak pada ke-kaisaran Romawi, Herodes Magnus (73 SM – 4 Masehi). Revolusi politik kaum Yahudi melawan kekuasaan Romawi di Judea sepenuhnya dipresentasikan oleh kehadiran Zealot.
Pada tahun 70 Masehi, pengikut Zealot mencapai sekitar seribu orang. Terkonsen-trasi dalam persembunyian di atas bukit Masada, kaum Zealot melancarkan seran-gan gerilya melawan tentara Romawi. Ini merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan Romawi atas Jerussalem. Ketika pada tahun 73 Masehi pasukan Romawi berhasil menguasai Masada serta memporak porandakan persembunyian kaum Zealot, maka sebuah berkembangan baru mencuat ke permukaan. Perang gerilya kaum Zealot digantikan terorisme. Sasaran penyerangan tak lagi dilakukan ber-dasarkan prinsip-prinsip perang dengan sasaran yang jelas tentara Romawi. Siapa pun yang diidentifikasi sebagai bagian dari kekuasaan Romawi, serta-merta ditabalkan sebagai sasaran terorisme kaum Zealot. Para penganut Yahudi pun pada akhirnya tak bisa lepas dari serangkaian teror kaum Zealot. Maka, selama abad pertama Masehi, terorisme kaum Zealot merupakan sebab pokok timbulnya instabilitas kekuasaan politik Romawi di Palestina.
Apa yang penting digarisbawahi dari cerita Zealot ialah munculnya kejahatan ber-dimensi ideologis. Sejak menjalankan aksi-aksi teror, arah perjuangan kaum Zealot telah bergeser sedemikian rupa, dari semula sebagai aksi menuntut keadilan politik, berubah menjadi penyebar kebencian. Aksioma the spread of hatred pada setiap aksi terorisme yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan prinsip teror yang dikembangkan oleh kaum Zealot selama kurun waktu abad pertama Masehi. Terorisme dan gerakan teror lalu tak dimengerti sebagai kejahatan. Oleh para aktor pendukungnya, teror dan terorisme diposisikan sebagai ideologi yang dimaksudkan untuk memakzulkan ideologi lain, melalui jalan kekerasan. Terorisme, apa boleh buat, merupakan kejahatan yang begitu telanjang, namun dipersepsi sebagai keniscayaan untuk menumbangkan ideologi pihak lain. Persis seperti pandangan kaum Zealot, para teroris di masa kini tak pernah sedikit pun merasa bersalah atas seluruh sepak terjang penghancuran hidup umat manusia.
Pada titik ini, Draconian Law [dengan segenap konsekuensinya berupa pre-emptive action] sangat tak memadai diterapkan sebagai kerangka kerja penanggulangan tero-risme. Draconian Law hanya digdaya menegasikan terorisme pada tingkat permu-kaan, tapi tidak pada spirit dan roh terorisme itu sendiri.
Aktor Negara
Bercermin pada geneologi kemunculan terorisme dalam wujud konkret Zealot pada abad pertama Masehi, maka model penanggulangan terorisme di Indonesia tak mungkin berupa perang secara besar-besaran. Jalan paling masuk akal meniadakan terorisme hingga ke akar-akarnya adalah mengubah tabiat aktor-aktor pengelola ne-gara melalui beberapa agenda.
Agenda pertama terkait dengan eleminasi feodalisme kekuasaan. Sulit ditepiskan fak-ta dan kenyataan, bahwa hingga kini feodalisme mewarnai dinamika kekuasaan di Tanah Air. Bahkan, reformasi politik yang bergemuruh selama satu dasawarsa te-rakhir tak jua mampu mengikis habis feodalisme itu. Akibatnya, aktor-aktor penge-lola negara kosong dari hati nurani mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlawanan kaum marjinal terhadap aktor pengelola negara semacam ini ju-stru memancing timbulnya terorisme. Logika inilah sesungguhnya yang berkeca-muk dalam struktur kesadaran Nana Ihwan Maulana [salah satu pelaku bom bunuh diri pada aksi terorisme Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009].
Agenda kedua berjalin kelindan dengan spirit pengorbanan aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen di lapangan. Jika pergumulan mereka berhadapan dengan kaum teroris semata ditujukan sebagai jalan mencapai kenaikan pangkat dan penci-traan politik, maka selama itu pula mereka kehilangan roh absolut perjuangan. Secara ideologis, jelas mereka kerdil dibandingkan kaum teroris. Obsesi besar kaum teroris terhadap over-sacrifice, harus pula diimbangi oleh over-sacrifice aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen. Sehingga, tidak perlu lagi muncul dramatisasi penyergapan teroris seperti terjadi pada sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2009. Penyergapan teroris ini lantas terkesan menjadi drama pecisan lantaran gagal menangkap gembong teroris nomor satu: Noordin M. Top.
Selama dua agenda ini gagal diwujudkan, maka selama itu pula hanyalah soal wak-tu jika Indonesia dihebohkan oleh munculnya aksi terorisme.
Seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar negara jangan pernah bertakzim pada produk hukum yang sangat keras ala Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, penting untuk digarisbawahi karena beberapa alasan. Pertama, dengan Draconian Law berarti, negara sengaja memberi kewenangan yang sangat luas kepada aparat keamanan, militer dan intelijen mengikis segenap anasir yang diasumsikan memiliki hubungan dengan terorisme. Seluruh elemen negara yang berfungsi menanggulangi terorisme, dengan Draconian Law itu, leluasa men-ginterpretasikan tindakan dan pikiran setiap warga negara sebagai sama-sebangun dengan terorisme. Atas nama penyelamatan negara dari terorisme, siapa pun dari kalangan anak-anak bangsa dengan mudahnya dikategorikan sebagai teroris. Mela-lui Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, negara lantas berubah men-jadi Leviathan dalam maknanya yang buruk.
Kedua, hingga kini masih tersembul keraguan yang sangat kuat terhadap cara kerja negara. Ternyata, negara gagap saat diharapkan mampu bekerja berdasarkan prin-sip-prinsip obyektivitas. Tak tuntasnya penyelesaian berbagai masalah dalam kai-tannya dengan hajat hidup rakyat banyak merupakan fakta keras rapuhnya prinsip-prinsip obyektivitas dalam pengelolaan negara. Hingga 64 tahun usia Republik In-donesia, tetap tak ada garansi bahwa negara benar-benar memiliki kapasitas bertin-dak obyektif menangani suatu masalah. Disimak berdasarkan tilikan filosofis, nega-ra terus-menerus gagal memahami the actual existence yang mengkristal dalam reali-tas hidup masyarakat. Atmosfer matinya obyektivitas inilah yang bakal menyu-dutkan eksistensi individu dalam masyarakat tatkala terkena tudingan sebagai tero-ris.
Ketiga, tak ada contoh faktual di mana pun di muka bumi, implementasi Draconian Law berbanding lurus dengan pencerabutan terorisme hingga ke akar-akarnya. Se-bagaimana terjadi di Amerika Serikat pasca-serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush [berkuasa selama 2001-2009] menerapkan prinsip dan kerangka kerja Draconian Law. Sedemikian rupa, Draconian Law diperla-kukan sebagai dasar mengobarkan “perang terhadap terorisme”. Bukan saja kemu-dian perang melawan terorisme gagal dimenangkan sesuai dengan tujuan semula. Lebih dari itu, rasionalitas yang semula ditujukan menihilkan terorisme justru ma-lah memporak-porandakan keniscayaan perlindungan HAM.
Persoalannya kemudian, langkah apa yang niscaya dilakukan demi memberantas habis terorisme? Adakah jalan alternatif di luar Draconian Law yang sepenuhnya mampu memberikan arah terhadap penyelamatan bangsa dari bahaya besar tero-risme?
Geneologi Terorisme
Dalam sejarah politisasi agama, terorisme bukanlah gejala baru. Tidak hanya pada kurun waktu kontemporer terorisme memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Pada sekitar 40 tahun Sebelun Masehi (SM), terorisme telah mengambil setting di atas panggung kekuasaan politik. Sejak saat itu terorisme menuntut perhatian sak-sama atas segenap ulah yang ditimbulkan. Sebuah faksi politik Yahudi di Judea, bernama Zealot menyebarkan tindakan teror demi melawan kekuasaan Romawi atas Palestina. Secara eksplisit, terorisme yang digerakkan kalangan Zealot itu merupakan penentangan secara keras terhadap raja Judea yang berpihak pada ke-kaisaran Romawi, Herodes Magnus (73 SM – 4 Masehi). Revolusi politik kaum Yahudi melawan kekuasaan Romawi di Judea sepenuhnya dipresentasikan oleh kehadiran Zealot.
Pada tahun 70 Masehi, pengikut Zealot mencapai sekitar seribu orang. Terkonsen-trasi dalam persembunyian di atas bukit Masada, kaum Zealot melancarkan seran-gan gerilya melawan tentara Romawi. Ini merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan Romawi atas Jerussalem. Ketika pada tahun 73 Masehi pasukan Romawi berhasil menguasai Masada serta memporak porandakan persembunyian kaum Zealot, maka sebuah berkembangan baru mencuat ke permukaan. Perang gerilya kaum Zealot digantikan terorisme. Sasaran penyerangan tak lagi dilakukan ber-dasarkan prinsip-prinsip perang dengan sasaran yang jelas tentara Romawi. Siapa pun yang diidentifikasi sebagai bagian dari kekuasaan Romawi, serta-merta ditabalkan sebagai sasaran terorisme kaum Zealot. Para penganut Yahudi pun pada akhirnya tak bisa lepas dari serangkaian teror kaum Zealot. Maka, selama abad pertama Masehi, terorisme kaum Zealot merupakan sebab pokok timbulnya instabilitas kekuasaan politik Romawi di Palestina.
Apa yang penting digarisbawahi dari cerita Zealot ialah munculnya kejahatan ber-dimensi ideologis. Sejak menjalankan aksi-aksi teror, arah perjuangan kaum Zealot telah bergeser sedemikian rupa, dari semula sebagai aksi menuntut keadilan politik, berubah menjadi penyebar kebencian. Aksioma the spread of hatred pada setiap aksi terorisme yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan prinsip teror yang dikembangkan oleh kaum Zealot selama kurun waktu abad pertama Masehi. Terorisme dan gerakan teror lalu tak dimengerti sebagai kejahatan. Oleh para aktor pendukungnya, teror dan terorisme diposisikan sebagai ideologi yang dimaksudkan untuk memakzulkan ideologi lain, melalui jalan kekerasan. Terorisme, apa boleh buat, merupakan kejahatan yang begitu telanjang, namun dipersepsi sebagai keniscayaan untuk menumbangkan ideologi pihak lain. Persis seperti pandangan kaum Zealot, para teroris di masa kini tak pernah sedikit pun merasa bersalah atas seluruh sepak terjang penghancuran hidup umat manusia.
Pada titik ini, Draconian Law [dengan segenap konsekuensinya berupa pre-emptive action] sangat tak memadai diterapkan sebagai kerangka kerja penanggulangan tero-risme. Draconian Law hanya digdaya menegasikan terorisme pada tingkat permu-kaan, tapi tidak pada spirit dan roh terorisme itu sendiri.
Aktor Negara
Bercermin pada geneologi kemunculan terorisme dalam wujud konkret Zealot pada abad pertama Masehi, maka model penanggulangan terorisme di Indonesia tak mungkin berupa perang secara besar-besaran. Jalan paling masuk akal meniadakan terorisme hingga ke akar-akarnya adalah mengubah tabiat aktor-aktor pengelola ne-gara melalui beberapa agenda.
Agenda pertama terkait dengan eleminasi feodalisme kekuasaan. Sulit ditepiskan fak-ta dan kenyataan, bahwa hingga kini feodalisme mewarnai dinamika kekuasaan di Tanah Air. Bahkan, reformasi politik yang bergemuruh selama satu dasawarsa te-rakhir tak jua mampu mengikis habis feodalisme itu. Akibatnya, aktor-aktor penge-lola negara kosong dari hati nurani mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlawanan kaum marjinal terhadap aktor pengelola negara semacam ini ju-stru memancing timbulnya terorisme. Logika inilah sesungguhnya yang berkeca-muk dalam struktur kesadaran Nana Ihwan Maulana [salah satu pelaku bom bunuh diri pada aksi terorisme Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009].
Agenda kedua berjalin kelindan dengan spirit pengorbanan aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen di lapangan. Jika pergumulan mereka berhadapan dengan kaum teroris semata ditujukan sebagai jalan mencapai kenaikan pangkat dan penci-traan politik, maka selama itu pula mereka kehilangan roh absolut perjuangan. Secara ideologis, jelas mereka kerdil dibandingkan kaum teroris. Obsesi besar kaum teroris terhadap over-sacrifice, harus pula diimbangi oleh over-sacrifice aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen. Sehingga, tidak perlu lagi muncul dramatisasi penyergapan teroris seperti terjadi pada sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2009. Penyergapan teroris ini lantas terkesan menjadi drama pecisan lantaran gagal menangkap gembong teroris nomor satu: Noordin M. Top.
Selama dua agenda ini gagal diwujudkan, maka selama itu pula hanyalah soal wak-tu jika Indonesia dihebohkan oleh munculnya aksi terorisme.
Sabtu, 29 September 2012
Fakta Terselubung Dibalik Kisah G30S PKI
http://terselubung.blogspot.com
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah
perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis
Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya,
Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak
bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan
Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu
“misteri” tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal
pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu
yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati
tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi
khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi
tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat
minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Potongannya seperti preman
Tempo
berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu
saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun.
Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota
Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia
tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri.
Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari
membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan
trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang
tua Suhardi.
“Dia
memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi.
Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus.
Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering
menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi
badannya gempal.
“Potongannya
seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek
perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi
tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah
tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung
masuk Heiho. “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di
perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”
Setelah
Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang
markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah
Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis
Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat
gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash
yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran
terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri
bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung
kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi,
Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah
Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal
Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan
Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita
ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi
Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro,
Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung
bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan
kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan
Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad
mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung
terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu
Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal
dengan Banteng Raiders.
Di
Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman
di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan
pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera
Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny
Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden
Soekarno.
“Kedua
prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani
dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil
Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Sebab,
menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui
banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti
Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa
perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi,
tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari
Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
Bila
kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar
Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan
Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal
di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan
kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno
di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir
terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada
satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara,
Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan
hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29
September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana.
Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah
Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi,
tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di
ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada
1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya
heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia
langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di
Tanah Abang.
“Saya
ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,”
kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang
semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu
tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi,
Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang
sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat
sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang
menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu
sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya.
Kepada
Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap
para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya
terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan
kepada mereka,” jawab Untung.
Heru
Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang
namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam
Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan
itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak
sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol
Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru
melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam
pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto,
kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life
and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang
kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu
bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.
“Itu
tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan
dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di
belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Demikianlah
Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang
Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal
diselamatkan.
SumberSelasa, 25 September 2012
Kawan Lama - Sukarno, Bendera Pusaka dan Kematiannya
Anton DH Nugrahanto -
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!". Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu". Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia makulum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggak di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara. Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. "Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kamu memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya". Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..." Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Saelan dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati. Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri -gadis Bali- untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah. Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!... Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis. Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya. "Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggemgam tangan Rachma lalu dengan menggemgam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. "Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso. Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi. Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi. Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberaoa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara. Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak. Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!" Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik. Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini". Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno. Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada. Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan. Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Tau sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih. Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno. Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi. Mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambai-lambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, berdiri dengan rasa cinta bukan sebuah keterpaksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, Tapi dia diperlakukan layaknya binatang terbuang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti ini lagi..... Anton, 21 Juni- Tanggal Meninggalnya Bung Karno.
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!". Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu". Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia makulum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggak di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara. Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. "Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kamu memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya". Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..." Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Saelan dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati. Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri -gadis Bali- untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah. Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!... Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis. Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya. "Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggemgam tangan Rachma lalu dengan menggemgam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. "Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso. Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi. Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi. Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberaoa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara. Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak. Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!" Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik. Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini". Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno. Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada. Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan. Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Tau sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih. Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno. Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi. Mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambai-lambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, berdiri dengan rasa cinta bukan sebuah keterpaksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, Tapi dia diperlakukan layaknya binatang terbuang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti ini lagi..... Anton, 21 Juni- Tanggal Meninggalnya Bung Karno.
Langganan:
Postingan (Atom)