Prioritas : Edisi 31 - Tahun 1 | 13 - 19 Agustus 2012
Cita-cita persatuan dan kemerdekaan
bangsa membulatkan tekadnya untuk mati-matian melawan kolonialisme dan
membela kawan seperjuangan. Menolak jabatan boneka demi rakyat dan hati
nurani.
Lelaki
berperawakan tegap itu maju ke depan dengan langkah mantap dan teratur.
Berhenti sejenak memberi hormat kepada majelis hakim di depannya, ia
lalu membacakan dengan lantang pembelaan yang telah disusun jauh-jauh
hari untuk kawan karibnya. Semua hadirin seperti tersihir dan hanya
terdiam membisu.
“Tiada suatu fasal dalam kitab hoekoeman
menjatakan bahwa daja oepaja hendak bersatoe atau mentjapai kemerdekaan
itoe dapat dihoekoem. Lagi poela tiap-tiap perkoempoelan Indonesia jang
berdasarkan politik dapat dikatakan, bahwa toejoeannja ialah mentjapai
kemerdekaan Indonesia. Oentoek mentjapai atau menjampaikan toejoean jang
diidjinkan ini maka soeatoe sjarat daripada beberapa sjarat jang
teroetama: Persatoean Bangsa Indonesia,” ujarnya.
Itulah sosok dan penampilan Meester in
de Rechten (MR, gelar sarjana hukum Belanda) Sartono. Berbeda dengan
Bung Karno yang menjadi sahabat karibnya semasa perjuangan, ia terkesan
lebih pendiam dan cenderung bersikap berhati-hati. Gaya bicaranya juga
tidak meledak-ledak alias lebih terstruktur, kalem, dan analitis.
Saat itu, ia tampil sebagai pembela Bung
Karno yang diadili pihak kolonial Belanda di Bandung. Pleidoi yang
disusun dan disuarakannya menyempurnakan pleidoi politik Bung Karno
sendiri yang bertajuk “Indonesia Menggugat”. Sekalipun terlihat fokus
pada segi yuridis, namun pada beberapa bagian, pembelaannya memuat unsur
politis. Dalam mukadimah, ia menguraikan kronologi penangkapan para
tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) itu. Dengannya, ia ingin
membuktikan, Bung Karno dan kawankawan justru menjadi korban rezim
kolonial.
Dasar penangkapan mereka, menurut
Sartono, hanyalah rasa takut tak berdasar yang mulai menghantui para
pejabat kolonial sejak 1929. Merebak desas desus ke seantero Nusantara,
pemberontakkan melawan rezim Belanda bakal segera meletup. Semangat
kebanyakan penduduk di tanah jajahan Hindia-Belanda pun terbakar.
Kondisi ini tentu membuat penguasa kolonial merasa tidak nyaman. Nah,
rasa takut dan tidak nyaman inilah yang menjadi alasan Bung Karno dan
kawan-kawan ditangkap dengan selubung tuntutan hukum.
Akhirnya, setelah empat bulan bersidang,
pengadilan kolonial menjatuhkan vonis pada 22 Desember 1930: Bung Karno
dikurung 4 tahun, Gatot Mangkupraja 2 tahun, Maskun 1,8 tahun, dan
Supriadinata 1,3 tahun. Bung Karno sendiri dipenjara di Sukamiskin
Bandung (dan dibebaskan lewat keputusan Gubernur Jenderal). Sartono lalu
membubarkan PNI yang dianggap rezim sudah melanggar hukum sehingga
membuat anggota PNI lainnya rawan ditangkap. Menurut pengamat
kehidupan pribadi Sartono, RM Daradjadi, pada 1925, MR Sartono bersama
Bung Hatta, menyusun “Manifesto Perhimpunan Indonesia”. Konsep ini
memuat garis perjuangan pemuda dalam menggapai kemerdekaan—yang
mengilhami Sumpah Pemuda. Sebelumnya, ia bertemu Bung Karno saat
bermukim di Bandung. Bersama Ir Anwari, MR Sunaryo, Dr Cipto
Mangunkusumo, ia lalu mendirikan pergerakan nasional yang menjadi cikal
bakal PNI.
Andil Sartono juga cukup besar bagi
terselenggaranya Kongres Pemuda pada 1928 di Kramat Raya 106, Jakarta.
Khususnya, saat pihak kolonial mengancam akan membubarkan kongres
tersebut karena dianggap secara sepihak menyalahi aturan hukum yang
berlaku. Dengan berani dan cerdik, Sartono berhasil mematahkan dalih
aparat Belanda yang berniat menggagalkan kongres.
Pada 1933, Sartono bersama sejumlah
koleganya mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Namun lantaran Belanda
menganggapnya ilegal, partai itu hanya mampu bertahan hingga 1938. Tak
patah arang, Sartono dan kawan-kawan kembali mendirikan perkumpulan
yang dinamai Gerakan Indonesia (Gerindo)—yang akhirnya juga dibubarkan
menyusul masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942.
“Saat Jepang bercokol di Tanah Air,”
ungkap Daradjadi, “Sartono mempertemukan Hatta yang baru tiba dari
pembuangannya di Banda bersama Sutan Syahrir dengan Bung Karno yang
berada di Bengkulu.” Mereka lalu bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan
yang, berkat dukungan rakyat, berujung pada Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Tak lama darinya, Sartono dilantik menjadi Menteri Negara.
Pada 1950 (hingga 1959), saat demokrasi
sedang mekarmekarnya di Indonesia, Sartono dipercaya sebagai ketua
parlemen. Namun, seperti sekarang, pada 1952, menyeruak kecurigaan
adanya praktik korupsi di tubuh parlemen. Eskalasi politik pun memuncak
pada peristiwa 17 Oktober 1952.
Sebelumnya, pembelian Kapal Motor
Tasikmalaya oleh Kementerian Pertahanan ditengarai beraroma korupsi.
Lalu muncul gerakan massa membawa mortar dan meriam ke Istana Merdeka.
Menyikapi itu, Sartono mengusulkan pemilihan umum dipercepat.
Kejadian menarik berikutnya berlangsung
pada 1955. Saat itu Sartono dianggap melakukan kesalahan fatal lantaran
mengizinkan Komisi J melanggar tatatertib dengan melakukan kunjungan
kerja ke luar negeri. Lalu, ia dengan legowo mundur dari jabatan ketua
parlemen menyusul diperkarakannya kasus tersebut. “Tidak pantas orang
yang sedang menjadi terdakwa duduk di kursi pimpinan,” ujar Daradjadi
mengutip kata-kata Sartono.
Pada 1956, Hatta mengajukan dirinya
mundur dari jabatan wakil presiden. Alasannya, ia ingin lebih dulu
melihat sejauh mana kemampuan konstituante menyusun undang-undang.
Terpaksa pihak parlemen yang dipimpin Sartono menyetujuinya. Namun,
muncul persoalan baru: Siapa yang harus mengisi kekosongan jabatan wakil
presiden yang ditinggalkan Hatta? Masalah ini lalu dibicarakan dalam
sidang parlemen dan sempat memicu perdebatan sengit.
Akhirnya, semua pihak sepakat menjadikan
ketua parlemen sebagai pejabat presiden yang akan membantu presiden
menjalankan tugasnya bila berhalangan, baik secara tetap maupun
sementara. Sartono menjalankan fungsi pejabat presiden sejak 1957 hingga
1959.
Perjalanan demokrasi parlementer
mencapai klimaksnya pada 1959. Diawali saat Bung Karno mengajukan
rancangan dekrit politilknya ke parlemen. Dikarenakan gambaran dalam
dekrit itu dipandang tidak relevan dengan kenyataan yang ada, parlemen
pun menolaknya. Merasa gusar, Bung Karno langsung membubarkan parlemen
hasil pemilu itu.
Sebagai gantinya, dibentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), yang anggotanya diangkat
sendiri oleh Bung Karno. Tapi, sebelum “parlemen boneka” itu bekerja,
Bung Karno berencana merekerut Sartono untuk dijadikan anggota sekaligus
ketua. Mendengar itu, Sartono segera menyurati Presiden untuk menolak
jabatan itu lantaran bukan berasal dari pilihan rakyat sehingga
bertentangan dengan hati nuraninya.
Ya, kendati dekat, membela, dan sangat
loyal pada Bung Karno, Sartono tetap bersikap objektif dan berlapang
dada. Sejak itulah karier politiknya mulai redup. Ia bahkan sempat absen
beberapa waktu dari kancah politik. Namanya kembali muncul di pentas
politik nasional setelah Bung Karno mengangkatnya sebagai Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Penyandang gelar MR dari Universitas Leiden, Belanda
yang dijuluki Daradji “nasionalis, demokratis, dan pluralis” ini
akhirnya wafat di Jakarta pada 15 Oktober 1968.
Pejabat Presiden Tak Punya Uang
Sebagai keturunan arsitokrat Jawa, Bapak
Parlemen kelahiran Slogohimo, Wonogiri, 5 Agustus 1900, ini sangat
menjaga etika dan tatakrama. Ini tercermin dari hubungan dan komunikasi
sehari-hari Sartono dengan sang putri. “Kalau saya mau bicara dengan
Bapak, muncul rasa takut, tunduk, canggung, lalu menggunakan bahasa
Indonesia yang benar-benar halus, sopan. Padahal dengan Ibu, saya selalu
berbahasa Jawa. Kalau dengan Bapak tidak boleh seperti itu,” kenang Sri
Mulyati Muso, putri kedua Sartono.
Selain itu, Sartono lebih memilih hidup
sederhana. Ia pernah menolak tawaran untuk membeli rumah mewah di jalan
Imam Bonjol dengan harga jauh di bawah rata-rata—malah terlalu murah
untuk ukuran saat itu. Pasalnya, ia memang tak punya uang untuk
membelinya. Padahal, saat itu ia menduduki jabatan sebagai pejabat
presiden.
Menurut Sri, selama menjadi pengangguran
politik (pasca dibubarkannya Parlemen), Sartono lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah dengan berolah raga, membaca buku, dan
menerima tetamu (dalam dan luar negeri) yang rata-rata berpofesi
penulis. “Bapak berolahrga setiap pagi, jalan kaki ringan di sekitar
rumah. Setelah itu, beliau membaca buku,” imbuhnya.
Winda Destiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar