Oleh Anwari WMK
Seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar negara jangan pernah bertakzim pada produk hukum yang sangat keras ala Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, penting untuk digarisbawahi karena beberapa alasan. Pertama, dengan Draconian Law berarti, negara sengaja memberi kewenangan yang sangat luas kepada aparat keamanan, militer dan intelijen mengikis segenap anasir yang diasumsikan memiliki hubungan dengan terorisme. Seluruh elemen negara yang berfungsi menanggulangi terorisme, dengan Draconian Law itu, leluasa men-ginterpretasikan tindakan dan pikiran setiap warga negara sebagai sama-sebangun dengan terorisme. Atas nama penyelamatan negara dari terorisme, siapa pun dari kalangan anak-anak bangsa dengan mudahnya dikategorikan sebagai teroris. Mela-lui Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, negara lantas berubah men-jadi Leviathan dalam maknanya yang buruk.
Kedua, hingga kini masih tersembul keraguan yang sangat kuat terhadap cara kerja negara. Ternyata, negara gagap saat diharapkan mampu bekerja berdasarkan prin-sip-prinsip obyektivitas. Tak tuntasnya penyelesaian berbagai masalah dalam kai-tannya dengan hajat hidup rakyat banyak merupakan fakta keras rapuhnya prinsip-prinsip obyektivitas dalam pengelolaan negara. Hingga 64 tahun usia Republik In-donesia, tetap tak ada garansi bahwa negara benar-benar memiliki kapasitas bertin-dak obyektif menangani suatu masalah. Disimak berdasarkan tilikan filosofis, nega-ra terus-menerus gagal memahami the actual existence yang mengkristal dalam reali-tas hidup masyarakat. Atmosfer matinya obyektivitas inilah yang bakal menyu-dutkan eksistensi individu dalam masyarakat tatkala terkena tudingan sebagai tero-ris.
Ketiga, tak ada contoh faktual di mana pun di muka bumi, implementasi Draconian Law berbanding lurus dengan pencerabutan terorisme hingga ke akar-akarnya. Se-bagaimana terjadi di Amerika Serikat pasca-serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush [berkuasa selama 2001-2009] menerapkan prinsip dan kerangka kerja Draconian Law. Sedemikian rupa, Draconian Law diperla-kukan sebagai dasar mengobarkan “perang terhadap terorisme”. Bukan saja kemu-dian perang melawan terorisme gagal dimenangkan sesuai dengan tujuan semula. Lebih dari itu, rasionalitas yang semula ditujukan menihilkan terorisme justru ma-lah memporak-porandakan keniscayaan perlindungan HAM.
Persoalannya kemudian, langkah apa yang niscaya dilakukan demi memberantas habis terorisme? Adakah jalan alternatif di luar Draconian Law yang sepenuhnya mampu memberikan arah terhadap penyelamatan bangsa dari bahaya besar tero-risme?
Geneologi Terorisme
Dalam sejarah politisasi agama, terorisme bukanlah gejala baru. Tidak hanya pada kurun waktu kontemporer terorisme memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Pada sekitar 40 tahun Sebelun Masehi (SM), terorisme telah mengambil setting di atas panggung kekuasaan politik. Sejak saat itu terorisme menuntut perhatian sak-sama atas segenap ulah yang ditimbulkan. Sebuah faksi politik Yahudi di Judea, bernama Zealot menyebarkan tindakan teror demi melawan kekuasaan Romawi atas Palestina. Secara eksplisit, terorisme yang digerakkan kalangan Zealot itu merupakan penentangan secara keras terhadap raja Judea yang berpihak pada ke-kaisaran Romawi, Herodes Magnus (73 SM – 4 Masehi). Revolusi politik kaum Yahudi melawan kekuasaan Romawi di Judea sepenuhnya dipresentasikan oleh kehadiran Zealot.
Pada tahun 70 Masehi, pengikut Zealot mencapai sekitar seribu orang. Terkonsen-trasi dalam persembunyian di atas bukit Masada, kaum Zealot melancarkan seran-gan gerilya melawan tentara Romawi. Ini merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan Romawi atas Jerussalem. Ketika pada tahun 73 Masehi pasukan Romawi berhasil menguasai Masada serta memporak porandakan persembunyian kaum Zealot, maka sebuah berkembangan baru mencuat ke permukaan. Perang gerilya kaum Zealot digantikan terorisme. Sasaran penyerangan tak lagi dilakukan ber-dasarkan prinsip-prinsip perang dengan sasaran yang jelas tentara Romawi. Siapa pun yang diidentifikasi sebagai bagian dari kekuasaan Romawi, serta-merta ditabalkan sebagai sasaran terorisme kaum Zealot. Para penganut Yahudi pun pada akhirnya tak bisa lepas dari serangkaian teror kaum Zealot. Maka, selama abad pertama Masehi, terorisme kaum Zealot merupakan sebab pokok timbulnya instabilitas kekuasaan politik Romawi di Palestina.
Apa yang penting digarisbawahi dari cerita Zealot ialah munculnya kejahatan ber-dimensi ideologis. Sejak menjalankan aksi-aksi teror, arah perjuangan kaum Zealot telah bergeser sedemikian rupa, dari semula sebagai aksi menuntut keadilan politik, berubah menjadi penyebar kebencian. Aksioma the spread of hatred pada setiap aksi terorisme yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan prinsip teror yang dikembangkan oleh kaum Zealot selama kurun waktu abad pertama Masehi. Terorisme dan gerakan teror lalu tak dimengerti sebagai kejahatan. Oleh para aktor pendukungnya, teror dan terorisme diposisikan sebagai ideologi yang dimaksudkan untuk memakzulkan ideologi lain, melalui jalan kekerasan. Terorisme, apa boleh buat, merupakan kejahatan yang begitu telanjang, namun dipersepsi sebagai keniscayaan untuk menumbangkan ideologi pihak lain. Persis seperti pandangan kaum Zealot, para teroris di masa kini tak pernah sedikit pun merasa bersalah atas seluruh sepak terjang penghancuran hidup umat manusia.
Pada titik ini, Draconian Law [dengan segenap konsekuensinya berupa pre-emptive action] sangat tak memadai diterapkan sebagai kerangka kerja penanggulangan tero-risme. Draconian Law hanya digdaya menegasikan terorisme pada tingkat permu-kaan, tapi tidak pada spirit dan roh terorisme itu sendiri.
Aktor Negara
Bercermin pada geneologi kemunculan terorisme dalam wujud konkret Zealot pada abad pertama Masehi, maka model penanggulangan terorisme di Indonesia tak mungkin berupa perang secara besar-besaran. Jalan paling masuk akal meniadakan terorisme hingga ke akar-akarnya adalah mengubah tabiat aktor-aktor pengelola ne-gara melalui beberapa agenda.
Agenda pertama terkait dengan eleminasi feodalisme kekuasaan. Sulit ditepiskan fak-ta dan kenyataan, bahwa hingga kini feodalisme mewarnai dinamika kekuasaan di Tanah Air. Bahkan, reformasi politik yang bergemuruh selama satu dasawarsa te-rakhir tak jua mampu mengikis habis feodalisme itu. Akibatnya, aktor-aktor penge-lola negara kosong dari hati nurani mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlawanan kaum marjinal terhadap aktor pengelola negara semacam ini ju-stru memancing timbulnya terorisme. Logika inilah sesungguhnya yang berkeca-muk dalam struktur kesadaran Nana Ihwan Maulana [salah satu pelaku bom bunuh diri pada aksi terorisme Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009].
Agenda kedua berjalin kelindan dengan spirit pengorbanan aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen di lapangan. Jika pergumulan mereka berhadapan dengan kaum teroris semata ditujukan sebagai jalan mencapai kenaikan pangkat dan penci-traan politik, maka selama itu pula mereka kehilangan roh absolut perjuangan. Secara ideologis, jelas mereka kerdil dibandingkan kaum teroris. Obsesi besar kaum teroris terhadap over-sacrifice, harus pula diimbangi oleh over-sacrifice aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen. Sehingga, tidak perlu lagi muncul dramatisasi penyergapan teroris seperti terjadi pada sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2009. Penyergapan teroris ini lantas terkesan menjadi drama pecisan lantaran gagal menangkap gembong teroris nomor satu: Noordin M. Top.
Selama dua agenda ini gagal diwujudkan, maka selama itu pula hanyalah soal wak-tu jika Indonesia dihebohkan oleh munculnya aksi terorisme.
Seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar negara jangan pernah bertakzim pada produk hukum yang sangat keras ala Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, penting untuk digarisbawahi karena beberapa alasan. Pertama, dengan Draconian Law berarti, negara sengaja memberi kewenangan yang sangat luas kepada aparat keamanan, militer dan intelijen mengikis segenap anasir yang diasumsikan memiliki hubungan dengan terorisme. Seluruh elemen negara yang berfungsi menanggulangi terorisme, dengan Draconian Law itu, leluasa men-ginterpretasikan tindakan dan pikiran setiap warga negara sebagai sama-sebangun dengan terorisme. Atas nama penyelamatan negara dari terorisme, siapa pun dari kalangan anak-anak bangsa dengan mudahnya dikategorikan sebagai teroris. Mela-lui Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, negara lantas berubah men-jadi Leviathan dalam maknanya yang buruk.
Kedua, hingga kini masih tersembul keraguan yang sangat kuat terhadap cara kerja negara. Ternyata, negara gagap saat diharapkan mampu bekerja berdasarkan prin-sip-prinsip obyektivitas. Tak tuntasnya penyelesaian berbagai masalah dalam kai-tannya dengan hajat hidup rakyat banyak merupakan fakta keras rapuhnya prinsip-prinsip obyektivitas dalam pengelolaan negara. Hingga 64 tahun usia Republik In-donesia, tetap tak ada garansi bahwa negara benar-benar memiliki kapasitas bertin-dak obyektif menangani suatu masalah. Disimak berdasarkan tilikan filosofis, nega-ra terus-menerus gagal memahami the actual existence yang mengkristal dalam reali-tas hidup masyarakat. Atmosfer matinya obyektivitas inilah yang bakal menyu-dutkan eksistensi individu dalam masyarakat tatkala terkena tudingan sebagai tero-ris.
Ketiga, tak ada contoh faktual di mana pun di muka bumi, implementasi Draconian Law berbanding lurus dengan pencerabutan terorisme hingga ke akar-akarnya. Se-bagaimana terjadi di Amerika Serikat pasca-serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush [berkuasa selama 2001-2009] menerapkan prinsip dan kerangka kerja Draconian Law. Sedemikian rupa, Draconian Law diperla-kukan sebagai dasar mengobarkan “perang terhadap terorisme”. Bukan saja kemu-dian perang melawan terorisme gagal dimenangkan sesuai dengan tujuan semula. Lebih dari itu, rasionalitas yang semula ditujukan menihilkan terorisme justru ma-lah memporak-porandakan keniscayaan perlindungan HAM.
Persoalannya kemudian, langkah apa yang niscaya dilakukan demi memberantas habis terorisme? Adakah jalan alternatif di luar Draconian Law yang sepenuhnya mampu memberikan arah terhadap penyelamatan bangsa dari bahaya besar tero-risme?
Geneologi Terorisme
Dalam sejarah politisasi agama, terorisme bukanlah gejala baru. Tidak hanya pada kurun waktu kontemporer terorisme memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Pada sekitar 40 tahun Sebelun Masehi (SM), terorisme telah mengambil setting di atas panggung kekuasaan politik. Sejak saat itu terorisme menuntut perhatian sak-sama atas segenap ulah yang ditimbulkan. Sebuah faksi politik Yahudi di Judea, bernama Zealot menyebarkan tindakan teror demi melawan kekuasaan Romawi atas Palestina. Secara eksplisit, terorisme yang digerakkan kalangan Zealot itu merupakan penentangan secara keras terhadap raja Judea yang berpihak pada ke-kaisaran Romawi, Herodes Magnus (73 SM – 4 Masehi). Revolusi politik kaum Yahudi melawan kekuasaan Romawi di Judea sepenuhnya dipresentasikan oleh kehadiran Zealot.
Pada tahun 70 Masehi, pengikut Zealot mencapai sekitar seribu orang. Terkonsen-trasi dalam persembunyian di atas bukit Masada, kaum Zealot melancarkan seran-gan gerilya melawan tentara Romawi. Ini merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan Romawi atas Jerussalem. Ketika pada tahun 73 Masehi pasukan Romawi berhasil menguasai Masada serta memporak porandakan persembunyian kaum Zealot, maka sebuah berkembangan baru mencuat ke permukaan. Perang gerilya kaum Zealot digantikan terorisme. Sasaran penyerangan tak lagi dilakukan ber-dasarkan prinsip-prinsip perang dengan sasaran yang jelas tentara Romawi. Siapa pun yang diidentifikasi sebagai bagian dari kekuasaan Romawi, serta-merta ditabalkan sebagai sasaran terorisme kaum Zealot. Para penganut Yahudi pun pada akhirnya tak bisa lepas dari serangkaian teror kaum Zealot. Maka, selama abad pertama Masehi, terorisme kaum Zealot merupakan sebab pokok timbulnya instabilitas kekuasaan politik Romawi di Palestina.
Apa yang penting digarisbawahi dari cerita Zealot ialah munculnya kejahatan ber-dimensi ideologis. Sejak menjalankan aksi-aksi teror, arah perjuangan kaum Zealot telah bergeser sedemikian rupa, dari semula sebagai aksi menuntut keadilan politik, berubah menjadi penyebar kebencian. Aksioma the spread of hatred pada setiap aksi terorisme yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan prinsip teror yang dikembangkan oleh kaum Zealot selama kurun waktu abad pertama Masehi. Terorisme dan gerakan teror lalu tak dimengerti sebagai kejahatan. Oleh para aktor pendukungnya, teror dan terorisme diposisikan sebagai ideologi yang dimaksudkan untuk memakzulkan ideologi lain, melalui jalan kekerasan. Terorisme, apa boleh buat, merupakan kejahatan yang begitu telanjang, namun dipersepsi sebagai keniscayaan untuk menumbangkan ideologi pihak lain. Persis seperti pandangan kaum Zealot, para teroris di masa kini tak pernah sedikit pun merasa bersalah atas seluruh sepak terjang penghancuran hidup umat manusia.
Pada titik ini, Draconian Law [dengan segenap konsekuensinya berupa pre-emptive action] sangat tak memadai diterapkan sebagai kerangka kerja penanggulangan tero-risme. Draconian Law hanya digdaya menegasikan terorisme pada tingkat permu-kaan, tapi tidak pada spirit dan roh terorisme itu sendiri.
Aktor Negara
Bercermin pada geneologi kemunculan terorisme dalam wujud konkret Zealot pada abad pertama Masehi, maka model penanggulangan terorisme di Indonesia tak mungkin berupa perang secara besar-besaran. Jalan paling masuk akal meniadakan terorisme hingga ke akar-akarnya adalah mengubah tabiat aktor-aktor pengelola ne-gara melalui beberapa agenda.
Agenda pertama terkait dengan eleminasi feodalisme kekuasaan. Sulit ditepiskan fak-ta dan kenyataan, bahwa hingga kini feodalisme mewarnai dinamika kekuasaan di Tanah Air. Bahkan, reformasi politik yang bergemuruh selama satu dasawarsa te-rakhir tak jua mampu mengikis habis feodalisme itu. Akibatnya, aktor-aktor penge-lola negara kosong dari hati nurani mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlawanan kaum marjinal terhadap aktor pengelola negara semacam ini ju-stru memancing timbulnya terorisme. Logika inilah sesungguhnya yang berkeca-muk dalam struktur kesadaran Nana Ihwan Maulana [salah satu pelaku bom bunuh diri pada aksi terorisme Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009].
Agenda kedua berjalin kelindan dengan spirit pengorbanan aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen di lapangan. Jika pergumulan mereka berhadapan dengan kaum teroris semata ditujukan sebagai jalan mencapai kenaikan pangkat dan penci-traan politik, maka selama itu pula mereka kehilangan roh absolut perjuangan. Secara ideologis, jelas mereka kerdil dibandingkan kaum teroris. Obsesi besar kaum teroris terhadap over-sacrifice, harus pula diimbangi oleh over-sacrifice aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen. Sehingga, tidak perlu lagi muncul dramatisasi penyergapan teroris seperti terjadi pada sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2009. Penyergapan teroris ini lantas terkesan menjadi drama pecisan lantaran gagal menangkap gembong teroris nomor satu: Noordin M. Top.
Selama dua agenda ini gagal diwujudkan, maka selama itu pula hanyalah soal wak-tu jika Indonesia dihebohkan oleh munculnya aksi terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar