Sumber: Claude Guillot, Banten,Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII & http://www.china-mike.com. Ilustrasi: Micha Rainer Pali
OLEH: MF. MUKTHI
BANTEN, 1670-an.
Sebuah junk besar asal Tiongkok mendarat di pelabuhan dengan membawa 10
ton emas, benang, sutra, uang kepeng, dan produk-produk mewah lainnya.
Junk itu merupakan bagian dari rombongan junk besar milik “raja kapal”
asal Tiongkok, Koxinga atau Guo Xing-ye. Dia adalah konglomerat Tiongkok
pendukung Dinasti Ming yang lari ke Taiwan dan mendirikan basis bagi
simpatisan anti-Dinasti Qing.
Orang-orang Belanda, yang mendukung
Dinasti Qing setelah menggulingkan Dinasti Ming, memusuhi Koxinga. Namun
junk Koxinga bisa mendarat lantaran pembelaan Kaytsu, syahbandar dan
orang kepercayaan Sultan Ageng Tirtayasa, dan jaminan dari Kyai Ngabehi Cakradana (Tantseko), mantan bawahan Kaytsu.
Sultan Ageng Tirtayasa sendiri yang
mengangkatnya jadi syahbandar karena percaya akan kecerdikan dan
loyalitasnya. Dan yang terpenting, Kaytsu sudah Muslim. “Tampaknya
perpindahan agama sudah menjadi persyaratan yang diperlukan untuk orang
Banten keturunan asing untuk menjadi pejabat administratif,” tulis
Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Sultan memberinya gelar “Kyai Ngabehi”.
Cerdik dalam berdiplomasi, luwes dalam
bergaul, teguh menjaga kepercayaan, serta punya jaringan luas membuat
karier Kaytsu cepat menanjak. “Kaytsu yang cerdik dan berpikiran jauh ke
depan serta diandalkan sepenuhnya oleh raja saat itu, Sultan Ageng,
tampaknya hanya memiliki satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memulihkan
perdagangan internasional di Banten,” tulis Guillot.
Untuk memuluskan cita-citanya, Kaytsu
meyakinkan sultan pentingnya Banten memiliki armada niaga dan terlibat
dalam perdagangan internasional guna memajukan perekonomian kerajaan.
Armada niaga dibutuhkan untuk mendatangkan komoditas dari berbagai
tempat untuk guna di Banten yang pada akhirnya menarik pedagang asing.
Sultan menerima usul Kaytsu. Armada pun
dibangun. Kaytsu mengawasi pembelian dan pembuatan kapal-kapal.
Pengiriman kapal niaga dimulai tak lama kemudian. Dengan Tantseko, dia
memperluas jaringan niaga dengan dunia luar. Di antaranya dengan
keluarga Zheng Zhilong, ayah Koxinga, yang bermarkas di Amoy, Taiwan,
Manila, dengan kantor perwakilan di negara-negara Eropa dan Jepang.
Zhilong adalah petualang sekaligus pengusaha Tionghoa pendukung Dinasti
Ming yang dihukum mati oleh Dinasti Qing.
Jalur pelayaran ke Manila, yang berisiko
tinggi namun menguntungkan, diambil. Dan tak kalah penting, Banten
menjadi kerajaan niaga yang menjual beragam komoditas –sebelumnya hanya
menjual lada. Dengan jatuhnya Makassar dan ditutupnya pelabuhan Tiongkok
setelah Dinasti Ming jatuh, Banten akhirnya menjadi pelabuhan
internasional. Berkat Kaytsu pula perekonomian kerajaan melonjak pesat.
“Sebelum meninggal tahun 1674,
syahbandar Kaytsu yang sangat giat ini sempat menyaksikan impiannya
terwujud ketika Banten berubah menjadi pelabuhan persinggahan utama di
Nusantara untuk kapal-kapal bukan VOC dan sebagai tempat perdagangan
kunci bukan saja untuk pasar Asia Timur dan Barat tapi juga untuk Eropa
dan sebagian kecil Amerika melalui Manila,” tulis Guillot.
Mulanya hampir tak ada orang yang
mengenalnya. Namanya mulai disebut setelah ada perselisihan dagang lada
antara orang Belanda dan Prancis di Batavia. Dia bersama dua teman
Tionghoanya menjadi saksi; dan namanya pun tertulis dalam dokumen
terkait perkara itu berikut tandatangannya.
Kaytsu kemungkinan termasuk di antara
orang-orang Tionghoa yang hijrah ke Batavia menyusul kondisi tak menentu
di Banten akibat pendirian Batavia oleh Jan Pieterzoen Coen. Sewaktu
perdagangan Banten kembali menggeliat, Kaytsu kembali ke Banten. Tapi,
rivalitas Banten-Batavia masih tinggi. Terlebih, pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa, armada VOC memblokade Teluk Banten akibat
serangan Tirtayasa ke kapal-kapal dan wilayah Batavia.
Ketika pintu perundingan terkunci rapat,
sejak 1656 orang-orang Tionghoa di Banten berinisiatif menjadi
penengah. Syahbandar kerajaan, seorang Tionghoa bernama Abdul Wakkil,
mengirim beberapa orang ke Batavia untuk menemui Bingam, kapitan
Tionghoa di kota itu. Kaytsu ikut mendampingi Wakkil. Setelah menjadi
syahbandar, menggantikan Wakkil, Kaytsu mengirim surat berbahasa Melayu
ke Kapitan Bingam yang berisi keterangan bahwa sultan tak akan menyerang
kapal-kapal Batavia lagi.
Selama berbulan-bulan Kaytsu
mondar-mandir Banten-Batavia dan berkirim surat ke Bingam dan Joan
Cunesu, penasehat orang-orang Belanda, untuk menyelesaikan konflik.
Setelah itu dia memimpin sebuah delegasi terdiri dari lima Tionghoa
Banten berangkat ke Batavia. Kaytsu bukan hanya mewakili kesultanan, dia
penyambung lidah pedagang Banten, golongan yang paling dirugikan oleh
keadaan tak aman itu. VOC akhirnya mengirim dua utusan, Symon Symonsz
dan Joan van der Laen, ke Banten pada 1659.
“Mulai masa itu dia tampil sebagai salah
satu unsur terpenting dalam pemerintahan Banten,” tulis Gabriel
Rantoandro, “Kiyai Ngabehi Kaytsu di Banten: Syahbandar dan Perantara”,
dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Sultan memasukkannya sebagai bagian
penting kerajaan. “Dia orang istana yang bebas keluar-masuk, sebebas dan
sesering para pangeran, kerabat raja, dan penasihat sultan, terutama
dalam situasi-situasi mendesak,” tulis Rantoandro.
Di Banten, Kaytsu melayani utusan
tersebut meski tugas utamanya mengawasi jalannya perundingan. Dia kerap
mengundang mereka makan di rumahnya di pecinan, dekat loji Inggris.
Ketika ada waktu luang, Kaytsu menyuguhi hiburan wayang kulit. Perlakuan
hangat Kaytsu mempengaruhi psikis para utusan. Kesepakatan damai
akhirnya dicapai kedua belah pihak. Menurut Guillot, Kaytsu adalah
satu-satunya syahbandar yang dikenal dalam sumber-sumber Eropa tahun
1660-an.
Sebagai orang kepercayaan, selain
mengembangkan perdagangan kerajaan, Kaytsu juga menjalankan usaha
pribadi Sultan Ageng Tirtayasa. Dan kepercayaan itu Kaytsu bayar penuh
dengan kemajuan pesat usaha itu. Berbarengan dengan itu, Kaytsu sendiri
mengembangkan usaha sendiri. Kapal-kapalnya bertambah dan merambah jauh
ke negeri seberang. Sewaktu meninggal dunia, tulis Rantoandro, dia
meninggalkan modal 70 ribu-90 ribu real dalam bentuk emas, perak, dan
komoditas berharga lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar