Minggu, 30 September 2012

Kawan Lama - AGENDA PEMBERANGUSAN TERORISME

Oleh Anwari WMK

Seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar negara jangan pernah bertakzim pada produk hukum yang sangat keras ala Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, penting untuk digarisbawahi karena beberapa alasan. Pertama, dengan Draconian Law berarti, negara sengaja memberi kewenangan yang sangat luas kepada aparat keamanan, militer dan intelijen mengikis segenap anasir yang diasumsikan memiliki hubungan dengan terorisme. Seluruh elemen negara yang berfungsi menanggulangi terorisme, dengan Draconian Law itu, leluasa men-ginterpretasikan tindakan dan pikiran setiap warga negara sebagai sama-sebangun dengan terorisme. Atas nama penyelamatan negara dari terorisme, siapa pun dari kalangan anak-anak bangsa dengan mudahnya dikategorikan sebagai teroris. Mela-lui Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, negara lantas berubah men-jadi Leviathan dalam maknanya yang buruk.

Kedua, hingga kini masih tersembul keraguan yang sangat kuat terhadap cara kerja negara. Ternyata, negara gagap saat diharapkan mampu bekerja berdasarkan prin-sip-prinsip obyektivitas. Tak tuntasnya penyelesaian berbagai masalah dalam kai-tannya dengan hajat hidup rakyat banyak merupakan fakta keras rapuhnya prinsip-prinsip obyektivitas dalam pengelolaan negara. Hingga 64 tahun usia Republik In-donesia, tetap tak ada garansi bahwa negara benar-benar memiliki kapasitas bertin-dak obyektif menangani suatu masalah. Disimak berdasarkan tilikan filosofis, nega-ra terus-menerus gagal memahami the actual existence yang mengkristal dalam reali-tas hidup masyarakat. Atmosfer matinya obyektivitas inilah yang bakal menyu-dutkan eksistensi individu dalam masyarakat tatkala terkena tudingan sebagai tero-ris.

Ketiga, tak ada contoh faktual di mana pun di muka bumi, implementasi Draconian Law berbanding lurus dengan pencerabutan terorisme hingga ke akar-akarnya. Se-bagaimana terjadi di Amerika Serikat pasca-serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush [berkuasa selama 2001-2009] menerapkan prinsip dan kerangka kerja Draconian Law. Sedemikian rupa, Draconian Law diperla-kukan sebagai dasar mengobarkan “perang terhadap terorisme”. Bukan saja kemu-dian perang melawan terorisme gagal dimenangkan sesuai dengan tujuan semula. Lebih dari itu, rasionalitas yang semula ditujukan menihilkan terorisme justru ma-lah memporak-porandakan keniscayaan perlindungan HAM.

Persoalannya kemudian, langkah apa yang niscaya dilakukan demi memberantas habis terorisme? Adakah jalan alternatif di luar Draconian Law yang sepenuhnya mampu memberikan arah terhadap penyelamatan bangsa dari bahaya besar tero-risme?

Geneologi Terorisme

Dalam sejarah politisasi agama, terorisme bukanlah gejala baru. Tidak hanya pada kurun waktu kontemporer terorisme memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Pada sekitar 40 tahun Sebelun Masehi (SM), terorisme telah mengambil setting di atas panggung kekuasaan politik. Sejak saat itu terorisme menuntut perhatian sak-sama atas segenap ulah yang ditimbulkan. Sebuah faksi politik Yahudi di Judea, bernama Zealot menyebarkan tindakan teror demi melawan kekuasaan Romawi atas Palestina. Secara eksplisit, terorisme yang digerakkan kalangan Zealot itu merupakan penentangan secara keras terhadap raja Judea yang berpihak pada ke-kaisaran Romawi, Herodes Magnus (73 SM – 4 Masehi). Revolusi politik kaum Yahudi melawan kekuasaan Romawi di Judea sepenuhnya dipresentasikan oleh kehadiran Zealot.

Pada tahun 70 Masehi, pengikut Zealot mencapai sekitar seribu orang. Terkonsen-trasi dalam persembunyian di atas bukit Masada, kaum Zealot melancarkan seran-gan gerilya melawan tentara Romawi. Ini merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan Romawi atas Jerussalem. Ketika pada tahun 73 Masehi pasukan Romawi berhasil menguasai Masada serta memporak porandakan persembunyian kaum Zealot, maka sebuah berkembangan baru mencuat ke permukaan. Perang gerilya kaum Zealot digantikan terorisme. Sasaran penyerangan tak lagi dilakukan ber-dasarkan prinsip-prinsip perang dengan sasaran yang jelas tentara Romawi. Siapa pun yang diidentifikasi sebagai bagian dari kekuasaan Romawi, serta-merta ditabalkan sebagai sasaran terorisme kaum Zealot. Para penganut Yahudi pun pada akhirnya tak bisa lepas dari serangkaian teror kaum Zealot. Maka, selama abad pertama Masehi, terorisme kaum Zealot merupakan sebab pokok timbulnya instabilitas kekuasaan politik Romawi di Palestina.

Apa yang penting digarisbawahi dari cerita Zealot ialah munculnya kejahatan ber-dimensi ideologis. Sejak menjalankan aksi-aksi teror, arah perjuangan kaum Zealot telah bergeser sedemikian rupa, dari semula sebagai aksi menuntut keadilan politik, berubah menjadi penyebar kebencian. Aksioma the spread of hatred pada setiap aksi terorisme yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan prinsip teror yang dikembangkan oleh kaum Zealot selama kurun waktu abad pertama Masehi. Terorisme dan gerakan teror lalu tak dimengerti sebagai kejahatan. Oleh para aktor pendukungnya, teror dan terorisme diposisikan sebagai ideologi yang dimaksudkan untuk memakzulkan ideologi lain, melalui jalan kekerasan. Terorisme, apa boleh buat, merupakan kejahatan yang begitu telanjang, namun dipersepsi sebagai keniscayaan untuk menumbangkan ideologi pihak lain. Persis seperti pandangan kaum Zealot, para teroris di masa kini tak pernah sedikit pun merasa bersalah atas seluruh sepak terjang penghancuran hidup umat manusia.

Pada titik ini, Draconian Law [dengan segenap konsekuensinya berupa pre-emptive action] sangat tak memadai diterapkan sebagai kerangka kerja penanggulangan tero-risme. Draconian Law hanya digdaya menegasikan terorisme pada tingkat permu-kaan, tapi tidak pada spirit dan roh terorisme itu sendiri.

Aktor Negara

Bercermin pada geneologi kemunculan terorisme dalam wujud konkret Zealot pada abad pertama Masehi, maka model penanggulangan terorisme di Indonesia tak mungkin berupa perang secara besar-besaran. Jalan paling masuk akal meniadakan terorisme hingga ke akar-akarnya adalah mengubah tabiat aktor-aktor pengelola ne-gara melalui beberapa agenda.

Agenda pertama terkait dengan eleminasi feodalisme kekuasaan. Sulit ditepiskan fak-ta dan kenyataan, bahwa hingga kini feodalisme mewarnai dinamika kekuasaan di Tanah Air. Bahkan, reformasi politik yang bergemuruh selama satu dasawarsa te-rakhir tak jua mampu mengikis habis feodalisme itu. Akibatnya, aktor-aktor penge-lola negara kosong dari hati nurani mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlawanan kaum marjinal terhadap aktor pengelola negara semacam ini ju-stru memancing timbulnya terorisme. Logika inilah sesungguhnya yang berkeca-muk dalam struktur kesadaran Nana Ihwan Maulana [salah satu pelaku bom bunuh diri pada aksi terorisme Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009].

Agenda kedua berjalin kelindan dengan spirit pengorbanan aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen di lapangan. Jika pergumulan mereka berhadapan dengan kaum teroris semata ditujukan sebagai jalan mencapai kenaikan pangkat dan penci-traan politik, maka selama itu pula mereka kehilangan roh absolut perjuangan. Secara ideologis, jelas mereka kerdil dibandingkan kaum teroris. Obsesi besar kaum teroris terhadap over-sacrifice, harus pula diimbangi oleh over-sacrifice aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen. Sehingga, tidak perlu lagi muncul dramatisasi penyergapan teroris seperti terjadi pada sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2009. Penyergapan teroris ini lantas terkesan menjadi drama pecisan lantaran gagal menangkap gembong teroris nomor satu: Noordin M. Top.

Selama dua agenda ini gagal diwujudkan, maka selama itu pula hanyalah soal wak-tu jika Indonesia dihebohkan oleh munculnya aksi terorisme.

Sabtu, 29 September 2012

Fakta Terselubung Dibalik Kisah G30S PKI



http://www.indonesiamatters.com/images/g30s.jpg

http://terselubung.blogspot.com


Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.

Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.


Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.

Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

Potongannya seperti preman

Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.

“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal.

“Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”

Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.

Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.

Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.

Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.

Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.

“Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.

Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.

Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.

Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”

Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.


Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”

“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.

Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.

Soeharto: Sikat saja, jangan ragu


Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.

Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.

Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.

Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.

Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.

Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.

Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal


Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.

Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang.
“Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya.
 
Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.
“Itu tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Sumber

Selasa, 25 September 2012

Kawan Lama - Sukarno, Bendera Pusaka dan Kematiannya

Anton DH Nugrahanto -
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!". Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu". Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia makulum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggak di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara. Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. "Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kamu memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya". Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..." Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Saelan dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati. Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri -gadis Bali- untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah. Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!... Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis. Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya. "Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggemgam tangan Rachma lalu dengan menggemgam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. "Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso. Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi. Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi. Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberaoa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara. Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak. Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!" Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik. Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini". Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno. Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada. Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan. Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Tau sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih. Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno. Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi. Mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambai-lambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, berdiri dengan rasa cinta bukan sebuah keterpaksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, Tapi dia diperlakukan layaknya binatang terbuang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti ini lagi..... Anton, 21 Juni- Tanggal Meninggalnya Bung Karno.

Kawan Lama - Akhirnya Metro TV Mengaku Salah


Fathiya Mumtazah Hari ini telah diadakan mediasi terkait acara “Metro Hari Ini” pada 15 September 2012 yang menayangkan dialog ‘Awas, Generasi Baru Teroris‘. Acara yang mengakibatkan lebih dari 29.000 pengaduan masuk ke KPI ini akhirnya ditindak lanjuti dengan mediasi yang dihadiri oleh perwakilan Metro TV , MUI, Forum Silahturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK), Ikatan Rohis Se-Jabodetabek (IROJA) dan Indonesia Media Watch. Mediasi yang pada awalnya dilakukan secara terbuka dan mengundang beberapa wartawan dari media lain secara mendadak dilakukan secara tertutup. beberapa wartawan yang membawa undangan terpaksa diminta keluar kecuali wartawan Metro TV yang masih diperbolehkan mengikuti jalannya mediasi. Berikut adalah beberapa poin hasil pertemuan mediasi: 1. Metro TV dengan NYATA, mengaku SALAH. Metro TV meminta maaf atas pemberitaan yang tidak berimbang dan menyudutkan ROHIS. Kesalahannya termasuk ke dalam simplifikasi hasil penelitian Prof. Bambang yg terwujud dalam grafis. 2. Metro TV akan membuat acara utk klarifikasi dan liputan profil ROHIS. MetroTV berjanji, dalam seminggu ini, sudah ada program tayangnya. Pihak Metro TV akan membuat penayangan program dalam bentuk talkshow, mengundang perwakilan ROHIS. 3. Metro TV akan mengangkat kegiatan-kegiatan ROHIS guna menghapus stigmatisasi karena kesalahan pemberitaan ROHIS 4. Sudah dijadikan MOU, antara KPI dan MUI,,untuk setiap acara yg menyangkut Islam, diseleksi sebelum tayang Sampai saat ini pun sms aduan masih mengalir ke KPI, bukti bahwa pemberitaan itu benar-benar telah menyinggung seluruh elemen umat muslim, terutama para anggota dan alumni rohis yang jelas-jelas mengakui bahwa rohis telah banyak menghasilkan anggota dan alumni berprestasi yang siap terjun memberikan perubahan baik di masyarakat. Mari kita tunggu pemenuhan janji dari Metro TV untuk menayangkan klarifikasi dan membersihkan nama baik rohis yang sangat jauh dari aksi terorisme..

Senin, 24 September 2012

The Battle of Java 1942



Isu Terorisme Dinilai Jadi Kendaraan Pembunuhan Gerakan Islam

Hidayatullah.com--Muhammad Mahendradatta, salah satu advokat senior Indonesia menganggap isu terorisme sudah menjadi kendaraan menuju pembunuhan karakter terhadap Islam. Menurut tokoh Tim Pengacara Muslim (TPM) ini, sinergi antara BNPT dan gerakan liberal dicurigai berniat menghancurkan Islam di Indonesia. “Jadi mereka memang ingin menghancurkan ideologi (Islam), mereka ingin Indonesia menjadi negara sekuler,” jelas Mahendratta kepada hidayatullah.com, Sabtu (15/09/2012) Terkait isu BNPT mengenai terduga ‘teroris’ yang banyak masih berusia belia tidak bisa dijadikan alasan menuduh organisasi rohani Islam (Rohis) di sekolah dan kampus sebagai biang keladinya. Menurutnya zaman sekarang pendidikan bisa didapat di mana saja. Lagipula secara fakta, Mahendradatta menjelaskan isu terorisme yang gerakkan BNPT dan Densus 88 sendiri sudah terbukti bukan lagi penegakan hukum. Namun, ada propaganda politik untuk menghancurkan Islam. “Dan itu adalah pelanggaran HAM,” tambahnya lagi. Pernyataan Mahendra ini disampaikan menanggapi tayangan Metro TV yang menampilkan tayangan mengenai pola rekruitmen terduga ‘teroris‘ muda. Dalam tayangan tersebut, Metro TV menyebut bahwa sasaran rekruitment teroris muda dari siswa SMP dan SMA di sekolah umum. Dalam sebuah running teksnya, Metro TV menyebut tayangannya tersebut bersumber dari penelitian Bambang Pranowo dari UIN Jakarta. Tayangan Metro TV tersebut juga mendapat bantahan dari Ketua Badan Fatwa MUI Pusat, KH. Ma’ruf Amin. Kiai Ma'ruf Amin meminta organisasi rohani islam (Rohis) tidak digeneralisir sebagai sarang teroris. Menurutnya, penyebutan Rohis sebagai sarang teroris akan menimbulkan stigma negatif terhadap organisasi di sekolah tersebut. "Jangan digeneralisir seperti itu. Pernyataan yang demikian justru akan menimbulkan sikap saling curiga," ujar Ma'ruf. Menurut Ma'ruf, jika ada indikasi sebuah Rohis yang digunakan sebagai sarana pengkaderan teroris, aparat diminta langsung bertindak. Tetapi sebaiknya tidak menggeneralisir bahwa semua Rohis adalah sarang teroris. "Kalau memang ada tangkap saja langsung, tapi jangan digeneralisir. Akibatnya nanti akan saling tuding dan saling lempar," ujarnya dikutip Bisnis Indonesia.*

Surya Paloh: Masyarakat Indonesia Harus Rebut Kembali Kedaulatannya



JAKARTA--MICOM: Kondisi berbangsa di Indonesia mulai masuk ke dalam tahap yang mengkhawatirkan. Dalam banyak hal rakyat kehilangan kedaulatan atas berbagai macam hak seperti ekonomi, politik, dan pendidikan.

"Kita mulai diingatkan bahwa nasionalisme dan patriotisme kita sebagai bangsa mulai terancam," kata Ketua Umum Nasional Demokrat usai peluncuran buku Mari Bung Rebut Kembali di kantor DPP Nasdem di Jakarta, Senin (16/7).

Buku tersebut merupakan kumpulan pidato Surya Paloh, yang terdiri dari  enam belas pidato dalam berbagai momen acara dengan tema beragam sejak tahun 2010 sampai 2012.

Buku tersebut merupakan kado hadiah ulang tahun Surya ke-61 dari para kerabat. "Buku itu merupakan kumpulan pidato saya sejak melahirkan organisasi Nasional Demokrat. Buku ini bisa menjadi bacaan bagi kaum muda yang ingin memaknai patriotisme," ungkapnya.

Lebih lanjut Surya menegaskan, kedaulatan rakyat Indonesia itu merupakan hal yang tidak bisa lepas dari kita. Kenyataannya, rakyat seperti kehilangan kedaulatan tidak seperti halnya pada era awal kemerdekaan.

"Nasionalisme ini bisa dibangkitkan apabila muncul kesadaran dari seluruh komponen bangsa untuk merebut kedaulatannya," ungkapnya.

Ketika ditanya apakah sikap ini justru memunculkan sikap chauvinis, Surya hanya mengatakan, pada dasarnya pihaknya hanya mempunyai niat baik untuk memperbaiki kondisi bangsa saat ini. "Dan yang bisa memperbaiki itu hanya bangsa sendiri. Tidak mungkin mengandalkan bangsa lain," tegasnya.

Karena itu, ia berharap Nasional Demokrat bisa melakukan proses pendidikan politik sehingga aspek ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan bisa diperbaiki. "Rakyat harus punya harapan. Revitalisasi seluruh kekuatan yang harus direbut," ujarnya.

Pengamat komunikasi Bachtiar Ali menambahkan, pada prinsipnya masyarakat Indonesia harus percaya dengan dirinya untuk merebut kedaulatannya. Hal ini harus ditunjang oleh adanya faktor kepemimpinan yang kuat yang menentukan arah perjuangan bangsa. "Persoalannya saat ini faktor kepemimpinan itu lah yang kurang," ujarnya.

Ia menegaskan, buah pikiran Surya Paloh dalam bukunya bukan sesuatu yang bersifat chauvinis. "Surya Paloh hanya menganjurkan agar kita tetap ada di Bumi. Cuma mengingatkan agar jangan terlalu terpengaruh dengan pemikiran luar," ungkapnya. (Che/OL-9)

Nasional Demokrat


Sabtu, 22 September 2012

Kawan Lama - Branding Ala Jokowi

Branding Ala Jokowi
Joko Widodo (Jokowi)
Sosok Jokowi memang fenomenal. Namanya populer justru karena dia berani menempuh jalur tidak populer, tidak seperti yang dilakukan oleh para pemimpin lainnya. Banyak pemimpin daerah, misalnya, lebih doyan narsis dengan memasang foto wajahnya di baliho-baliho di seputar kota, Jokowi mengaku tidak pernah melakukan sama sekali. Sebagai publik figur, Jokowi tetap membutuhkan branding. Tapi, branding yang dilakukan bukan sekadar branding yang berujung pencitraan. Branding yang dilakukan lebih mengusung pembangunan karakter dirinya sebagai seorang pemimpin yang tak lain adalah pelayan masyarakat.

Jokowi juga dikenal cukup getol dalam memerangi masalah birokrasi. Di Solo, Jokowi perjuangannya mengubah sistem birokrasi dihadapkan pada aktivitas dan kultur korupsi di kalangan pejabat. Di saat muncul pesimisme mengubah budaya buruk birokrasi ini, Jokowi optimistis birokrasi masih bisa diubah dan dibenahi. Langkah awalnya ia tempuh dengan sistem pengurusan Kartu Tanda Penduduk yang lebih efektif dan efisien. Dari emmpat minggu proses pengurusan KTP, dan ini sering tergantung uang sogokan, Jokowi mengubahnya menjadi satu jam jadi berkat pemanfaatan teknologi digital.

Tindakan tidak populer lain yang Jokowi lakukan adalah dengan memecat empat orang camat dan lurah yang tidak mau datang rapat pembuatan sistem KTP baru karena merasa tidak yakin sistem bisa dijalankan. “Saya copot karena niat saja tidak punya, apalagi melaksanakannya,” kata Jokowi seperti dikutip VIVAnews.

Mendekatkan diri dengan warga menjadi langkah yang diambil Jokowi selaku pemimpin. Pendekatannya pun tidak pilih-pilih, tidak hanya memilih mereka yang mempunyai duit saja, tapi juga mereka yang secara strata ekonomi berada di posisi bawah. Ia lebih mengedepankan program ekonomi kerakyatan. Sebab itu, ia mempunyai program untuk memberdayakan pasar-pasar tradisional ketimbang mal (meski tidak suka mal, dia mengaku tidak antimal). Dia juga menjamin perlindungan kepada para pedagang kaki lima yang di beberapa kota lain rentan oleh penggusuran dan kekerasan dari satpol pp. Lebih menarik lagi, Jokowi berhasil mengubah citra satpol pp yang sangar dengan citra yang lebih mengayomi. Ia pun memasang para pamong praja perempuan untuk memberi sentuhan pengayoman tersebut.

Dalam hal penataan kota, seperti yang ia ungkapkan di awal tahun 2011, Jokowi menerapkan strategi co-creation. Ia ingin menerima masukan sekaligus melibatkan warga dalam pembangunan tersebut. Salah satu caranya, ia membuka sayembara pembuatan desain kita. Ini satu langkah lebih maju ketimbang lelang yang selama ini sering digunakan di kota-kota lain. Dengan sayembara ini, Jokowi berhasil merangkul warga dari aneka profesi untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota Solo.

Meski tetap memelihara kultur dan tradisi di Solo, Jokowi tidak ingin Solo menjadi kota yang terasing. Konektivitas kota Solo dengan kota-kota lain di Indonesia, bahkan dunia, menjadi sesuatu yang signifikan di era sekarang. Internet menjadi kunci. Jokowi ingin membangun Solo sebagai connected city dengan sebutan Cyber City. Upaya konkretnya adalah dengan memasang layanan hotspot gratis di 51 titik kelurahan, lima titik kecamatan, dan 17 titik di areal publik. Bahkan, ada rencana membangun zona hotspot sepanjang tujuh kilometer dari Kleco sampai Panggung dengan jarak sebar kanan-kiri sejauh 500 meter.

Konektivitas ini juga ia bangun sendiri dengan terjun di media sosial, jejaring sosial yang sedang tren. Dengan akun @jokowi_do2, ia menyapa dan dengan telaten melayani respons dari pengikutnya di Twitter. Twitter dengan biografi berbunyi “Pengennya sederhana dalam kesederhanaan” itu saat tulisan ini diturunkan memiliki pengikut sejumlah 72856 akun. Ia juga bisa disapa dan menyapa di laman Facebook di http://facebook.com/jokowi.

Kabar terakhir, walikota Solo ini mengkampanyekan mobil buatan Anak Negeri, yakni siswa-siswa SMK 2 dan SMK Warga Surakarta.  Ia pun tidak sekadar berkampanye, tapi juga menjadikan mobil buatan pelajar Solo itu. Sebelumnya, ia dikabarkan menolak untuk mengganti mobil dinas lamanya sedan Toyota Camry dengan mobil baru. Mobil warna hitam bermerek “Kiat Esemka” langsung dipasangi plat nomer AD 1 A. Jokowi mengaku senang sekaligus bangga dengan mobil buatan anak Indonesia yang menurutnya tidak kalah dengan buatan Jepang tersebut. Ini menjadi contoh keberpihakan Jokowi pada produk buatan dalam negeri. Meski tentu saja, mobil ini kudu melewati ujian panjang di lapangan.

Paling tidak apa yang dilakukan oleh Jokowi bisa dilihat “melawan arus” di tengah keglamoran dan sikap boros yang ditunjukkan secara vulgar oleh para pejabat, baik yang ada di daerah, di jajaran kabinet, maupun di gedung DPR.

Tapi, itulah Jokowi yang lebih senang membangun karakter sebagai pribadi dan pemimpin ketimbang gembar-gembor janji kampanye kosong penuh muslihat alias branding tanpa isi. Dengan membangun jejak rekam yang baik inilah, kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Inilah branding with character dari sosok Jokowi– mungkin Jokowi sendiri tidak suka dengan istilah branding yang saya pakai ini.

Sebagai manusia, tentu saja Jokowi bukanlah superhero yang sempurna seratus persen tanpa cacat. Jokowi juga memiliki kelemahan dan keterbatasan. Tapi, kelemahan dan keterbatasan ini tidak menjadi alasan untuk membangun diri sebagai seorang manusia dan pemimpin yang baik. Dan, tulisan ini tidak dimaksudkan  untuk mengkultuskan dirinya secara individu.

Yang jelas, branding without character is nothing!

*Referensi: berbagai sumber

Penulis: Sigit Kurniawan

Jokowi-Ahok Menang karena Aktif Libatkan Publik


Jakarta Unggulnya pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam hasil hitung cepat Pilgub DKI Jakarta menunjukkan keberhasilan keduanya mengoreksi pola politik yang ada. Pasangan ini berhasil membuktikkan keberhasilan meraih dukungan tidak ditentukan oleh uang atau pencitraan.

"Fonemena Jokowi-Ahok mengoreksi bias-bias praktik berpolitik publik yang selama ini terlalu jauh dari kenyataan. Politik itu tidak harus berporos kepada kekuasan, uang, intrik politik, politik berpusat pada keterlibatan aspirasi publik. Dulu orang bicara 'wani piro' itu yang dikoreksi," kata pakar psikologi politik Hamdi Muluk dalam diskusi Polemik Sindo Radio di Warung Daun Cikini, Jakpus, Sabtu (22/9/2012).

Keberhasilan Jokowi-Basuki juga menunjukkan kekuatan dukungan tidak dapat ditentukan oleh elite partai politik. "Politik bicara sinergi antara elite atas dengan bawah. Ketiga politik harus keaslian, bukan dibungkus bukan pencitraan," sambungnya.

Hamdi menilai Jokowi-Basuki menampilkan permainan politik yang bersahaja. "Koreksi ini dimainkan Jokowi-Ahok, kembali ke akal sehat. Makanya isu SARA nggak laku, black campaign nggak laku," imbuhnya.

Sementara Kalitbang DPP Golkar Indra J Piliang berpendapat kemenangan Jokowi-Basuki terjadi karena masyarakat Jakarta lebih kritis terhadap calon yang ditawarkan.

"Masyarakat Jakarta kritis sehingga ketika diberikan pilihan figur elitis dan populis akan memilih yang populis termasuk humanis," katanya

(fdn/ahy)

Kamis, 20 September 2012

Kawan Lama - Prabowo Pesan Agar Jokowi-Ahok Jangan Jadi "Maling"


JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, mengucapkan selamat kepada pasangan Gubernur DKI Jakarta yang diusung partainya, Joko Widodo (Jokowi)- Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas kemenangannya dalam penghitungan cepat beberapa lembaga survei.

Prabowo meminta Jokowi-Ahok untuk terus mengabdi kepada rakyat, khususnya rakyat Jakarta. "Saya ke sini kasih petunjuk untuk memberi , supaya mengabdi terus kepada rakyat, rakyat Jakarta, rakyat Indonesia. Saya kira itu. Ini adalah kemenangan rakyat," jelasnya di posko kemenangan Jokowi-Ahok, di Jalan Borobudur no 22, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (20/9/2012).

Kendati belum ditetapkan KPUD, Prabowo optimistis menang dalam putaran ke dua ini. "Ya, Insya Allah saja. Saya dengar Pak Fauzi Bowo juga sudah ucapkan selamat. Dengan begitu, dia menunjukkan jiwa ksatria," ucapnya.

Dia sendiri melihat kemenangan yang didapat Jokowi-Ahok ini adalah keinginan rakyat yang menginginkan pemimpin yang bersih dan amanah. "Saya yakin, Pak Jokowi punya sifat seperti itu dan ingin agar menjadi lebih baik," jelasnya.

Kendati demikian, dia tidak mau disebut kemenangan Jokowi ini adalah kemenangan Prabowo untuk Indonesia mendatang. Baginya, kerja keras adalah kuncinya. "Saya kira setiap langkah itu harus berjuang keras," kata Prabowo.

Dia berharap, Jokowi bisa bekerja dengan baik dan fokus. Dia juga berharap agar Jokowi tidak menjadi 'pencuri'. "Saya harap pemimpin tidak mencuri, kalau maling yah maling," kata dia.

Dia juga berharap, Jokowi menjadi pimpinan yang terus bekerja dan tidak hanya banyak bicara. "Kita harap tidak lagi pemimpin yang begitu banyak bicara," kata dia.
(ugo)

Kawan Lama - Ini Faktor Kekalahan Foke-Nara


JAKARTA, KOMPAS.comLingkaran Survey Indonesia (LSI) melalui anak lembaganya, Citra Komunikasi, merilis hitung cepat Pilkada DKI Jakarta 2012. Hasilnya, pasangan nomor urut tiga, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, mengungguli rivalnya, pasangan nomor urut satu, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Toto Izul Fatah, Direktur Citra Komunikasi LSI, turut mengungkapkan, penyebab-penyebab mengapa pasangan Jokowi-Basuki bisa lebih unggul dari rivalnya, Foke-Nara. Salah satu hal yang cukup memengaruhi adalah blunder isu, yaitu mengenai isu SARA.
"Mayoritas publik, sebesar 51,6 persen tidak suka dengan isu tersebut. Artinya, publik DKI pro terhadap keberagaman. Sementara 29,5 persen suka," ujar Toto dalam konferensi pers di kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (20/9/2012).
Toto mengatakan, penyebab lain menangnya pasangan yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra dalam hitung cepat karena masyarakat Jakarta ingin perubahan. Dari pertanyaan yang diberikan terkait nyaman tidaknya warga tinggal di Jakarta, sebanyak 12,3 persen menjawab nyaman. Sementara 87,7 persen menjawab tidak nyaman.
"Demikian juga kepercayaan publik jatuh kepada pasangan Jokowi-Basuki karena masyarakat jemu dengan permasalahan. Masyarakat yang ingin perubahan sebesar 87,7 persen," katanya.
Sementara dari sisi kepercayaan publik terhadap dua pasang tersebut, sebanyak 38,5 persen publik DKI percaya Foke-Nara mampu menyelesaikan masalah. Sementara hanya 30,3 persen yang memercayai Jokowi-Basuki mampu menyelesaikan masalah Ibu Kota. Namun, yang menarik, angka ketidakpercayaan kedua pasang meningkat drastis.
Toto mengatakan, 48,2 persen publik DKI menganggap pasangan Foke-Nara mampu menyelesaikan masalah Ibu Kota. Begitu juga pasangan Jokowi-Basuki, ada 50,1 persen publik yang tidak percaya. Dalam hasil hitung cepat LSI, pasangan nomor urut satu, yaitu Foke-Nara, meraih 46,32 persen. Sementara rivalnya, pasangan nomor urut tiga, Jokowi-Basuki, menang dengan mendapat 53,68 persen suara. Persentase tersebut didapat dari 350 TPS yang tersebar dan dipilih secara acak di DKI Jakarta.
Editor :
Hertanto Soebijoto