Sabtu, 05 Oktober 2013

Rawagede Menggugat

Nullum crimen sine lege ~ Tak ada kejahatan tanpa hukum

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.


Aturan perang yang beradab dituangkan dalam Konvensi Jenewa 1949, yang secara umum mencakup dua hal, yaitu: (1) perlindungan terhadap semua orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam perang, dan (2) pelarangan penggunaan senjata dan metode perang yang tidak dapat dikendalikan. Sebanyak 194 negara telah meratifikasi konvensi ini, meskipun tidak semua protokol tambahan dan konvensi pendukung turut diratifikasi. Perkembangan mutakhir pengarusutamaan (mainstreaming) hukum humaniter internasional adalah Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Crime, ICC) yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 2002 sebagai implementasi Statuta Roma 1998. Yurisdiksi ICC mencakup kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Sampai bulan Mei 2008 statuta ini baru diratifikasi oleh 106 negara. Beberapa negara yang seringkali dikiritik sebagai pelaku pelanggaran dalam konflik bersenjata belum bersedia meratifikasi, antara lain: China, Haiti, India, Israel, Korea Utara, Mozambique, Pakistan, Rusia, Rwanda, Somalia, Sudan, Sri Lanka, termasuk Amerika Serikat (lihat website International Committee of the Red Cross).

Pembantaian di Rawagede

Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin – istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesie begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950″, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945..
Parlemen dan Pemerintah Belanda sangat responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan.(ref). Baca juga  detil kisah pembantaian disini Yang Terserak di Rawagede)

Surat Anonim Dari Pembantai Rawagede

Sebuah surat tanpa nama pengirim tiba di tangan Komite Utang Kehormatan Belanda(KUKB) di Belanda. Surat tidak disampaikan lewat pos, melainkan diberikan seseorang yang mengaku menerima dari seorang veteran perang. Isinya menunjukkan sebuah guratan penyesalan seorang tentara Belanda yang diduga ikut dalam proses pembunuhan warga Rawagede.
Seberapa jauh surat ini orisinil, tidak ada yang tahu. Sang penyampai, dan sang penulis, tetap ingin tidak diketahui.
                                               Wamel  Rawa Gedeh
         Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda
apa yang sebenarnya terjadi di desa RAWA GEDEH.

Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949,  sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:
Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.
Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)
Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. JUMLAHNYA RATUSAN.
Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima ‘pelajarannya’.
Semua lelaki ditembak mati – kami dinamai ‘Angkatan Darat Kerajaan’.
Semua perempuan ditembak mati – padahal kami datang dari negara demokratis.
Semua anak ditembak mati – padahal kami mengakunya tentara yang kristiani
                                                                                       Pekan adven 1947
Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.
Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu.(radionederland)

Dari Rawagede, Menggugat Kejahatan Belanda

Rawagede telah hilang, namanya diganti menjadi Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang. Letaknya  di antara Karawang dan Bekasi. Kini, 64 tahun berlalu, persoalan hukum Rawagede belum juga selesai.
Keluarga korban pembantaian mengajukan gugatan di Pengadilan Distrik Den Haag pada Rabu 9 Desember 2009. Diwakili oleh Liesbeth Zegveld, para keluarga korban meminta pemerintah Belanda mengakui kekejaman yang mereka lakukan di Rawagede. Mereka juga menuntut kompensasi.
Seperti dimuat laman Earth Times, kuasa hukum penggugat, Liesbeth Zegveld mengatakan keluarga korban juga meminta pemerintah Belanda mengakui kekejaman yang mereka lakukan di Rawagede. Mereka juga menuntut kompensasi.
Pada 9 Desember 1947, di hari nahas itu, pasukan kolonial Belanda dengan dalih mencari gerombolan pengacau memasuki Desa Rawagede. Berdasarkan hasil investigasi pada 1969, pasukan kolonial membunuh 150 penduduk desa laki-laki.
Namun, menurut versi saksi mata dan Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) delapan korban. Pembantaian itu menewaskan 430 penduduk pria Rawagede.
Pembantaian Rawagede diyakini merupakan tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949. Namun, di Belanda, selama beberapa dekade, pembantaian Rawagede hanya dianggap konsekuensi dari aksi polisi yang mengejar para pengacau.(vivanews)
Pengadilan Den Haag hari ini (Rabu, 14 September 2011) mengabulkan tuntutan dari keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat, tahun 1947 untuk penggantian kerugian yang diderita.
Seperti dikutip dari laman Radio Netherland Siaran Indonesia, pengadilan menolak alasan pihak Kerajaan Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kadaluarsa. Namun, catatan diberikan oleh pihak pengadilan yakni hak pengganti kerugian hanya diperuntukan keluarga korban langsung dari pembantaian itu.(vivanews)
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menanggapi positif dikabulkannya tuntutan para keluarga korban tragedi Rawagede dari pihak pemerintah Belanda.
Menurutnya, terdapat dua hal yang menjadi catatan positif jika berkaca dari kejadian ini. Pertama, gugatan ganti rugi yang notabene-nya ialah sisi perdata dapat dimenangkan tanpa melalui gugatan pidana terlebih dahulu.
“Karena kalau menunggu proses pidana lalu perdata akan memakan waktu cukup lama. Bisa saja, pelaku sudah tidak ada lagi (meninggal),” ujarnya kepada VIVAnews.com, Jakarta, Rabu malam 14 September 2011.
Kedua, keputusan pengadilan yang tidak menerima argumen pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kadaluwarsa merupakan suatu terobosan. Dengan adanya keputusan pengadilan ini membuka harapan bagi kasus-kasus lain untuk diungkap.
“Seperti korban kasus Westerling di Sulawesi Selatan dapat melakukan gugatan juga. Sebab, banyak kasus-kasus yang dilakukan Belanda saat berusaha merebut kekuasaan setelah Indonesia merdeka,” tuturnya.
Preseden dari kejadian ini, lanjut Hikmahanto, adalah dapat menjadi contoh bila ada keluarga-keluarga korban Belanda lainnya. “Mereka bisa mengajukan tuntutan ke pemerintah Belanda,” lanjut Hikmahanto.(vivanews)
Semua kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak mengenal kedaluwarsa … masalahnya siapa yang akan memperjuangkannya atasnama kemanusian dan keadilan. Semoga Rawagede menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia
About these ads
(Kopral Cepot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar